HUBUNGAN ANTARA ADVERSITI DAN INTELIGENSI DENGAN KREATIFITAS
ABSTAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adversiti dan inteligensi dengan kreativitas. Subyek penelitian adalah siswa-siswi di Sekolah Menengah Atas 1 Bireuen, sebanyak 142 orang siswa yang diambil melalui teknik random sampling. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa  ada  korelasi  antara  adversiti  dan  inteligensi dengan  kreativitas,  koefisien korelasi sebesar  R = 0.264 dan harga F =  5.191,  db = 2 ; 139  dengan  p = 0.003 ( < 0.010 ). Hasil analisis dengan menggunakan korelasi parsial diperoleh nilai r = 0.141 dan p = 0.045 yang berarti ada korelasi yang signifikan antara adversiti dengan kreativitas dengan mengendalikan inteligensi.
Korelasi antara inteligensi dengan kreativitas diperoleh nilai r = 0.225 dan p = 0.003, yang berarti ada korelasi antara inteligensi dengan kreativitas.
A.    PENDAHULUAN
Seperti yang tertuang didalam GBHN 1993, dengan   penekanan   bahwa   pendidikan   nasional bertujuan  untuk  meningkatkan  kualitas  manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan ber- taqwa  terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani, maka kreativitas merupakan salah satu aspek atau elemen dari kuali- tas manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maslow  (dalam Munandar,  1999),  bahwa  dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan per- wujudan diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup manusia, maka krea- tivitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya atau yang berkualitas. Oleh karena itu sumbangan kreatif siswa-siswa Indonesia memegang peran penting, sebab dengan kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya sehingga kebutuhan untuk mencetak tunas muda yang mampu  mengatasi krisis yang sedang melanda bangsa dan negara Indonesia akan terpenuhi.
Namun gejala yang nampak pada siswa-siswi Indonesia, kreativitasnya masih tergolong ren- dah. Para siswa jarang mengemukakan ide-ide kreatif pada saat mengikuti pelajaran dikelas, kebanyakan pasif dan hanya melakukan apa yang ditugaskan guru tanpa usaha atau tanpa adanya sema- ngat untuk berkreasi didalam membangun diskusi. Menurut  Hermans  (dalam  Monks,  1989),  siswa yang pasif dan tidak mempunyai semangat memun- culkan ide-ide kreatifnya, terutama disebabkan oleh ketakutan akan gagal. Ketakutan akan gagal siswa jaman sekarang mungkin berhubungan dengan situasi pengajaran, juga dengan situasi hidup keseluruhan, dan sebagian disebabkan karena siswa makin  dihadapkan  dengan  kemungkinan  pilihan yang lebih banyak di dalam maupun di luar situasi pengajaran, sehingga kapasitas intelektual tidak sepenuhnya dapat bekerja. Situasi pengajaran atau pendidikan di Indonesia penekanannya lebih pada pemikiran reproduktif, hafalan, dan mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan, pemberian kemungkinan jawaban yang lain akan dianggap sebagai suatu kegagalan, maka siswa kurang terlatih untuk merespon kesulitan yang dihadapi dengan baik. Siswa hanya melakukan proses berpikir konvergen dan siswa kurang tertantang untuk melaksanakan proses berpikir divergen atau berpikir kreatif yang memungkinkan siswa mampu melihat bermacam-macam kemungkinan jawaban atau penyelesaian terhadap suatu masalah. Hal ini sesuai dengan ungkapan guru besar Psikologi Universitas Indonesia  dan  juga  pakar  kreativitas  yakni Munandar (1999), yang menemukan di dalam pene- litiannya bahwa kreativitas bangsa Indonesia masih tergolong rendah dan ada kecenderungan kreativitas di Indonesia tidak dapat berkembang secara optimal di kalangan subyek didik, demikian juga pendapat Guilford (1950), yang menyatakan bahwa pengem- bangan kreativitas ditelan- tarkan dalam pendidikan formal padahal ini amat bermakna bagi pengem- bangan potensi individu secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan serta seni budaya. Oleh karena kurang terlatih melakukan proses berpikir yang menantang, siswa tidak mampu  melihat ke- mungkinan  bermacam-macam  solusi  penyelesaian masalahnya sehingga siswa Indonesia melakukan respon yang buruk terhadap kesulitan yang dihadapi atau  kurang  mampu  bertahan  terhadap  kesulitan yang terjadi didalam mengatasi masalahnya.
Kemampuan  bertahan  dan  mengatasi  ke- sulitan didalam menghadapi tantangan atau kemampuan  merespon  kesulitan  yang  dihadapi  dengan baik, oleh Stoltz (2000) diperkenalkan sebagai ad- versiti,  sedangkan  hasil  pengukuran  kemampuan bertahan  dan  mengatasi  kesulitan  terhadap  permasalahan yang dihadapi disebut Adversity Quetient (AQ). Adversity Quotient menunjukkan seberapa jauh anak mampu bertahan meng- hadapi kesulitan dan seberapa jauh kemampuan anak untuk meng- atasinya. Adversity Quotient juga meramalkan siapa yang  mampu  mengatasi kesulitan dan siapa yang hancur; siapa yang akan melampaui harapan-hara- pan atas kinerja dan potensinya serta siapa yang ga- gal ; siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan. Menurut Stoltz (2000), orang yang adver- sity  quotient-nya  rendah,  akan  tumbuh  menjadi orang yang tidak mampu bertindak kreatif.
Potensi dasar anak yang sering disebut se- bagai inteligensi sangat menentukan didalam anak merespon kesulitan yang dihadapi, karena masyarakat umum sering mengatakan bahwa inteligensi terkait dengan kemampuan otak, kepintaran didalam memecahkan masalah yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gardner (dalam Munandar, 1999), yang menyatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah atau untuk mencipta karya yang dihargai dalam satu kebuda- yaan atau lebih. Pendapat yang senada dikemukakan oleh H.H. Goddard (dalam Azwar, 1996), yang me- nyatakan bahwa inteligensi sebagai tingkat kemam- puan pengalaman seseorang untuk menye- lesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah yang akan datang. Oleh karena itu gambaran orang yang berinteligensi tinggi adalah orang yang cerdas, orang yang mudah me- nerima pelajaran, orang yang mampu memecahkan masalah  dengan  baik  dan  cepat,  sehingga  orang yang berinteligensi tinggi mampu membuat inovasi- inovasi baru dalam kehidupannya yang berarti mampu mengembangkan kreativitasnya sebab krea- tivitas  merupakan  proses  penyatuan  pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk  menghasilkan  ide-ide  yang  baru  dan  lebih baik. (West,M,2000).
B.     KREATIFITAS
Kreativitas merupakan salah satu aspek dari kualitas manusia yang saat ini sangat berperan penting didalam menunjang pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang sedang mengalami permasalahan-permasalahan yang kompleks, sebab de- ngan  kreativitas,  manusia  akan  memiliki  kemampuan adaptasi kreatif dan kepiawaian yang ima- jinatif, sehingga manusia akan mampu mencari pe- nyelesaian masalah dengan cara yang baru didalam mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi yakni akan terus bergerak kearah kemajuan untuk tidak hanyut dan tenggelam dalam persaingan antar bang- sa dan negara, terutama didalam era globalisasi ini.
Kreativitas di dalam pendidikan yaitu bila siswa mengerti suatu cara diluar dari kebiasaannya dan tetap tenang untuk menyelesaikan masalah di dalam kelompoknya. (Sternberg, 1999). Kreativitas adalah proses penyatuan pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk meng- hasilkan ide yang baru dan lebih baik. (West, M, 2000). Ford (dalam West, M., 2000), menyatakan bahwa kreativitas adalah suatu pertimbangan subyektif  dan  berkontek  spesifik  mengenai  kebaruan dan nilai suatu hasil dari perilaku individual dan kolektif.
Menurut   Cambell   (1986),   dan   Glover (1990), kreativitas merupakan kegiatan yang men- datangkan hasil yang sifatnya :  baru (novelty), yang berarti invasi, belum pernah ada sebelumnya dan aneh ; berguna (useful), yang berarti lebih praktis, mempermudah, mengatasi kesulitan, dan meng- hasilkan yang lebih baik ; dimengerti (under- standable), yang berarti hasil yang sama dapat dimengerti atau dipahami dan dapat dibuat pada waktu yang berbeda.
C.    ADVERSITI
Manusia dilahirkan dengan satu dorongan inti  yang  manusiawi  untuk terus  mendaki,  dalam arti untuk terus menggerakkan tujuan hidupnya kedepan. Pendakian ini bisa berkaitan dengan usaha didalam  mendapatkan  nilai  yang  bagus,  memperbaiki  hubungan  dengan  teman  sekolah,  menjadi lebih mahir dalam segala hal yang sedang dikerjakan, menyelesaikan satu tahap pendidikan, mem- berikan kontribusi yang berarti selama masa hidup, mendekatkan diri pada Tuhan, dan lain-lain. Orang-orang yang sukses memiliki dorongan yang men- dalam untuk berjuang, untuk maju, untuk meraih cita-cita dan mewujudkan impiannya. Untuk dapat memahami dan memperbaiki komponen  dasar  pendakian  seseorang  sehari-hari dan seumur hidup diperlukan gabungan ketiga unsur yang meliputi : kerangka kerja koseptual yang baru, tolak ukur untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan yang dihadapi, dan peralatan yang praktis. Gabungan ketiga unsur  merupakan bentuk dari tingkat kemampuan seseorang untuk meng- gerakkan tujuan hidupnya kedepan yang merupakan tingkat kemampuan untuk bertahan dan mengatasi kesulitan yang dihadapi yang diperkenalkan oleh Stoltz (2000) sebagai Adversity Quotient.   Menu- rut  Stoltz  (2000),  pertama,  AQ  merupakan  suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuk- sesan : kedua, AQ merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon anak terhadap kesulitan ; ketiga, AQ merupakan serangkaian peralatan yang me- miliki  dasar  ilmiah  untuk  memperbaiki  respons anak terhadap kesulitan.
Didalam  merespons  suatu  kesulitan  untuk mencapai kesuksesan terdapat tiga kelompok tipe manusia  ditinjau  dari  tingkat  kemampuannya. (Stoltz, 1997) :
a.       Quitters adalah individu yang memilih keluar, menghindari  kewajiban,  mundur  dan  berhenti apabila menghadapi suatu kesulitan. Individu- individu ini menolak kesempatan yang diberikan dan mengabaikan, menutupi, atau mening- galkan  dorongan  inti  yang  manusiawi  untuk mendaki,  sehingga  meninggaikan  banyak  hal yang ditawarkan oleh kehidupan, berarti adver- sity quotient pada tipe quitters ini rendah.
b.      Campers adalah individu yang pernah mencoba menyelesaikan suatu kesulitan dan sekurang- kurangnya  telah  menanggapi  tantangan  pendakian yang ada, namun individu tersebut akan berhenti ketika pendakian awalnya dirasa sudah sampai tanpa mau berusaha mempertahankan hasil pendakian tersebut selama kehidupannya. Adversity quotient pada tipe campers tergolong sedang.
c.       Climbers adalah sebutan untuk individu yang seumur hidup membaktikan dirinya pada pen- dakian. Individu ini merupakan pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kela- min, ras, cacat fisik, atau mental, atau hambatan lainnya yang bisa menghalangi pendakiannya. Tipe climbers termasuk individu yang mempu- nyai adversity quotient tinggi.

D.    INTELIGENSI
Binet (dalam Azwar, 1996), menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan: kemampuan untuk mengu- bah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilak- sanakan; dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Goddard, mengatakan bahwa inteligensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah- masalah yang akan datang, sedangkan V.A.C Henmon, mengatakan bahwa inteligensi terdiri dari dua macam, yaitu : kemampuan untuk memperoleh pengetahuan; dan pengetahuan yang diperoleh. (dalam Azwar,1996).
Lewis Madison Terman, mengatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk berpikir abstrak, sedangkan Edward Lee Thorndike, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik terhadap pan- dangan kebenaran atau fakta. (dalam Azwar,1996). Inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam,  tetapi  merupakan  komposit  dari  berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan kemampuan- kemampuan  yang  diperlukan  untuk  bertahan  dan maju dalam budaya tertentu. (Anastasi, 1997). David Wechsler (1958), berpendapat bahwa inteligensi adalah kumpulan atau seluruh kapasitas individu untuk bertindak sesuai tujuan, berpikir secara rasional dan bertindak secara efektif dengan lingkungannya. Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau keseluruhan  karena  tersusun  dari  elemen-elemen atau  kemampuan-kemampuan  yang  tidak  seluruhnya bebas.
Didalam lingkungan masyarakat umum sering terjadi miskonsepsi populer tentang IQ yang dipandang sebagai singkatan untuk inteligensi. Masyarakat umum banyak yang belum memahami bahwa IQ merupakan hasil skor dari tes kemampuan intelektual. Inteligence Quotient (IQ) adalah ekspresi dari tingkat kemampuan individu pada saat tertentu, dalam hubungan dengan norma usia tertentu yang ada. IQ merupakan cerminan dari pres- tasi pendidikan sebelumnya dan alat prediksi kinerja pendidikan selanjutnya.Untuk mempertimbangkan nilai numerik sebuah IQ, harus menentukan secara spesifik tes yang menjadi sumber IQ tersebut. Menurut Weiten (1992),  tes-tes  inteligensi  umum yang dirancang untuk digunakan bersama anak-anak sekolah sering dilakukan secara kelompok dan biasanya mengukur kemampuan-kemampuan verbal, tetapi juga mencakup kemampuan yang berkai- tan dengan simbol numerik dan simbol abstrak yang lain dalam kadar yang lebih rendah. Kemampuan-kemampuan tersebut dominant dalam proses belajar di sekolah, oleh karena itu kemampuan-kemampuan tersebut dapat dipandang sebagai ukuran kemam- puan belajar atau inteligensi akademik. Hal ini didukung oleh pendapat David Wechsler (1958), yang menyatakan bahwa Inteligensi sebagai suatu kum- pulan atau keseluruhan karena tersusun dari elemen- elemen atau kemampuan-kemampuan yang tidak seluruhnya bebas, oleh karena itu kemampuan-kemampuan yang diukur tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi inteligensi dan inteligensi bu- kan sekedar jumlah dari kumpulan kemampuan ter- sebut. Terdapat tiga alasan yang mendasari pendapat Wechsler , yaitu : Hasil akhir tingkah laku inteligensi adalah fungsi dari sejumlah kemampuan dan cara kemampuan tersebut bergabung atau konfigurasi kemampuan-kemampuan yang ada. : Ada beberapa faktor selain kemampuan intelektual, misal : dorongan, insentif;  Urutan tingkah laku inteli- gen berbeda, sehingga urutan kemampuan yang dibutuhkan  juga   berbeda.   Juga   didukung   oleh Anastasi (1997), yang menyatakan bahwa inte- ligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam, te- tapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, se- hingga mencakup gabungan komponen-komponen yang diperlukan untuk bertahan dan maju didalam budaya tertentu. Oleh karena itu tes inteligensi untuk siswa SMU yang digunakan dalam penelitian ini adalah Inteligenz Struktur Tes (IST) yang dikem- bangkan  di  Frankfurt  Jerman  oleh  Rudolf Amthauer, karena IST mengukur bermacam-macam kemampuan individu dan dapat dilaksanakan secara kelompok  dan  tes  ini  direkonstruksi  untuk  orang usia 14 sampai dengan 60 tahun. Tes IST telah diadaptasi di Indonesia dan dimanfaatkan oleh Psiko- logi Angkatan darat (Psi-AD) Bandung yaitu Bapak Bob Dengah dan kawan-kawan. Selanjutnya dikem- bangkan oleh Biro Psikologi Persona Bandung dan akhirnya mencapai bentuk yang sekarang banyak dipergunakan.
Tes  IST  yang  sudah  diadaptasi  ini  sudah banyak digunakan diberbagai tempat di Indonesia, khususnya   di   Jawa   Timur   (Winarti,1998).  IST mampu  mengukur  inteligensi  secara  menyeluruh dan inteligensi khusus bagi seseorang melalui sem- bilan sub tes yang meliputi tes kemampuan verbal maupun nirverba.

E.     METODE PENELITIAN
a.      Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada siswa-siswi di Sekolah  Menengah  Atas 2 Bireuen, dari kelas I sampai dengan kelas III. Jumlah sampel yang digunakan didalam penelitian ini  sebanyak 142 orang siswa yang diambil melalui teknik random sampling.
F.     VARIABEL PENELITIAN
a.      Variabel Kreatifitas
Merupakan variabel tergantung, adalah suatu proses penyatuan dari berbagai bidang pengalaman yang berkainan untuk menghasilkan ide-ide yang bermanfaat dengan cara baru dan lebih baik serta mampu merealisasikannya. Alat ukur kreatifitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur kreatifitas yang dikembangkan oleh Suharman (2002), yakni tentang semangat kreatifitas yang disebut skala CORE.
b.      Vaiabel Adersiti
Merupakan  variabel  bebas  pertama  (X1), adalah kemampuan siswa didalam melakukan respon terhadap kesulitan yang dihadapi atau kemam- puan siswa untuk bertahan dan mengatasi kesulitan yang dihadapi didalam mendaki tujuan yang akan dicapai. Alat ukur adversiti yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Stoltz (2000), yakni yang diperkenalkan seba- gai Adversity Response Profile Quick Take (ARP) yang  mengungkap  empat  dimensi  yaitu  CO2RE yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan situa- si dan kondisi populasi penelitian.
c.       Variabel Inteligensi
Variabel inteligensi merupakan variabel be- bas kedua (X2), adalah ekspresi dari tingkat kemampuan siswa pada saat tertentu berdasarkan pe- ngetahuan-pengetahuan dan pengalaman yang di- peroleh yang mencakup gabungan kemampuan-ke- mapuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju. Alat ukur inteligensi yang digunakan dalam pe- nelitian ini adalah salah satu alat ukur psikologis yang mengukur beberapa kemampuan yang terga- bung menjadi kecerdasan umum, biasa disebut seba- gai Tes Inteligensi yang dikembangkan oleh Rudolf Amthauer  dan  diperkenalkan  sebagai  Inteligenz Struktur Tes (IST).
G.    ANALISIS DATA
Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi ganda dan krelasi parsial.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan  analisis  regresi  ganda terhadap variabel-variabel penelitian diperoleh hasil
sebagai berikut :
Tabel 1
Hasil Analisis Regresi
Variabel
R
F
Db
P
Keterangan
Adversiti
0,
5,19
2;1
0,00
P<0,010
Dan
26
1
39
3
R sangat signifikan
Intelegensi
4




dengan





kreatifitas






Koefisien korelasi sebesar   r = 0.264 dan harga F =  5.191,  db = 2 ; 139  dengan  p = 0.003 (p<0.010),   artinya   adversiti   dan   inteligensi mempunyai korelasi positif yang sangat signifikan dengan kreativitas.
Tabel 2
Korelasi Parsial
Variabel
r-parsial
P
Keterangan
Bobot Sumbangan Efektif
Adversiti
0,141
0,045
P<0,050
1,930% signifikan
Intelegensi
0,225
0,003
P<0,010
5,020% sangat signifikan



H.    PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data yang menunjukkan  bahwa  terdapat  korelasi  positif  yang  sangat signifikan antara adversiti dan inteligensi dengan kreativitas, maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara adversiti dan inteligensi dengan kreativitas siswa SMA, telah terbukti. Berarti semakin seorang siswa mempunyai respon yang baik atau mempunyai kemampuan untuk bertahan dan kemampuan mengatasi kesulitan yang dihadapi serta didukung oleh kecerdasan yang cukup tinggi, maka semakin tinggi pula kreativitas atau semangat berkreasinya.   Hal   ini   sesuai   dengan   pendapat Sternberg dan Lubart (1995), yang cenderung memandang bahwa proses-proses kreatif dapat berlangsung karena keterlibatan fungsi-fungsi intelektual  dan  sekaligus  juga  fungsi-fungsi  karakteristik kepribadian seseorang yang relevan dengan proses-proses kreatif tersebut, yang didasari oleh penelitian Sternberg (1985), dengan ditunjukkannya bahwa orang kreatif memiliki kemampuan dan kemauan untuk berpikir dan bertindak di atas batas- batas realitas diri dan lingkungannya, yang mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan karya-karya kreatif dalam bidang penelitian ilmiah atau seni, selain membutuhkan peran intelektual juga karak- teristik kepribadian tertentu dari seseorang. Konsekuensinya,  didalam mengungkap  potensi  kreatif yang hanya menekankan pada kemampuan intelek- tual seperti berpikir divergen adalah tidak cukup, tetapi juga harus mencakup karakteristik kepribadian yang dianggap relevan yang keduanya dibutuhkan di dalam proses-proses kreatif yang produktif dan bermutu. Kemudian (Sternberg, 1988), menuangkan di dalam teorinya tentang kreativitas, yang menya- takan bahwa kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis : inteligensi, gaya kognitif, dan kepribadian atau motivasi, yang secara bersamaan membantu memahami apa yang melatar belakangi individu yang kreatif. Sternberg (1995), juga menyatakan bahwa penting untuk menyumbang sumber daya dalam kasus kreatif ada- lah latar belakang pengetahuan dan pengalaman (kecerdasan), ketekunan (kepribadian), dan dukungan dari lingkungan.
Total sumbangan efektif adversiti dan inteligensi  tergolong  kecil,  tetapi  tetap  mempunyai peran didalam meningkatkan kreativitas; sehingga untuk meningkatkan kategori kreativitas siswa Indonesia agar siap menjadi daya dukung yang ber- kualitas didalam memulihkan bangsa dan negara Indonesia dari situasi krisis, siswa Indonesia perlu memiliki kecerdasan yang cukup tinggi dan memiliki kemampuan bertahan ataupun kemampuan mengatasi kesulitan dalam permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu kondisi siswa yang rata-rata mampu  memunculkan  kreativitasnya  perlu  dipertahankan bahkan ditingkatkan, yang dapat dilaku- kan melalui peningkatan potensi dasar siswa dengan cara  sering  memberikan  latihan  atau  tugas-tugas yang membutuhkan kemampuan intelektualnya baik didalam melibatkan kegiatan berpikir konvergen maupun kegiatan berpikir divergen, dan juga melalui perbaikan adversiti siswa seperti yang dikemukakan oleh Stolz (2000), yaitu siswa sering mendapatkan latihan-latihan melalui metode LEAD seperti yang sudah dijelaskan di depan.
Hasil tambahan dari analisis data, menyaakan ada hubungan positif yang signifikan antara adversiti dengan kreativitas. Artinya semakin baik adversiti siswa, maka semakin tinggi kreativitasnya atau  semakin  siswa  mampu  memberikan  respon yang baik atau mampu bertahan dan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, semakin tinggi sema- ngat berkreasinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stolz   (2000),   bahwa   salah   satu   manfaat   dari adversiti adalah kreativitas artinya ketidakberdayaan yang dipelajari yang akan membentuk orang- orang  yang  tidak  mampu  menghadapi  kesulitan, bisa menghancurkan kreativitas orang yang cemerlang. Oleh karena itu orang yang tidak mampu ber- tahan didalam menghadapi kesulitan atau responnya terhadap kesulitan buruk, akan tumbuh menjadi orang yang tidak mampu bertindak kreatif. Meskipun sumbangan adversiti terhadap kreativitas kecil, bahkan lebih kecil bila dibandingkan dengan sumbangan inteligensi terhadap kreativitas, tetapi untuk meningkatkan semangat kreatif yang tinggi tetap memerlukan kemampuan bertahan dan mengatasi kesulitan terhadap permasalahan yang dihadapi sebab untuk dapat berpikir kreatif harus melalui beberapa tahap, terutama tahap inkubasi yaitu situasi setelah berhenti menyelesaikan masalah yang belum selesai dan kemudian mendapatkan cara penyelesaian tepat yang membutuhkan waktu lama. Yang memungkinkan sumbangan adversiti lebih kecil dari pada sumbangan inteligensi terhadap pengembangan kreativitas, karena adversiti hanya diperlukan pada saat mendukung munculnya situasi yang sulit dalam menyelesaikan permasalahan, sementara itu inteligensi selalu dibutuhkan dukungannya sebagai kemampuan-kemampuan yang mendasari mun- culnya ide-ide yang baru dan bermanfaat.
Inteligensi mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan kreativitas, artinya semakin  tinggi  tingkat  inteligensi  seseorang, semakin tinggi pula kreativitasnya atau semakin mempunyai semangat berkreasi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan teori    ambang inteligensi untuk kreativitas dari Anderson (dalam Munandar, 1999), bahwa sampai tingkat inteligensi tertentu, yang diperkirakan IQ 120, ada hubungan yang erat antara inteligensi dengan kreativitas yaitu kreativitas yang tinggi memerlukan tingkat inteligensi yang cukup tinggi pula, tetapi diatas ambang inteligensi tersebut tidak ada korelasi yang tinggi lagi antara inteligensi dengan kreativitas. Sementara itu data yang diambil sebagai sampel penelitian menunjukkan tingkat inteligensi siswa berada pada kategori rata-rata atau diatas rata-rata, tidak ditemui siswa dengan tingkat inteligensi yang sangat tinggi, sehingga hasilnya menyatakan bahwa inteligensi mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan kreativitas. Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya, antara lain penelitian yang di- lakukan oleh Utami Munandar (1977), menunjuk- kan bahwa berpikir divergen (kreativitas) mempunyai hubungan yang bermakna dengan berpikir konvergen (inteligensi) ; dan dari penelitian yang dilakukan oleh Getzels dan Jackson (1970), dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kreativitas dengan inteligensi walaupun hubungan itu tidak begitu kuat. Hal tersebut sesuai dengan hasil pene- litian Munandar (1982) dan Sinambela (1993), yang menemukan ada hubungan antara inteligensi dengan kreativitas, walaupun hubungannya rendah. Sumbangan efektif inteligensi terhadap kreativitas tergo- long kecil, tetapi masih lebih besar dibandingkan sumbangan efektif adversiti terhadap kreativitas. Artinya kecerdasan yang dimiliki siswa hanya menyumbang sebagian kecil untuk dapat mengem- bangkan kreativitas tetapi tetap mempunyai peran yang lebih besar sebagai landasan pengetahuan dan pengalaman dalam mengembangkan kreativitas, sehingga kecerdasan yang cukup tinggi perlu dimiliki untuk mendukung terciptanya daya kreasi seorang siswa. Sumbangan yang lebih besar mungkin dibe- rikan oleh sumber-sumber pengaruh yang lain untuk pengembangan kreativitas, seperti gaya berpikir, motivasi, lingkungan yang perlu diteliti sebagai penelitian lanjutan.
KESIMPULAN
Didalam menghadapi situasi krisis yang sedang melanda bangsa dan negara Indonesia, dibutuhkan tunas muda bangsa yang berkualitas. Salah satu aspek dari kualitas manusia adalah kreativitas, yang berperan penting sebagai daya dukung untuk dapat  bangkit  dari  permasalahan  yang  kompleks dengan kemampuan adaptasi kreatif yang merupakan  kemampuan  mencipta untuk dapat  mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, yang akan bergerak kearah kemajuan dan memungkinkan untuk dapat melihat berbagai macam solusi permasala- hannya sehingga mampu bangkit dari situasi krisis. Sedangkan kreativitas tunas muda atau siswa Indonesia dalam kategori rendah, maka perlu adanya pengembangan. Sumber-sumber yang mempengaruhi pengembangan kreativitas antara lain kepri- badian dan kecerdasan, maka penelitian   bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan positif antara adversiti (konsep baru tentang kepribadian berdasarkan pendapat Stoltz) dan inteligensi (kecerdasan) dengan kreativitas.
Kreativitas merupakan suatu proses penyatuan pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk menghasilkan ide-ide yang bermanfaat dengan cara baru dan lebih baik serta mampu merealisasikannya; dan kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis yaitu inteligensi, gaya kognitif, dan kepribadian, yang secara bersamaaan membantu memahami apa yang melatar belakangi individu yang kreatif. Inteligensi adalah ekspresi tingkat kemampuan tertentu siswa berdasarkan pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh, dan adversiti merupakan kemampuan siswa didalam melakukan respon yang baik terhadap kesulitan yang dihadapi atau kemampuan siswa untuk bertahan dan mengatasi kesulitan yang dihadapi di dalam men- daki tujuan yang akan dicapai. Ketidakberdayaan yang dipelajari yang akan membentuk orang-orang yang tidak mampu bertahan menghadapi kesulitan, akan tumbuh menjadi orang yang tidak mampu bertindak kreatif dan kreativitas yang tinggi memerlukan tingkat inteligensi yang cukup tinggi pula. Oleh karena itu hipotesis yang diajukan menyatakan bahwa  untuk dapat  meningkatkan  didalam meng- hasilkan ide-ide yang bermanfaat dengan cara yang baru dan lebih baik, diperlukan tingkat inteligensi yang cukup tinggi dan didukung dengan kemam- puan melakukan respon yang baik terhadap kesu- litan yang dihadapi didalam mendaki memunculkan ide kreatif tersebut ; dengan kata lain ada hubungan positif antara adversiti dan inteligensi dengan kreativitas siswa SMA.
Berdasarkan data yang diperoleh dari siswa-siswi Sekolah Menengah Atas 2 Bireuen, kelas satu, kelas dua dan kelas tiga, dilakukan uji asumsi terhadap variabel-variabel peneli- tian dan diperoleh hasil sebaran normal pada variabel tergantung (kreativitas), juga terdapat hubungan yang linier antara adversiti dengan kreativitas dan hubungan linier antara inteligensi dengan kreativi- tas, sedangkan antara adversiti dan inteligensi hubungannya tidak kolinier atau tidak mengukur hal yang sama. Berarti uji asumsi terpenuhi, sehingga dapat dilakukan  analisis regresi ganda untuk me- ngetahui hubungan antara adversti dan inteligensi dengan kreativitas dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara adversiti dan inteligensi dengan kreativitas, artinya semakin tinggi adversiti dan inteligensi, semakin tinggi pula kreativitasnya. Hipotesis dalam penelitian ini diterima. Oleh karena itu untuk meningkatkan/mengembangkan kreativitas diperlukan tingkat inteligensi yang cukup tinggi dan tingkat adversiti yang tinggi pula.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A., dan Urbina, S. “Psychological Testing 7e”,  Terjemahan  Prenhallindo, Jakarta. 1998.
Azwar,    S,    “Pengantar    Psikologi    Inteligensi”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1996.
Campbell,    D,    “Mengembangkan    Kreativitas”. Kanisius, Jakarta, 1986.
Csikszentmihalyi, M. “Creativity : Flow and The Psychology of Discovery and Invention”. Harper Collins Publishers, New York, 1996
Diana,  R.  “Hubungan  antara  Religius  dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah Umum”, Jurnal Psikologika UII. Nomor 7 Tahun III,  5-25, 1999.
Depdikbud. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.
Freeman, S.F. “Psychological Testing”, Oxford and Ibit Publishing Co, New Delhi, 1965
Glover, J. dan Burning, R.H, “Educational Psychology : Principles and application 3rd edition”. Harper Collins Publishers, New York. 1990.
Hadi,  S.  “Metodologi  Research,  jilid  3”.  Andi Offset, Yogyakarta.1991
Hari, K.L.“Tinjauan Singkat Adversity Quotient”. Indonesian Psychological Journal, Anima, No. 1, Vol. 17, 63 – 68. 2001
Hurlock,   E.   “Perkembangan   Anak”,   jilid   II, Erlangga, Jakarta. 1997
Monks, F.J., dkk. “Psikologi Perkembangan : Pengantar  dalam  berbagai  bagiannya”, Gajah Mada Unversity Press, Yogyakarta. 1989
Munandar, S.C.U. “Kreativitas dan Keberbakatan : Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1999
Prakosa, H. “Analisis Matriks Multitrait- Multimethod” Validitas Konstrak Tes Kreativitas Verbal. Jurnal Psikologi UGM, Nomor I Tahun XXI, 1 – 8, 1995
Sia Tjundjing, Skala c.o.r.e. : “Pengukur Kreativitas yang Benar-Benar Kreatif (Komentar terhadap Skala C.O.R.E. sebagai Alternatif Mengukur Kreativitas : Suatu Pendekatan Kepribadian)”. Indonesian Psychological Journal, Anima, No.1, Vol.18, 57 – 70.
Soeparman.  “Hubungan  Kemandirian  dan Kreativitas  Siswa  Sekolah  Menengah Umum. Jurnal Filsafat, Teori dan Praktek Kependidikan”. FIP Universitas Negeri Malang, No. 1, Th.27, 92– 97. 2000
Sternberg,  R.J.,  and  Lubart,  T.I.  “Defying  The Crowd : Cultivating Creativity in culture of Conformity”,     Simon  &  Schuster,  New York. 1995
Stoltz, P.D. “Adversity Quotient: Turning obstacles into  Opportunities”.  Terjemahan  , Grasindo., Jakarta. 2000
Suharnan, “Skala C.O.R.E. sebagai Alternatif Mengukur Kreativitas: Suatu Pendekatan Kepribadian”. Indonesian Psychological Journal, Anima, No. 1, Vol. 18, 36 – 56. 2002
Suryabrata,    S.   “Metodologi    Penelitian”,   Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1998
Suryabrata,     S.     “Pengembangan     Alat     Ukur Psikologis”, Andi, Yogyakarta. 2000
Tjundjing, S. “Hubungan Antara IQ, EQ, dan AQ dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Indonesian Psychological Journal, Anima, No.1, Vol.17, 69 – 92. 1999
Weiten, W. “Psychology : Themes and Variations, Second Edition”, Brooks/Cole Publishing Company, New York. 1992
West,   M.   “Mengembangkan   Kreativitas   dalam Organisasi”. Kanisius, Jakarta. 2000

Yoenanto, N.H. “Hubungan Kemampuan Memecahkan Soal Cerita Matematika Dengan  Tingkat Kreativitas Siswa Sekolah Menengah Umum”. Jurnal Psikologi Unair Insan, No.2, Vol.4, 63-72. 2002

Posting Komentar

 
Top