KEBIJAKAN JKRA
A.    Pengertian Masalah
Masalah kebijakan publik adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Informasi mengenai sifat masalah dan potensi pemecahannya dihasilkan melalui penerapan prosedur analisa kebijaksanaan perumusan masalah (Dunn, 1992:92)
James E.Anderson dengan mengutip pendapat David G.Smith memberikan pernyataan sebagai berikut :
“For policy purposes, a problem can be formally defined as condition or situation that produces needs or dissatisfactions on the part of people for which relief or redress is sought. This may be done by those directly affected or by others acting on their behalf” (untuk kepentingan kebijaksanaan, suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan pada rakyat untuk mana perlu dicari cara-cara penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsungterkena akibat oleh masalah itu atau orang lain yang punya tanggung jawab untuk itu).
Jones mengartikan “peristiwa” sebagai kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang dipandang memiliki konsekuensi pada kehidupan sosial. Dan mengartikan “masalah” sama dengan pendapat Smith diatas yaitu: kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus diatasi/dipecahkan (Islamy, 2004:79).
Masalah dapat dirumuskan sebagai ketidaksesuaian antara suatu ukuran (asas, norma, atau tujuan) dengan gambaran suatu keadaan sedang berlangsung atau diperkirakan akan terjadi. Dengan demikian, maka masalah adalah perbandingan ukuran yang dipakai dengan gambaran keadaan yang sedang berlangsung. Misalnya penyerobotan rumah dapat dipandang oleh pemerintah sebagai suatu masalah gangguan ketertiban umum atau sebagai masalah kekurangan perumahan atau dua-duanya, tergantung dari ukuran atau segi pandangan yang dipakai oleh pemerintah dan keadaan yang sedang berlangsung (Suryaningrat, 1989:12).
B.     Karakteristik Masalah
Berikut ini, dikemukakan beberapa karakteristik pokok dari masalah kebijaksanaan :
1.      Saling bergantung (interdependence) : masalah kebijaksanaan dalam suatu bidang (misalnya, energi) seringkali mempengaruhi masalah kebijaksanaan lainnya (misalnya, perawatan kesehatan, pengangguran). Pada kenyataannya masalah kebijaksanaan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, mereka merupakan bagian dari seluruh sistim masalah yang disebut sebagai messes, yaitu sistim kondisi eksternal yang menghasilkan ketidakpuasan dari setiap kelompok masyarakat. Sistim masalah (messes) sulit atau tidak mungkin dipecahkan dengan menggunakan pendekatan analitik (analitic approach) – yaitu pendekatan yang memecah masalah kedalam elemen-elemen atau bagian-bagiannya – karena masalah jarang yang dapat didefinisikan dan dipecahkan terpisah satu dengan yang lainnya. Kadang kala lebih mudah “memecahkan sepuluh masalah yang berpautan satu sama lain daripada memecahkan satu masalah yang berdiri sendiri”. Sistim masalah yang saling bergantung memerlukan pendekatan holistik (holistic approach), yaitu pendekatan yang memandang masalah sebagai bagian dari keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan dan diukur sendirian (Dunn, 1992:94).
2.      Subjektif (subjective) : yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapat pengertian bahwa masalah merupakan suatu hal yang objektif – misalnya, polusi udara dapat dijelaskan sebagai jumlah gas atau partikel dalam udara – data yang sama mengenai polusi dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara yang berbeda. Masalah kebijaksanaan (policy problem) “adalah produk aktifitas berfikir terhadap lingkungan; problem merupakan elemen dari situasi problematis yang diabstraksi dari suatu situasi tertentu oleh analis. Karena itu, yang kita alami adalah situasi problematis (problematic situation), bukan problem itu sendiri, seperti atom atau sel, merupakan CONSTRUCTS yang konseptual”. Dalam analisa kebijaksanaan penting sekali untuk tidak mencampuradukkan situasi problematis dengan problem atau masalah kebijaksanaan, karena problem kebijaksanaan merupakan buah pikiran yang timbul melalui pemindahan pengalaman kedalam pikiran manusia.
3.      Buatan (artifisial). Masalah kebijaksanaan hanya mungkin ada jika manusia mempertimbangkannya perlunya merubah situasi problematis. Masalah kebijaksanaan merupakan buah pandangan subjektif manusia; masalah kebijaksanaan juga cenderung diterima sebagai definisi yang sah mengenai kondisi sosial yang objektif; karena itu masalah kebijaksanaan dirumuskan, dicapai dan dirubah secara sosial. Masalah tidak dapat dipisahkan dengan individu atau kelompok yang mendefinisikannya, dalam arti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang secara “alami” mengangkat dari dalam dirinya masalah kebijaksanaan (Dunn, 1992:95).
4.      Dinamis (dinamics). Banyak pemecahan masalah yang dapat diambil sebanyak definisi yang dapat diberikan kepada suatu masalah. “masalah dan pemecahannya berada dalam suasana perubahan yang terus menerus (constant flux); karenanya masalah tak akan pernah dapat terpecahkan secara tuntas. Pemecahan terhadap suatu masalah dapat menjadi usang sekalipun masalah yang dipecahkan tidak usang”. Dalam rangka perumusan masalah pertama kali harus diatasi kemungkinan terjadinya problem unsolving yang berarti bahwa seseorang menghasilkan pemecahan yang benar atas masalah yang salah (Dunn, 1992:96)

C.    Tiga Kelas Masalah Kebijakan
Terdapat tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah yang sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-­structured) dan masalah yang rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung (Dunn, 1992:101).
Masalah yang sederhana (well-structured problems) adalah masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif-alternatif kebijakan. Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alternatif diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang rnasih dapat diterima (risiko). Prototipe masalah yang sederhana adalah masalah keputusan yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari semua alternatif kebijakan diprogram. Masalah-masalah operasional yang secara relatif lebih rendah di dalam instansi pemerintah memberi gambaran mengenai masalah yang sederhana. Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif adalah masalah yang sederhana yang meliputi pencarian titik optimum pada kendaraan lama yang harus dijual untuk yang baru, diambil ke dalam perhitungan biaya perbaikan rata­-rata bagi kendaraan lama dan pembelian dan harga depriasi bagi kendaraan yang baru.
Masalah yang agak sederhana (Moderately structured problems) adalah masalah-masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tuiuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian, hasi1 dari alternatif-­alternatif itu belum tentu meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin kesalahan yang diterima (risiko); hasil­-hasil itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang berarti bahwa probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang agak sederhana adalah simulasi atau permainan kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan "dilema tahanan” (Dunn, 1992:102).
Dalam pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang terpusat, di mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus memperoleh pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan hukuman. Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing tahanan yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika tidak ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan dengan tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan kejahatan yang lebih serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi jika hanya salah seorang yang mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima hukuman percobaan, sementara yang lain akan menerima hukuman maksimum. Pilihan "optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan asumsi bahwa masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah untuk mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman mereka. Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika hasilnya tidak pasti tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang "rasional" dapat memberi kontribusi terhadap irasionalitas kolektif dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.
Masalah yang rumit (Ill-structured problems) adalah masalah-­masalah yang mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan korsensus, maka karakteristik utama dari masalah-­masalah yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif keebijakan dan hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan risiko dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-­hubungan deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah. Contoh masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh, yaitu, suatu masalah di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan tunggal yang disukai oleh semua orang. Sementara masalah yang sederhana atau agak sederhana mengandung urutan-urutan pilihan yang transitif-yaitu, jika alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A3—masalah yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif (Dunn, 1992:103).
D.    Perumusan Masalah Dalam Analisa Kebijakan
Perumusan masalah, sebagai salah satu tahap dalam proses penelitian dimana analisis meraba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi problematis, tak disangkal merupakan aspek yang paing rumit tetapi paling sedikit difahami dalam analisa kebijaksanaan. Proses perumusan kebijaksanaan tidak mengikuti aturan-aturan yang definitif, karena masalah kebijaksanaan itu sendiri sedemikian kompleks. Karena itu, masalah kebijaksanaan merupakan tahap paling kritis dalam analisa kebijaksanaan, karena analisis lebih sering memecahkan masalah yang salah daripada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar. Kesalahan yang fatal dalam analisa kebijaksanaan adalah memecahkan rumusan masalah yang salah karena analisis dituntun untuk memecahkannya secara benar (Dunn, 1992:92).
Syarat yang dibutuhkan dalam rangka memecahkan masalah yang susunannya tidak jelas, tidak sama dengan yang dibutuhkan untuk masalah yang tersusun dengan baik. Jika pada masalah yang tersusun dengan baik analis dapat menggunakan metode-metode konvensional untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan dengan jelas atau terbukti sendiri, maka pada masalah yang susunannya tidak jelas terdapat tuntutan agar analis mengambil langkah pertama dengan mendefinisikan masalah itu sendiri. Dalam mendefinisikan sifat masalah, analis tidak hanya meletakkan dirinya dalam situasi problematis, tetapi juga harus menguji pemikiran dan wawasannya secara kreatif. Ini berarti bahwa kebanyakan analisa kebijaksanaan tercurah pada perumusan masalah dan setelah itu baru pada pemecahan masalah. Pada kenyataannya, pemecahan masalah hanya merupakan sebagian kecil dari kerja analisa kebijaksanaan (Dunn, 1992:106).
Lebih lanjut Hoogerwerf membedakan langkah-langkah dalam merumuskan masalah sehubungan dengan pengembangan analisis kebijaksanaan :
1.      Menyatakan hubungan (context) sosial, artinya menunjuk pada aspek dan atau sektor kebijaksanaan yang dianggap ada kaitannya dengan masalah.
2.      Menguraikan keadaan yang dikehendaki, artinya menyatakan asas, norma dan tujuan yang berkenaan dengan hubungan sosial yang dinyatakan.
3.      Melukiskan keadaan yang sedang berlangsung dan keadaan yang mungkin terjadi dalam bidang kebijaksanaan yang sedang dijalankan tanpa perubahan.
4.      Membandingkan keadaan yang sedang berlangsung dan yang mungkin terjadi dengan keadaan yang diharapkan. Melihat adanya ketidaksesuaian antara keadaan yang sedang berlangsung atau yang mungkin terjadi di satu pihak dan keadaan yang diharapkan di lain pihak adalah melihat adanya masalah.
5.      Menentukan sebab-sebab ketidaksesuaian, yaitu sebab adanya masalah.
Sebab masalah mungkin berada diluar kebijaksanaan yang sedang dijalankan. Misalnya: pengangguran dapat disebabkan oleh upah kerja yang tinggi, automatisering, saingan luar negeri, dan sebagainya. Sebab masalah dapat juga terdapat didalam kebijaksanaan yang sedang dijalankan. Misalnya, tujuan, sarana dan waktu kebijaksanaan, pengadaan lapangan kerja kurang, dan sebagainya. Selain darpada itu suatu kebijaksanaan dapat juga mempersulit masalah yang bersangkutan atau menimbulkan masalah yang baru (Suryaningrat, 1989:14).


Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:
1.      Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam penyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1)      telah mencapai titik kritis tertentu; jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
2)      telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis;
3)      menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4)      menjangkau dampak yang amat luas ;
5)      mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6)      menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.      Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3.      Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4.      Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan (Dunn, 1998:24).


Kasus 1
Mengkhawatirkan, Kadar Asap Rokok di Jakarta
Hasil penelitian yang dilakukan sebuah lembaga yang mengkaji masalah asap rokok atau Smoke Free di Jakarta mengungkapkan kadar partikel asap rokok semakin mengkhawatirkan karena telah melebihi ambang batas normal yang ditentukan World Health Organization (WHO).
Hasil pengukuran partikel asap rokok yang dilakukan Smoke Free di 169 lokasi dan 88 gedung perkantoran di Jakarta baru-baru ini menunjukkan kadar asap rokok 150-200 miligram per meter kubik atau tujuh-delapan kali lebih besar dari batas yang ditentukan WHO yaitu 25 miligram per meter kubik, demikian siaran pers Smoke Free Jakarta yang diterima Antara, Jakarta, Rabu.
Bukan hanya perkantoran di mal dan hotel pun tak kalah mengkhawatirkan, karena hasil pengukuran di 37 lokasi mal menengah keatas di Jakarta kadar asap rokok rata-rata 239,5 miligram per meter kubik atau 10 kali lipat ambang batas normal yang ditentukan WHO. Sedangkan kadar asap rokok di hotel mencapai 165,3 miligram per meter kubik atau enam kali lipat ambang batas normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan pencemaran asap rokok di dalam gedung perkantoran, mal, dan hotel di Jakarta telah melebihi tingkat pencemaran di udara. Artinya, hampir seluruh gedung perkantoran, mal, dan hotel di Jakarta tercemar asap rokok hingga batas yang mengkhawatirkan.
Belakangan beberapa gedung di Jakarta telah menerapkan sistem pemisahan area untuk merokok dan area yang dilarang merokok, namun ternyata penelitian membuktikan hal tersebut tidak banyak memberi manfaat karena asap rokok menyebar kemana-mana. Penelitian membuktikan kadar asap di area dilarang merokok 187,6 miligram per meter kubik dan untuk kadar asap area merokok hampir sama yaitu 194,6 miligram per meter kubik.
Penelitian juga dilakukan di bulan puasa pada lokasi yang sama, dimana kondisi di tempat tersebut menerapkan bebas asap rokok ternyata hasilnya asap rokok telah berkurang dua kali lipat dari kondisi biasanya.
Melalui siaran pers, Smoke Free menyimpulkan saat ini semua gedung perkantoran, mal, dan hotel tidak aman dari asap rokok. Hanya tempat yang menerapkan 100 persen bebas asap rokok yang memiliki risiko pencemaran yang rendah, sayangnya tempat seperti ini sedikit di Jakarta.
Oleh karena itu, penerapan aturan 100 persen bebas rokok di gedung perkantoran, mal, dan hotel di Jakarta adalah satu- satunya cara untuk mengurangi ancaman asap rokok.
"Harus ada gerakan masif dari masyarakat untuk mematuhi, menegur, memantau serta mengawasi penegakan hukum Jakarta sudah memiliki peraturannya tinggal penegakannya dan kita sudah tidak bisa menunggu lagi karena kesehatan kita semua taruhannya," ujar Perwakilan Koalisi Smoke Free Jakarta, Dollaris Riauaty Suhadi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan peraturan baru yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan Kawasan Dilarang Merokok (KDM) yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 50 tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan, pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum kawasan dilarang merokok.
Sumber : http://health.liputan6.com/read/759150/mengkhawatirkan-kadar-asap-rokok-di-jakarta
Kasus 2
Terjaring Razia, 57 Perokok di PGC Didata
Jakarta - Sebanyak 57 orang terjaring razia merokok di dalam area mal Pusat Grosir Cililitan (PGC), Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (24/6). Puluhan perokok ini melanggar Perda nomor 2 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan Pergub nomor 88 tahun 2010, tentang kawasan bebas rokok. Sebanyak 16 perokok merupakan pengunjung mal, sementara sisanya karyawan dan pemilik kios yang tersebar di tujuh lantai yang ada di mal PGC. Dalam razia ini, petugas Satpol PP bersama petugas internal mal menindak para perokok dengan meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk didata dan diberi peringatan.
Kasie Ops Satpol PP Jakarta Timur, Agus Sidiki menyatakan, razia tersebut merupakan respon pihaknya untuk menanggulangi pencemaran udara terutama dari asap rokok di kawasan mal PGC. Selama ini, rambu larangan merokok, dan imbauan dari petugas mal kerap dilanggar para pengunjung dan pemilik toko.
"Penindakan selalu dilakukan, tapi selalu berulang. Sasaran kami pemilik toko atau yang menyewa, tapi tidak melupakan pengunjung," kata Agus kepada wartawan di lokasi, Selasa (24/6).
Dikatakan Agus, sosialisasi larangan merokok di dalam kawasan mal sudah dilakukan pihaknya sejak setahun lalu. Untuk itu, saat ini pihaknya langsung menindak dengan mendata para perokok.
"Kami identifikasi dan menjadi database untuk pengelola gedung," jelasnya. Nantinya, kata Agus, jika para perokok kembali kedapatan petugas merokok di dalam area mal, pihaknya akan menindak lebih tegas dengan membawa ke pengadilan. Berdasar Perda nomor 2 tahun 2005 dan Pergub nomor 88 tahun 2010, perokok dapat dikenai denda Rp 50.000 atau pidana kurungan. "Untuk saat ini belum dilakukan," katanya.
Berdasar pantauan, petugas Satpol PP dan petugas internal mal disebar di setiap lantai untuk menjaring para perokok. Sejumlah pengunjung, karyawan dan pemilik toko yang tengah menghisap rokok sempat terkejut dengan razia tersebut. Petugas langsung mematikan rokok dan memasukannya ke dalam sebuah plastik bersama bungkus rokok, asbak dan korek dan KTP milik perokok. Beberapa pengunjung langsung mematikan rokok dan mengelak saat petugas memintai KTP.
Salah seorang pemilik kios, Tumindang Situmorang (43) bahkan sempat berdebat dengan seorang petugas Satpol PP di ruang pengelola PGC saat akan mengambil KTP. Tumidang membuka kios service handphone merasa keberatan dengan surat pernyataan yang mesti ditanda tanganinya. Tumidang keberatan karena dalam surat penyataan tersebut tertulis dirinya tertangkap tangan oleh petugas sedang merokok di kawasan dilarang merokok.
"Di situ ada tulisan tertangkap tangan, sementara petugas baru meminta KTP setelah saya sudah selesai merokok. Karena itu saya tidak mau tanda tangan," kata Tumindang.
Selain itu, Tumidang mengaku merasa kecewa lantaran selama ini dirinya tidak pernah dilarang untuk merokok. Tumidang menyatakan, selama ini sosialisasi dan penegakan aturan mengenai larangan merokok tersebut masih kurang.
"Kalau aturan saya rasa perda yang dipasang sudah ada. Cuma belum ada sosialisasi, dijalankan enggak ada," katanya. Kurangnya penegakan aturan tersebut terlihat dari masih banyaknya kios di dalam area PGC yang menjual rokok. Tumidang meminta petugas tidak hanya menindak perokok, tetapi juga menindak pemilik kios rokok. "Harusnya fair. Jangan perokok saja yang ditindak," tegasnya.
Heri (22), seorang pengunjung yang sedang menyewa game playstarion mengaku aktifitas merokok di dalam mal sudah sering dilakukannya. Namun, selama ini, kebiasaan tersebut tidak pernah ditegur oleh petugas internal mal.
"Sudah sering merokok. Sekuritinya biasa saja. Baru kali ini sampai dirazia," ungkapnya.
Sumber : http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/192431-terjaring-razia-57-perokok-di-pgc-didata.html

Analisis Kasus
Proses Pembuatan Kebijakan Kawasan Dilarang Merokok
Proses kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapinya. (William N. Dunn, 2003: 22-23)
Adapun proses pembuatan kebijakan disini adalah kebijakan yang dibuat Pemprop DKI Jakarta, Perda No.2 tahun 2005 pasal 13 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dijadikan dasar pembentukan Perda No.75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Dalam Perda no.75 tahun 2005 tersebut diatur tempat-tempat dan kawasan di mana orang-orang tidak boleh merokok sembarangan karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
1.      Penyusunan Agenda
Dibentuknya Perda tersebut karena muncul banyak keluhan dari masyarakat tentang gangguan asap rokok di tempat umum, kurangnya kesadaran para perokok yang masih saja seenaknya merokok di tempat-tempat umum tanpa memperhatikan aspek kenyamanan dan dampak kesehatan bagi orang lain, serta meningkatnya tuntutan kesehatan dan pengetahuan tentang dampak negatif asap rokok. Dari identifikasi Pemprov DKI Jakarta, hal-hal tersebut ditangkap sebagai sebuah “masalah publik” yang memerlukan regulasi, sehingga Pemprov DKI Jakarta menampung input tersebut dan mengaplikasikannya menjadi sebuah kebijakan.
2.      Formulasi Kebijakan
Setelah masalah itu timbul, maka selanjutnya adalah tahap formulasi kebijakan. Dimana para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif kebijakan  sebagai pemecahan  masalah yang ada. Tahap ini ada setelah para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut dalam agenda kebijakan. Kronologisnya masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan akan dibahas oleh para pembuatan kebijakan. Lalu masalah-masalah yang ada didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan  masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, jika dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif  bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Namun Pada tahap formulasi masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan terbaik. Misalnya pemerintah akan membuat kebijakan  larangan  merokok ditempat-tempat umum. Maka pilihan kebijakannya meliputi : Pertama, larangan merokok ditempat umum ditetapkan karena memberikan dampak positif dilihat dari perspektif kesehatan, lingkungan dan lain-lain. Kedua, larangan merokok ditempat umum tidak ditetapkan karena memberikan dampak negatif pada kondisi ekonomi negara Indonesia. Alternatif  kebijakan ini didasarkan atas beberapa usulan dari Pemprop DKI Jakarta, Dinas kesehatan DKI Jakarta, LSM yang bergerak pada bidang kesehatan masyarakat, pengusaha, dinas pekerjaan umum dan lain-lain.
1)      Usulan dinas kesehatan agar larangan merokok ditempat umum di tetapkan yakni untuk mengurangi angka kematian, dengan melihat dampak rokok yang sangat berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan kanker serangan jantung serta gangguan janin namun yang menjadi alasan terbesar rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif. Oleh sebab itu diperlukan perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Maka dengan adanya larangan merokok ditempat umum akan memberikan efek yang sangat positif di bidang kesehatan.
2)      Dari pengusaha dan dinas pekerjaan umum berpendapat bahwa larangan merokok ditempat umum akan menimbulkan penurunan jumlah perokok padahal keberadaan perokok bagi perusahaan merupakan hal yang sangat menguntungkan. Dengan semakin banyaknya perokok, secara otomatis semakin banyak pula laba yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dengan meningkatnya laba perusahaan rokok, maka secara otomatis pendapatan negara dari sektor pajak juga meningkat (pajak untuk rokok sebesar 36%). Dengan meningkatnya pendapatan negara dari sektor pajak, maka kesejahteraan rakyat juga terangkat. Karena dengan penghasilan dari pajak itulah pemerintah membiayai pembangunan negaranya. Selain itu, dengan adanya perokok juga berarti pekerja pabrik rokok tetap bisa bekerja. Bisa dibayangkan apabila satupun perokok sudah tidak diberi kebebasan lagi. Maka dipastikan tidak ada pabrik rokok, yang berarti tidak ada pekerja di pabrik rokok. Berarti pula meningkatnya jumlah pengangguran kerja. Maka mereka dari pengusaha ini tidak setuju dengan adanya larangan tersebut.
3)      Dari Pemprop yang sangat mendukung dengan adanya larangan merokok ditempat umum  karena larangan tersebut merupakan upaya Pengendalian Pencemaran Udara yang akan  menciptakan udara yang sehat dan bersih bagi lingkungan sekitar.
4)      Dari LSM yang berpendapat keberadaan perokok merupakan ancaman bagi generasi kita. Bukanlah rahasia lagi apabila banyak di antara remaja (siswa) yang merokok di tempat umum dengan masih mengenakan seragam sekolah. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam pergaulan. Maka dengan larangan merokok ditempat umum dan disertai sanksi yang tegas maka upaya untuk menciptakan generasi muda yang bebas dari asap rokok dan memilki perilaku yang baik akan terwujud.
Dalam tahap formulasi terjadi pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pertarungan terjadi antara LSM, Pemprop, dan dinas kesehatan yang melihat sisi positif apabila diterapkan larangan tersebut. Dengan perspektif ekonominya yang menganggap merugikan pemerintah dan pengusaha dalam hal pendapatan. Kondisi seperti ini, yang menunjukkan kepada pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dengan melihat manfaat yang akan didapat apabila larangan tersebut ditetapkan maka para aktor pengambil kebijakan menyetujui ditetapkannya larangan tersebut. Maka proses selanjutnya adalah dengan mengadakan legitimasi.
3.      Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Di dalam proses legitimasi kebijakan merupakan proses penetapan dari salah satu alternatif kebijakan yang telah terpilih oleh para perumus kebijakan diseleksi dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. Legitimasi menghasilkan sumber informasi yang kuat dan relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.
Rekomendasi juga merupakan bagian dari proses legitimasi yang merupakan suatu proses yang nantinya akan mengarah pada legitimasi kemudian akan membantu mengestimasikan tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat yang ditimbulkan, menentukan kinerja dalam pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
Dalam tahap legitimasi juga berlangsung proses penyeleksian proposal atas usulan kebijakan tersebut, membangun dukungan politik serta mengabsahkannya menjadi undang-undang. Dalam birokrasi yang teratur, pengeluaran publik dan kegiatan badan legislatif dapat diketahui berdasarkan standar kebijakan tersebut.
Ditubuh birokrasi itu sendiri mempunyai peran dan posisi yang vital dalam proses pengelolaan kebijakan termasuk pembuatan kebijakan publik. Birokrasi baik itu secara langsung maupun tidak langsung sangat menentukan tingkat efisiensi dan kualitas pelayanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat serta efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan dapat berjalan secara efektif apabila terdapat birokrasi yang sehat serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi dan representatif dari masyarakat.
Peran penting yang dimiliki birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik menimbulkan pengaruh lain. Birokrasi dan sistem politik menjadi berkaitan erat sehingga mendorong birokrasi untuk turut campur dengan kehidupan politik sehingga netralitas yang seharusnya dimiliki oleh birokrasi semakin berkurang. Birokrasi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mencapai ataupun mempertahankan kekuasaan pihak terkait.
Kebijakan publik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh birokrasi publik. Lingkungan sekitar baik itu lingkungan internal maupun lingkungan eksternal mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik. Dari aspek eksternal meliputi kesiapan dalam menerima setiap keputusan dalam pembuatan kebijakan publik dari stakeholder yang bervariasi di masyarakat.
Berkaitan dengan diberlakukannya Perda No.75 Tahun 2005 tentang Kawasan dilarang Merokok sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pemberlakuan Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran udara, diketahui bahwa alternatif tersebut dilegitimasi mengingat bahwa kebijakan ini bertujuan sebagai faktor pendukung dari Perda sebelumnya tentang pengendalian pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta dengan mempertimbangkan segala sebab dan akibat dari kebijakan tersebut. Namun, setelah segala pertimbangan menuju kepada tahap legitimasi, hal ini menimbulkan pro kontra antara pihak yang memiliki perbedaan kepentingan.
Di satu sisi amanat akan Perda tentang pengendalian pencemaran udara akan dibantu dengan disahkannya Perda tentang kawasan dilarang merokok. Namun, di sisi lain hal ini secara perlahan akan mengurangi aspek pendapatan negara karena sebagian sektor pendapatan berasal dari produksi akan rokok itu sendiri. Akan tetapi dilihat dari berbagai alternatif beserta konsekuensi dan manfaat yang akan ditimbulkan dari diberlakukannya perda tentang kawasan larangan merokok ini maka perda ini tetap dipertahankan dengan prosedur yang telah tertuang dan tidak lepas dari peran masyarakat atau lembaga dan organisasi yang berkembang di masyarakat.
Kebijakan publik merupakan respons dari sebuah sistem politik terhadap tuntutan maupun dukungan yang mengalir dari lingkungannya. Pemerintah sebagai pelaku utama implementasi kebijakan publik memiliki dua fungsi yang berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi administratif. Fungsi politik merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan para aktor lain juga harus memainkan peran pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan itu.
Sebuah kebijakan publik akan disusun berdasarkan sebuah proses sebagai berikut: identifikasi, formulasi, legitimasi, implementasi dan evaluasi. Khusus pada bagian ini, akan dibahas mengenai implementasi kebijakan publik. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sedangkan pada sisi lain implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, output maupun sebagai hasil.
Tahap implementasi kebijakan ini tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Tahap ini terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Perda ini berisi tentang pengendalian pencemaran udara yang menjadi dasar larangan merokok di area publik atau tempat umum. Penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 yang mengatur tentang kawasan dilarang merokok belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Berbagai kendala terutama terkait implementasi pemberian sanksi terhadap pelaku, masih menjadi kesulitan utama di lapangan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga menyatakan bahwa perda larangan merokok di tempat umum masih kurang efektif. Menurutnya, untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perda tersebut pemprov akan lebih banyak melibatkan komponen masyarakat. Dalam pelaksanaan peraturan daerah ini membutuhkan kerjasama masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan berbagai perda mengingat jumlah aparat yang terbatas.
Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok aktif banyak yang merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori kawasan dilarang merokok. Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok, terkadang masih banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan kenyamanan dan kesehatan orang lain.
Merokok merupakan hal yang sudah umum di kalangan masyarakat kita. Begitu umum dan lumrahnya, anak yang secara emosional belum dewasa pun kerap kali kedapatan merokok. Suatu kebanggaan, begitu kata mereka. Bahkan seringkali kedapatan remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Sungguh, sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati.
Perda Nomor 2 tahun 2005 memiliki sanksi yang cukup berat, yakni berupa kurungan badan selama enam bulan penjara atau denda uang sebesar Rp 50.000.000,-/ lima puluh juta rupiah. Karena tidak adanya ketegasan dari penerapan larangan merokok pada akhirnya Pemprov DKI Jakarta akan mengajukan perda khusus yang berbentuk rokok dengan sanksi tindak pidana ringan (tipiring). Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ibu Peni Susanti mengatakan penegakkan hukum akan sangat sulit sebab memerlukan dana, sumber daya manusia, kapasitas, dan tentu saja kinerja institusi yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, ternyata para elemen masyarakat melalui BPLHD bekerja sama dengan SIF (Swisscontact Indonesia Foundation) telah mengkaji aspek legislasi pada peraturan daerah tersebut. khususnya pasal 13 yang berbunyi sanksi minimal enam bulan penjara dan denda hingga Rp 50.000.000,-. Selain revisi sanksi, implementasi Kawasan Dilarang Merokok (KDM) kemungkinan juga akan dirubah. Kalau pada awalnya KDM itu artinya adalah salah satu ruangan khusus untuk merokok maka untuk selanjutnya berarti tidak akan ada ruangan khusus untuk merokok juga untuk perokoknya. Lima kawasan yaitu sekolah, tempat ibadah,sarana kesehatan,tempat bermain anak dan angkutan umum KDM akan total, tak akan boleh ada asap rokok yang mengepul.
Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan juga menyatakan bahwa kendala dalam penegakan selama ini adalah pada jam penegakan di lapangan pihaknya harus berkoordinasi dengan aparat kehakiman dan harus melakukan pemberkasan sebelum dijatuhkan sanksi. Nantinya sanksi revisi di perda baru disederhanakan dan menjadi sanksi tipiring. Bentuknya seperti pengendara bermotor yang melanggar akan ditilang dan wajib mengikuti persidangan. Selain sanksi pidana juga ada sanksi administrasi seperti pencabutan izin operasi akan diakomodasi di revisi peraturan daerah. Revisi perda biasanya dilaksanakan lima tahun sekali yang untuk selanjutnya akan dilakukan pada tahun 2010.
BPLHD dalam hal ini telah banyak membantu dalam proses revisi perda tersebut, yang bertujuan untuk melindungi pekerja dan pengunjung dari bahaya asap rokok.  BPLHD pun juga telah melakukan evaluasi kinerja terhadap penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Dari 120 kawasan perkantoran dan rumah sakit yang dievaluasi antara lain terungkap sebanyak 36 persen diantaranya berkategori buruk dalam menerapkan perda larangan merokok.
Perda larangan merokok di Indonesia harus diberlakukan untuk tempat-tempat umum seperti perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, sarana kesehatan, tempat bermain anak dan angkutan umum, dan sebagainya. Maka untuk itu, perda ini masih harus disosialisasikan kepada publik agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan biasanya kebijakan itu dirasakan masyarakat tidak mengetahui tentang Perda ini, karena kurangnya sosialisasi baik pemerintah daerah sendiri maupun para pihak swasta yang harus mendukung kebijakan ini.
4.      Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi sebuah kebijakan publik tentunya melibatkan berbagai pihak, diantaranya masyarakat sebagai objek dari pembangunan. Suatu kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi. Masyarakatlah yang berhadapan langsung dengan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Birokrasi, baik dalam berbagai jabatan pemerintah turut serta dalam memfasilitasi pelayanan publik tersebut, agar sesuai dengan yang diharapkan, yakni efektif, efisien, dan accountable. Evaluasi kebijakan seringkali dianggap sebagai tahap akhir penutup perumusan kebijakan,  padahal dalam mengevaluasi akan biasa ditemukan kesukaran. Masyarakat pada dasarnya menginginkan perumusan kebijakan yang secara umum demokratis dan juga arif seringkali menimbulkan kontradiktif. Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan.
Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.  Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Pertama, dan yang terpenting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai. Peran birokrasi dalam evaluasi kebijakan publik adalah dengan diterimanya setiap ada aduan dari rakyat apabila sebuah kebijakan atau program pemerintah dinilai menyeleweng dari kepentingan rakyat atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh rakyat.
Di dalam keputusan perda Jakarta mengenai larangan merokok di tempat umum memerlukan evaluasi apakah memang tepat sasaran ataukah tidak. Adapun formulasi kebijakan yang diambil dalam pembuatan Perda ini adalah model teknokratis rasional yang artinya mereduksi kebijakan publik sebagai proses dan hasil kerja teknik. Dimana formulasi kebijakan ini hanya dipercayakan kepada mereka yang menguasai (Pemprop DKI) yang menguasai pengetahuan dan kemampuan yang lebih dan mampu untuk mengatasi permasalahan atas rokok ini, tanpa memandang perlu memediasi antara masyarakat, LSM, pengusaha dan pihak-pihak yang nantinya akan terkena imbas dari kebijakan ini.


DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N. 1992. Analisa Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: Prasetya Offset.
Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Islamy, Irfan. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryaningrat, Bayu. 1989. Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
http://health.liputan6.com/read/759150/mengkhawatirkan-kadar-asap-rokok-di-jakarta.

http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/192431-terjaring-razia-57-perokok-di-pgc-didata.html

Posting Komentar

 
Top