BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Agama Islam bertugas mendidik dhahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah kita akan menjadi orang yang beruntung.Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang merupakan rukun iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian jauh untuk mencapai Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan dalam perjalanan, berpisah dengan sanak keluarga dengan satu tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan kenikmatan rohani.
Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba memberi penjelasan secara singkat mengenai pengertisn haji dan khususnya tentang bermalam di Mina.

      B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Pengertian Ibadah Haji dan Ruang Lingkupnya ?
2.      Bagaimana Pengertian Bermalam di Mina Jadid ?

     C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.      Memahami Pengertian Ibada Haji dan Ruang Lingkupnya.
2.      Memahami Pengertian Bermalam di Mina Jadid.


BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Haji
Kata Haji berasal dari bahasa arab dan mempunyai arti secara bahasa dan istilah. Dari segi bahasa haji berarti menyengaja, dari segi syar’i haji berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah untuk mengerjakan ibadah yang meliputi thawaf, sa’i, wuquf dan ibadah-ibadah lainnya untuk memenuhi perintah Allah SWT dan mengharap keridlaan-Nya dalam masa yang tertentu.[1]
1.      Hukum Ibadah Haji[2]
Mengenai hukum Hukum Ibadah Haji asal hukumnya adalah wajib ‘ain bagi yang mampu. Melaksanakan haji wajib, yaitu karena memenuhi rukun Islam dan apabila kita “nazar” yaitu seorang yang bernazar untuk haji, maka wajib melaksanakannya, kemudian untuk haji sunat, yaitu dikerjakan pada kesempatan selanjutnya, setelah pernah menunaikan haji wajib.
Haji merupakan rukun Islam yang ke lima, diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu untuk mengerjakan. jumhur Ulama sepakat bahwa mula-mulanya disyari’atkan ibadah haji tersebut pada tahun ke enam Hijrah, tetapi ada juga yang mengatakan tahun ke sembilan hijrah.
2.      Dalil Perintah Ibadah Haji
a.       Al-Qur’an
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 97, yaitu :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya :
 “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran : 97).
b.      Hadist
Nabi Muhammad SAW. bersabda di dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh imam Ahmad yang artinya sebagai berikut :
“Dari ibnu Abbas, telah berkata Nabi SAW : Hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji, maka sesungguhnya seseorang tidak tidak akan menyadari, sesuatu halangan yang akan merintanginya”. (H.R. Ahmad)
Setiap orang hanya diwajibkan mengerjakan ibadah haji satu kali saja dalam seumur hidupnya, tetapi tidak ada larangan untuk mengerjakan lebih dari satu kali.
3.      Syarat, Rukun Wajib dan Sunat Haji[3]
a.       Syarat-Syarat Diwajibkan Haji
Ø  Islam
Ø  Baligh
Ø  Berakal
Ø  Merdeka
Ø  Kuasa (mampu)
b.     Rukun-Rukun Haji
Ø  Ihram yaitu berpakaian ihram, dan niyat ihram dan haji
Ø  Wukuf di arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah; yaknihadirnya seseorangyang berihram untuk haji, sesudahtergelincirnya mataahari yaitu pada hari ke-9 Dzulhijjah.
Ø  Thawaf yaitu tawaf untuk haji (tawaf ifadhah)
Ø  Sa’i yaitu lari-lari kecil antara shafa dan marwah 7 (tujuh) kali
Ø  Tahallul; artinya mencukur atau menggunting rambut sedikitnya 3 helai untuk kepentingan ihram
Ø  Tertib yaitu berurutan
c.      Wajib Haji Yaitu sesuatu yang perlu dikerjakan, tapi sahnya haji tidak tergantung atasnya, karena boleh diganti dengan dam (denda) yaitu menyembelih binatang. berikut kewajiban haji yang mesti dikerjakan, yaitu:
Ø  Ihram dari Miqat, yaitu memakai pakaian Ihram (tidak berjahit), dimulai dari tempat-tempat yang sudah ditentukan, terus menerus sampai selesainya ibadah haji.
Ø  Bermalam di Muzdalifah sesudah wukuf, pada malam tanggal 10 Dzulhijjah.
Ø  Bermalam di Mina selama2 atau 3 malam pada hari tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).
Ø  Melempar jumrah ‘aqabah tujuh kali dengan batu pada tanggal 10 Dzulhijjah dilakukan setelah lewat tengah malam 9 Dzulhijjah dan setelah wukuf.
Ø  Melempar jumrah ketiga-tiganya, yaitu jumrah Ula, Wustha dan ‘Aqabah pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah dan melemparkannya tujuh kali tiap-tiap jumrah.
Ø  Meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan karena ihram.
d.     Sunat-Sunat Haji
Ø  Ifrad, yaitu mendahulukan urusan haji terlebih dahulu baru mengerjakan atas ‘umrah.
Ø  Membaca Talbiyah yaitu :“Labbaika Allahumma Labbaik Laa Syarikalaka Labbaika Innalhamda Wanni’mata Laka Walmulka Laa Syarika Laka”.
Ø  Tawaf Qudum, yatiu tawaaf yuang dilakukan ketika permulaan datang di tanah ihram, dikerjakan sebelum wukuf di ‘Arafah.
Ø  Shalat sunat ihram 2 raka’at sesudah selesai wukuf, utamanya dikerjakan dibelakang makam nabi Ibrahim.
Ø  bermalam di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah
Ø  thawaf wada’, yakni tawaf yang dikerjakan setelah selesai ibadah haji untuk memberi selamat tinggal bagi mereka yang keluar Mekkah.
Ø  berpakaian ihram dan serba putih.
Ø  berhenti di Mesjid Haram pada tanggal 10 Dzulhijjah.
4.      Tata Cara Pelaksanaan Haji[4]
a.       Di Mekkah tgl 8 Djulhijjah
Ø Mandi dan berwudhu
Ø Memakai kain ihram kembali
Ø Shalat sunat ihram dua raka’at
Ø Niyat haji : “Labbaika Allahumma Bihajjatin”
Ø Berangkat menuju ‘Arafah
Ø membaca talbiyah, shalawat dan do’a : Talbiyah : “Labbaika Allahumma Labbaik Laa Syarikalaka Labbaika Innalhamda Wanni’mata Laka Walmulka Laa Syarika Laka”.
b.      Di Arafah
Ø   waktu masuk Arafah hendaklah berdo’a
Ø   menunggu waktu wukuf
Ø   wukuf  (pada tanggal 9 Djulhijjah)
Ø   Sebagai pelaksanaan rukun haji seorang jamaah harus berada di Arafah  pada tanggal 9 Djulhijjah  meskipun hanya sejenak
Ø   waktu wukuf dimulai dari waktu  Dzuhur tanggal 9 Djulhijjah sampai  terbit fajar tanggal 10 Djulhijjah
Ø   Doa wukuf
Ø   Berangkat menuju muzdalifah sehabis Maghrib
Ø   Agar tidak terlalu lama menunggu waktu sampai  lewat tengah malam (mabit) di Muzdalifah  hendaknya jemaah meninggalkan Arafah sesudah  Maghrib (Maghrib-isya di jama takdim)
Ø   Waktu berangkat dari Arafah hendaknya berdo’a
c.       Di Mudzalifah Malam 10 Dzulhijjah
Ø  Waktu sampai di Muzdalifah berdo’a
Ø  Mabit, yaitu berhenti di Muzdalifah untuk menunggu waktu lewat tengah malam sambil mencari batu krikil sebanyak 49 atau 70 butir untuk melempar jumrah
Ø  Menuju Mina
d.      Di Mina[5]
Ø  Sampai di Mina hendaklah berdo’a .
Ø  Selama di Mina kewajiban jama’ah adalah melontar jumroh dan bermalam (mabit)
Ø  Waktu melempar jumroh
Ø  melontar jumroh aqobah waktunya setelah tengah malam , pagi dan sore. Tetapi diutamakan sesudah terbit matahari tanggal 10 Djulhijjah
Ø  melontar jumroh ketiga-tiganya pada tanggal 11,12,13 Dzulhijjah waktunya pagi, siang, sore dan malam. Tetapi diutamakan sesudah tergelincir matahari.
Ø  Setiap melontar 1 jumroh 7 kali lontaran masing-masing dengan 1 krikil
Ø  Pada tanggal 10 Djulhijjah melontar jumroh Aqobah saja lalu tahallul (awal). Dengan selesainya tahallul awal ini, maka seluruh larangan ihram telah gugur, kecuali menggauli isteri. setelah tahallul tanggal 10 Djulhijjah kalau ada kesempatan hendaklah pergi  ke Mekkah untuk thawaf ifadah dan sa’i  tetapi harus kembali pada hari itu juga dan tiba di mina sebelum matahari terbenam.
Ø  Pada tanggal 11, 12  Djulhijjah melontar jumroh Ula, Wustha dan Aqobah secara berurutan, kemudian kembali ke mekkah. itulah yang dinamakan naffar awal.
Ø  Bagi jama’ah haji yang masih berada di Mina pada tanggal 13 Djulhijjah diharuskan melontar ketiga jumroh itu lagi, lalu kembali ke mekkah. itulah yang dinamakan naffar tsani.
Ø  Bagi jama’ah haji yang blm membayar dam hendaklah menunaikannya disini dan bagi yang mampu, hendaklah memotong hewan kurban.
Ø  Beberapa permasalahan di Mina yang perlu diketahui jama’ah adalah sebagai berikut :
ü  Masalah Mabit di Mina
ü  Masalah melontar jumroh
ü  melontar malam hari
ü  melontar dijamakkan
ü  tertunda melontar jumroh Aqobah
ü  mewakili melontar jumroh
e.       Kembali ke Mekkah
Ø  Thawaf Ifadah
Ø  Thawaf Wada
Ø  Selesai melakukan thawaf wada bagi jama’ah gelombang      pertama, berangkat ke Jeddah untuk kembali ke tanah air.


      B.    Bermalam Di Mina[6]
            Mina menjadi tempat Nabi Ibrahim AS melempar jumrah dan menyembelih domba sebagai pengganti Ismail. Lembah ini layaknya padang pasir biasa di kawasan Timur Tengah. Namun, padang pasir yang terletak sekitar lima km di sebelah timur Makkah ini punya keistimewaan. Lembah istimewa itu dikenal dengan Mina. Posisinya berada di antara Kota Makkah dan Muzdalifah. Dalam buku Sejarah Kota Mekkah karangan Muhammad Ilyah dijelaskan penyebutan Mina karena di sinilah tempat tertumpahnya darah.
Selain itu, juga dikatakan sebagai tempat berkumpulnya manusia. Orang Arab menyebut setiap tempat berkumpulnya manusia dengan Mina. 
Dikutip dalam buku Ensiklopedia Haji dan Umrah, Kota Mina disebut juga oleh orang Arab dengan nama Muna yang maknanya pengharapan. Penamaan ini erat kaitannya dengan kisah nenek moyang manusia, Adam dan Hawa.
Menurut kisahnya, di Mina ini Nabi Adam mendapat bisikan berisi harapan dia akan bertemua istrinya, Hawa. Pertemuan antara Nabi Adam dan Hawa kemudian baru terjadi di Jabal Rahmah, sebuah bukit kecil di kawasan Padang Arafah.
Mina termasuk dalam Masy’aril Haram (Bukit Quzah di Muzhdalifah). Di sinilah Ibrahim melempar jumrah dan menyembelih domba sebagai pengganti Ismail. Di sini juga tempat Rasulullah melempar jumrah dan menyembelih kurban saat pelaksanaan haji wada.
Mina menjadi lokasi transit bagi jamaah haji sebelum menuju Arafah dan sekembalinya dari sana. Kini, padang pasir ini telah dipenuhi oleh ribuan tenda yang diperuntukkan bagi jamaah haji dari seluruh dunia.
Mina menjadi tempat peristirahatan bagi jamaah haji. Sebelum wukuf di Arafah, jamaah akan mendatangi Mina dan bermalam di dalam tenda-tenda tersebut. Jamaah biasanya bermalam pada 9, 11, dan 12 Dzulhijah.
Setelah shalat Subuh pada 9 Dzulhijah, jutaan jamaah haji pun beramai-ramai berjalan kaki menuju Padang Arafah untuk melakukan inti haji, yaitu wukuf. Jamaah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah.
Selain untuk bermalam kembali di tenda-tenda yang telah disediakan, jamaah haji juga wajib melempar jumrah. Kerikil dan batu bisa dilemparkan di tiga tempat atau lokasi melempar jumrah, yaitu jumrah aqabah, wusta, dan ula. Di jumrah tersebut, dibuat pilar-pilar putih sebagai perlambang setan yang kemudian akan dilempari dengan oleh kerikil oleh para jamaah haji. Luasnya tempat untuk melempar jumrah ini sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah jamaah haji setiap tahunnya.
Dari laman resmi Kementerian Agama, dijelaskan adanya rencana perluasan area ini menjadi Mina Jadid. “Jika dibandingkan dengan jumlah jamaah haji yang semakin banyak, tempat tersebut tidak muat dan harus diperlebar,” ujar Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemenag Zubaidi.
Setelah menunaikan rukun melempar jumrah, jamaah haji yang melaksanakan nafar awal melaksanakan mabit (bermalam), yaitu pada 11 dan 12 Dzulhijah.
Sedangkan, bagi jamaah yang melaksanakan nafar tsani, bisa bermalam di Mina pada 12 hingga 13 Dzulhijah. Amalan untuk bermalam di Mina ini dilakukan Rasulullah SAW saat berhaji dan hukumnya sunah.
Artinya, ketika 9 Dzulhijah sebelum ke Arafah, jamaah haji tidak wajib bermalam di Mina. Namun, bagi yang tidak bermalam di Mina, harus membayar dam (denda).
Mina menjadi lokasi penyembelihan binatang kurban. Di sini juga berdiri Masjid Khaif yang merupakan masjid ketika Rasulullah melakukan shalat saat melaksanakan ibadah haji.
Disebut al-Khaif karena masjid itu berada di sebuah bukit batu yang landai jauh dari saluran air. Masjid ini terletak di sebelah selatan Bukit Mina, dekat dengan jumrah as-Sughra. Dalam Hadis Riwayat  at-Tirmidzi, Yazid bin Aswat berkata, “Aku ikut melaksanakan haji bersama nabi. Aku shalat Subuh bersamanya di Masjid al-Khaif.” Di belakang Masjid al-Khaif terdapat Gua al-Murshalat.

      C.    Perluasan Mina atau Mina Jadid[7]
Tidak ada nash yang tegas dalam menetukan batas-batas Mina. Para Fuqaha pun, terutama Fuqaha salaf, tidak menentukan batas-batas Mina secara jelas. Kebanyakan mereka hanya menyebut batas Mina ke arah Mekkah, yaitu pada ujung Aqobah ke arah Mekkah. Kawasan di belakang Jumroh Aqobah ke arah Mekkah sudah merupakan kawasan luar Mina.
Mina adalah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi, dan masih dalam kawasan tanah haram. Mina digunakan sebagai tempat mabit pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, 13 Dzulhuijjah). Namun Mina dikatakan mempunyai batas-batas tertentu, sehingga kawasan di luar batas Mina tidak dipandang sebagai Mina, sehingga berada di tempat itu bukanlah mabit. Panjangnya Mina sekitar 2 mil atau sekitar 3 km.
Sedangkan lebarnya adalah kawasan di antara dua bukit. Pada saat ini bukit yang mengapit Mina telah diratakan sehingga kawasan yang ada di antara dua bukit menjadi luas. Oleh karena itu untuk memudahkan mengenalinya Pemerintah Arab Saudi pun membuat papan petunjuk bertuliskan “Nihayat Mina” (batas akhir Mina).
Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan Mina Jadid (Mina yang baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.Mina terletak 5 km sebelah timur Makkah. Letaknya antara pusat kota Makkah dan Arafah, tempat wukuf jamaah haji.
Mina mendapat julukan Kota Tenda, karena berisi tenda-tenda untuk jutaan jamaah haji seluruh dunia. Di padang Mina yang seluas 600 hektar, jamaah akan menginap 3 hari untuk melakukan ritual lempar jumroh. Awalnya, pemerintah Arab Saudi kesulitan untuk memperluas wilayah Mina itu karena lokasinya yang berada di celah perbukitan. Padahal, jumlah jamaah haji terus bertambah. Kalau semua harus tidur di tenda maka tidak akan cukup. Perluasan ke kanan dan kiri tidak mungkin karena menabrak gunung, sehingga kini perkemahan Mina terus meluas melewati Muzdalifah.[8]
Masalah yang timbul selanjutnya adalah Jarak Muzdalifah-Mina itu hanya lima kilometer. sehingga tenda-tenda yang dirikan melewati batas wilayah mina dan tenda terus didirikan meskipun menyeberang ke wilayah Muzdalifah. Wilayah perluasan Mina ke Muzadalifah itulah yang oleh orang Indonesia disebut Mina Jadid. Jamaah haji Indonesia selalu mendapat tempat di wilayah perluasan tersebut. Namun mereka yang tidak tahu asal-usulnya tidak akan menyadari kalau ternyata mereka tidur di tanah Muzdalifah, bukan di Mina. Tenda paling belakanglah yang menjadi batas kedua wilayah tersebut. Dan disitu terdapat papan petunjuk yang tertulis batas akhir mina (nihayat Mina)
Penggunaan istilah Mina Jadid menyebabkan munculnya kontroversi. Ada yang mengatakan bermalam di wilayah Mina Jadid itu tidak sah. Karena sesungguhnya berada di Muzdalifah. Sedangkan di Muzdalifah ada prosesi tersendiri. Supaya tidak ada yang merasa menginap di Muzdalifah, Depertamen Agama menggunakan kata Mina Jadid itu yang artinya Mina baru.
Sebagian jamaah menganggap mabit di Mina Jadid tidak sah karena mengganggapnya di luar Mina. Tahun 2011 jamaah haji reguler di Mina menempati 70 maktab, yang sebagian lokasinya jauh dari Jamarat. Perkemahan jemaah haji Indonesia di Mina, seperti tahun sebelumnya, sebagian besar berlokasi di Haratul Lisan dan ada juga yang berlokasi di Mina Jadid; karena itu, di malam hari mereka memasuki Mina, duduk-duduk lesehan, sembari menunggu pergantian hari untuk melempar jumroh. Yang pemondokannya dekat Mina, lebih memilih tinggal di pemondokan, malam hari baru memasuki Mina. Atau mendekati posko haji Indonesia di Mina.
Selain Indonesia, sejumlah jamaah negara di India, Pakistan dan Bangladesh juga menempati Mina Jadid. Mina Jadid dihuni oleh maktab 1-9. Tiap maktab berisi 2.900 orang. Jarak yang jauh dari lokasi lempar jumroh menjadi kendala. Ke Jamarat 7 km. pulang pergi 14 km, kemudian dari Jamarat bersambung ke Masjidil Haram untuk tawaf ifadhoh dan sa’i kira-kira 5 km, jadi totalnya kurang lebih 14 km ditambah pulang pergi ke Masjidil Haram 10 km jadi 28 km.
Pemerintah Arab Saudi juga terus memikirkan solusi bagaimana jamaah haji bisa leluasa bermalam di Mina. Solusi itu antara lain, Saudi akan membangun dua proyek raksasa di Mina: gedung bertingkat dan tenda bertingkat. Kedua proyek itu akan dibangun setelah musim haji tahun ini dan diharapkan mampu mengakomodasi 1,5 juta jamaah haji di masa mendatang. Bila kedua bangunan itu berdiri, maka Mina diharapkan akan mampu menampung 3 juta jamaah. Lokasi pembangunan proyek itu adalah lereng pegunungan yang mengelilingi Mina.
a)      Hukum Mabit di Mina[9]
Pada tanggal 8 Zulhijjah  semua jamaah haji  yang saat itu berada di Makkah diberangkatkan ke Arafah. Setelah wukuf, mereka balik menuju Muzadalifah. Di sana harus berhenti paling tidak sampai tengah malam. Setelah itu baru melanjutkan perjalanan ke Mina dan menginap di sana.
Mabit di Mina pada malam Arafah (hari Tarwiyah malam) disepakati hukumnya sunnat, tidak wajib. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hukum mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,dan 13 Dzulhijjah).
Berikut adalah pendapat para ulama madzhab tentang Mabit di Mina dengan dalil-dalil yang dipergunakan:
1.      Menurut Madzhab Hanafiyah (dan Ulama yang tidak mewajibkan Mabit di Mina)
            Mabit merupakan sunnah haji  karena Mabit di mina bertujuan untuk memudahkan para jamaah haji dalam melontar jumroh yang waktunya bersamaan dengan mabit, yaitu hari-hari Tasyriq. Dan tidak ada dam (denda) bagi yang meninggalkannya. Tetapi mereka dianggap musi’ (berbuat tidak baik melanggar peraturan).
Dalilnya:[10][11]
            Hadits riwayat Ibnu Abbas RA: “ jika engkau hendak melontar jumroh, bermalamlah dimanapun engkau inginkan.”
            Hadits ibnu Umar RA: “Rasulullah SAW melakukan thawaf ifadhah pada hari qurban (nahr), kemudian kembali lagi lalu sholat zuhur di Mina.”
Nabi memberidzin (adzdzana) kepada Abbas RA untuk bermalam di Mekkah pada hari-hari Mina karena dia menjadi petugas siqayah[7] (penyedia air minum untuk jamaah haji yang dikerjakan secara turun temurun oleh keluarga Bani Hasyim).
Hadits dari Ashim Bin Adi: “Rasulullah SAW member izin kepada para penggembala untu untuk tidak bermalam di Mina. Mereka melontar Jumroh aqobah pada hari nahr, kemudian mereka pada dua hari, kemudian melontar pada hari nafar.”
Untuk kedua hadits terakhir ini tidak mengindikasikan adanya kewajiban mabit di Mina. Seandainya wajib tentu tidak diizinkan oleh nabi SAW dan tentu dikenai denda karena meninggalkan bagian yang wajib.
2.      Menurut Mazhab Malikiyyah
            Mabit di Mina merupakan bagian dari wajib haji disamping singgah di Muzdalifah, melontar Jumroh, Tahallul dan membayar Fidyah.
Dalilnya:[12]
            Nabi SAW bermalam di Mina pada hari Tasyriq (khudzu ‘anni manasikakum).[13]
            Nabi member idzin (adzdzana) kepada Abbas RA untuk bermalam di Mekkah pada hari-hari Mina karena dia menjadi petugas siqayah (penyedia air minum untuk jamaah haji yang dikerjakan secara turun temurun oleh keluarga Bani Hasyim). Menurut pandangan Malikiyyah, rukhshah ini khusus diberikan Nabi SAW kepada Abbas RA dan tidak berlaku untuk semua orang. Sesuai qaidah ushul Fiqih :’At-Ta’bir bir-Rukhshah yaqtadhi an maqabalaha ‘azimah’. (ketiadaan rukhsah bagi yang lain akan berlaku sebaliknya, yaitu azimah (keharusan). Umar Bin Khattab menganjurkan agar seluruh jamaah haji segera berkumpul di Mina dan bermalam disana. Konsekuensi bagi yang tidak mabit di Mina adalah membayar dam (denda).
3.      Menurut Mazhab Hanbali
            Wajib mabit pada hari Tasyriq bagi selain  siqayah dan pengembala unta (ri’a’ al-ibil). Bagi jamaah haji yang sengaja meninggalkan mabit tanpa udzur tersebut akan dikanai dam. Jenis dam bisa berupa makanan (ukuran satu mud) atau uang (dirham).
4.      Menurut Mazhab Syafi’iyyah
            Qaul masyhur: wajib mabit di Mina. Disyaratkan hendaknya sebagian besar dari malam yang dijalaninya dalam malam hari-hari tasyriq bagi mereka yang tidak terburu-buru. Adapun bagi mereka yang terburu-buru dan menginginkan keluar dari Mina menuju Mekkah pada hari kedua Tasyriq, maka kewajiban pada hari berikutnya melontar jumroh pada hari itu gugur. Namun bagi mereka yang mempunyai udzur seperti siqayah, ri’a’ al-ibil, dan orang yang menghawatirkan dirinya dan hartanya terancam disebabkan mabit di Mina, diberikan rukhshah untuk tidak mabit dan tidak tinggal di Mina. Namun tetap harus melontar jumroh.
Dalilnya:
            QS. Al-Baqarah: 103; “ Barangsiapa ingin cepat berangkat (ke Mina) sesudah dua hari maka tidak ada dosa baginya.”
Kadar mabit:
            Mu’zham al-lail (mabit semalam penuh), Hadir beberapa waktu pada saat terbitnya fajar. Konsekuensinya adalah: bagi jamaah yang meninggalkan mabit selama tiga hari berturut-turut dikenakan satu dam.sedangkan jika meninggalkan satu hari saja, maka dia harus membayar satu mud makanan; atau dirham; atau sepertiga dam tiap malamnya.
            Pendapat diatas menggambarkan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama madzhab dalam menentukan apakah jamaah haji diperbolehkan mabit diluar Mina atau tidak.  Mayoritas ulama madzhab menyatakan kewajiban mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq. Melihat dari kondisi yang saat ini terjadi karena tidak tertampungnya seluruh jamaah saat mabit di Mina.
            Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan Mina Jadid (Mina yang baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
            Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.
            Pertanyaan yang muncul adalah sahkah mabit di luar kawasan Mina tersebut? Ulama yang membolehkan (mensahkan mabit di luar Mina) Dengan mensyaratkan perkemahan tersebut bersambung (ittishal al-mukhayyamat) dengan perkemahan yang ada di Mina. Hal ini dikiaskan/diilhaqkan dengan sahnya sholat jum’at yang harus berada di Masjid. Jika masjid telah penuh, maka bisa melebar keluar asalkan safnya bersambung (ittishal al-shufuf). Dan karena jamaah bersambung dengan jamaah masjid dan mengetahui gerakan imam, maka shalatnya dianggap sah, tidak perlu melakukan shalat zuhur sebagai pengganti sholat tersebut.
Dalil-dalil atas kesahhannya adalah:
Qoidah ad-dharar yuzalu
“sesuatu yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan.”
Qoidah Al-Masyaqqoh Tajlibut Taysir
“kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Qoidah Al-Amru idza dhooqo  ittasa’a
“jika suatu keadaan menyempit dan menyulitkan maka dimungkinkan diperluas atau dipermudah.”
            Kaidah-kaidah tersebut bertujuan agar ketentuan-ketentuan syariah dapat dapat dilaksanankan oleh mukallaf kapan dan dimana saja dengan memberikan kelonggaran dan dispensasi apabila mukallaf itu mengalami kesulitan dalam melaksanakannya. Kaidah-kaidah ini merupakan penjelasan dari ketidaknyamanan yang disebutkan dalam berbagai aspek yang ada di Mina pada paragraph-paragraf sebelumnya. Juga perluasan perkemahan Mina ini merupakan alternative yang saat ini bisa ditempuh sebelum terselesaikannya perkemahan Mina yang bertingkat dan permanen.
Qoidah hukmul hakim ilzaamun yarfa’ul khilaaf.
“Putusan penguasa mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”
Q.S. An-Nisa:59
“hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.”
            Sebagai pelayan dan penanggung jawab pelaksanaan haji, Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan perluasan area mabit sampai ke Muzdalifah. Keputusan tersebut tentunya dengan mepertimbangkan kemaslahatan jamaah haji dan setelah mendapat pertimbangan para ahli termasuk Mufti kerajaan dan para ulama yang tergabung dalam Hay’at Kibar al-ulama.[14]
            Persoalan ini dianggap sudah jelas. Bahwa jamaah haji yang tinggal di luar Mina diharuskan beranjak menuju Mina dan mabit di sana selama mu’jam al-lail (separuh malam lebih) dari malam hari tasyrik. Sementara jamaah haji yang tidak bisa mabit di Mina diharuskan membayar dam (denda) karena meninggalkan manasik haji.
Q.S. Al-Baqarah: 185
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Q.S. Al-A’raf: 157
“ (yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (namanya) mereka dapati tertulis did alam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
            Ayat ini merupakan gambaran tentang kondisi sempit dan sulit yang disingkirkan oleh syariat Islam dengan kelonggaran dan kemudahan.
Hadits tentang sahabat Abbas RA yang menjadi Siqayah
Hadits tentang ri’a’ al-ibil
Hadits tentang orang yang menjaga harta bendanya
            Kebolehan tidak bermabit di Mina pada tiga ‘golongan’ di atas dipersamakan oleh banyak ulama dengan mereka yang memiliki urusan yang dikhawatirkan luput atau tertanggu. Atau orang sakit yang membutuhkan perawatan, atau orang yang mengalami kondisi darurat atau beban kesulitan yang jelas. Dalam hal rukhshah untuk tidak mabit di Mina, orang yang kondisinya sama dengan mereka, bahkan lebih, adalah orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas untuk mabit. Begitu juga dengan orang yang keluar untuk thawaf di Baitullah, lalu ia tertahan oleh konsentrasi massa sehingga tertinggal bermalam di Mina. Mabit di luar Mina itu disebabkan oleh faktor eksternal, bukan merupakan perbuatan atau keinginannya sendiri, dan ia tidak sanggup menghilangkan factor tersebut. Dan mereka yang mabit di luar Mina karena factor-faktor tersebut bisa dikategorikan sebagai orang yang uzur sehingga tidak diwajibkan membayar dam atas itu.
            Jika tetap dipaksakan untuk bermabit di Mina sesuai dengan batasan yang telah disebutkan tadi maka hal ini dapat membahayakan jamaah. Dan ini tentu saja membahayakan jamaah malah bertentangan dengan prinsip hukum Islam laa dharaar wa laa dhiraar (tidak ada perbuatan memudharatkan dan membalas perbuatan memudharatkan). Dan Firman Allah Q.S. Al-Maidah: 6 “Allah tidak ingin memberikan kesulitan kepadamu.”
            Dan konsekuensi logis dari mabit di luar Mina yaitu para jamaah haji tersebut mengambil nafar awal dikarenakan lokasi pemondokan yang sangat jauh dari Jamarot (tempat pelontaran). Jamaah yang berada di Mina Jadid harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer. Dengan demikian, sekitar 70 persen jamaah haji Indonesia melakukan nafar awal dan sisanya mengambil nafar tsani.
            Sebagian ulama yang melarang diadakannya mabit di luar Mina adalah karena menurutnya tempat-tempat haji dan waktunya telah ditetapkan oleh syariat, di sana tidak (ada) tempat untuk melakukan ijtihad. Rasulullah SAW saat melakukan haji bersabda, ‘Hendaklah kalian mengambil manasik (haji) kalian dariku, boleh jadi aku tidak bertemu dengan kalian setelah tahun ini’ oleh karena itu Beliau Nabi SAW telah men jelaskan waktu-waktu dan tempat-tempat (pelaksanaan ibadah haji).
            Batasan Mina adalah dari Wadi Muhassir hingga Jumrah Aqabah. Maka siapa yang menunaikan ibadah haji, hendaknya dia mencari tempat di dalam batas wilayah Mina, jika tidak mampu, maka dia boleh berdiam di tempat terdekat sesudahnya, dan tidak mengapa baginya.
            Namun sebagian besar ulama menyebut sah untuk menjadi lokasi mabit, karena ada kondisi darurat, dan Ulama Arab Saudi menganggap sah. Mereka menyebut ini perluasan Mina, kemah di Mina bersambung ke Mina Jadid.
            Dengan pertimbangan di atas, maka diperbolehkan mabit di Mina Baru sebagaimana diperbolehkan mabit di Mina yang lama. Ini karena kota Mina Baru masih mengikut kepada Mina yang lama. Di dalam kaidah fiqih disebutkan, ungkapan ini berarti Sesuatu yang mengikut statusnya sama dengan yang diikuti (al ashlu baqa’u ma kana ala maa kana). Permasalahan ini juga berlaku pada pemugaran Masjidil Haram di Makkah, dan Masjid Nabawi di Madinah Oleh karena itu, tidak ada seorang ulama pun yang menyangkal bahwa pelaksanaan shalat di bangunan yang baru dari kedua masjid tersebut akan mendapatkan pahala, sebagaimana di lokasi yang lama pada masa Nabi Muhammad Saw. Sikap tersebut menunjukkan kesepakatan mereka mengenai kebolehan shalat di bangunan masjid yang baru dan perolehan pahala yang sama.
            Perluasan areal mabit di Mina ilhaq dengan tawsi’ah shufufi al-shalat untuk shalat Jum’ah sepanjang terjadi persambungan antara perkemahan jamaah haji. Praktek istidlal tersebut bermuara pada ilhaq atau pengembangan hukum secara qiyas (analogi).
            Jika pemerintah Saudi tetap terpaksa akan menempatkan sebagian jamaah haji untuk mabit di kemah kawasan perluasan kawasan Mina di Muzdalifah maka kita harus mengantisipasi kebijaksanaan Pemerintah Arab Saudi tersebut.
            Mabit di perluasan kemah di kawasan luar Mina hukumnya sah seperti di Mina, sebagaimana ijtihad dan pendapat para ulama Saudi dan lainnya dikarenakan darurat. Hanya pelaksanaan melontarnya saja yang diatur. Tetapi apabila nanti pemerintah Saudi Arabia telah rampung membangun gedung-gedung tinggi di Mina sehingga mampu menampung seluruh jamaah haji, maka seluruh jamaah haji yang mabit di luar Mina tersebut harus kembali mabit di Mina.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tugas manusia di muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada Allah SWT sesuai dengan syari’at yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW, beribadah banyak macamnya. Adapun yang menjadi tolak ukur seorang hamba di dalam ibadahnya yaitu dengan melaksanakan shalat, dan sebagai penyempurna rukun Islam kita yaitu ibadah haji. Ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari pembahasan ini, yakni :
ü  Shalat dan ibadah haji termasuk rukun Islam dan perintah Allah, yang wajib kita laksanakan apabila kita mampu “Ibadah Haji”.
ü  Apabila kita mati shalat merupakan hisaban pertama yang dilakukan dan sebagai tolak ukur ibadah-ibadah yang lainnya.
ü  Orang yang suka melaksanakan shalat berarti dia menegakan agama, dan orang yang tidak suka melaksanakan shalat berarti dia menghancurkan agama.
ü  Untuk menambah pahala ibadah shalat, kita mesti melaksanakan shalat nawafil yakni shalat sunat, baik rawatib atau mutlak atau shalat sunat lainnya, seperti dluha, tahajud, hajat dan lain sebagainya.
ü  Dengan meksanakan ibadah haji kita bisa bertemu dengan umat islam yang lain dari seluruh dunia.
ü  Dengan melaksanakan ibadah haji kita akan dibalas dengan balasan surga firdaus dan itu untuk haji yang mabrul.
Mina menjadi tempat Nabi Ibrahim AS melempar jumrah dan menyembelih domba sebagai pengganti Ismail. Lembah ini layaknya padang pasir biasa di kawasan Timur Tengah. Namun, padang pasir yang terletak sekitar lima km di sebelah timur Makkah ini punya keistimewaan. Lembah istimewa itu dikenal dengan Mina. Posisinya berada di antara Kota Makkah dan Muzdalifah. Dalam buku Sejarah Kota Mekkah karangan Muhammad Ilyah dijelaskan penyebutan Mina karena di sinilah tempat tertumpahnya darah.
Dengan pertimbangan di atas, maka diperbolehkan mabit di Mina Baru sebagaimana diperbolehkan mabit di Mina yang lama. Ini karena kota Mina Baru masih mengikut kepada Mina yang lama. Di dalam kaidah fiqih disebutkan, ungkapan ini berarti Sesuatu yang mengikut statusnya sama dengan yang diikuti (al ashlu baqa’u ma kana ala maa kana). Permasalahan ini juga berlaku pada pemugaran Masjidil Haram di Makkah, dan Masjid Nabawi di Madinah Oleh karena itu, tidak ada seorang ulama pun yang menyangkal bahwa pelaksanaan shalat di bangunan yang baru dari kedua masjid tersebut akan mendapatkan pahala, sebagaimana di lokasi yang lama pada masa Nabi Muhammad Saw. Sikap tersebut menunjukkan kesepakatan mereka mengenai kebolehan shalat di bangunan masjid yang baru dan perolehan pahala yang sama.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fakhruddin dkk, 2003, Al-Quran dan Terjemahannya, Gema Risalah Pers, Bandung.
Badan Litbang Dan Diklat Depag Ri
Ditjen Bimas Islam Dan Urusan Haji Direktorat Pembinaan Urusan Haji
Hasil Mudzakarah Mabit Di Luar kawasan Mina Tahun 1421 H/2001 M
https://yayasanshibghatullah.wordpress.com/2013/03/14/perluasan-mina-dan-implikasinya/
Maulana Ilyas, Sunnah-Sunnah Rasul 24 jam, Pustaka Antafani, Bandung.
Moh. Rifa’i, 1996, 300 Hadits Bekal Dakwah, Wicaksana, Semarang.
Perluasan Mas’a, Jamarat dan Mabit di Luar Mina, tahun 2008
Rs. Abd. Aziz, 1991, Fiqih, Wicaksana, Semarang.
Salim bin Samir, Kapal Penyelamat, PT Hasanah, Jakarta.
Syekh Aby Syuja’i, 1967, Fathurqarib, Thaha Putra, Semarang.



[1] https://deluk12.wordpress.com/makalah-haji-dan-umroh/
[2] Maisarah Zas. Haji dan Pencerahan Jati Diri Muslim. (Bandung: Alfabeta, 2005). hlm. 1
[3] http://carahajidanumroh.blogspot.co.id/2015/01/mabit-di-mina-manasik-haji-dan-umroh.html
[4] http://carahajidanumroh.blogspot.co.id/2015/01/mabit-di-mina-manasik-haji-dan-umroh.html
[5] http://www.masjidrayavip.org/index.php?option=com_content&view=article&id=151:mabit-di-muzdalifah-a-di-mina&catid=61:fuad-thohari&Itemid=98
[6] Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 194 - 196, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]
[7] http://www.nu.or.id/post/read/14866/bahtsul-masa039il-perluasan-masa-dan-minahttp://www.iphi.web.id/2016/03/12/mina-jadid-yang-selalu-jadi-perdebatan/
[8] Sekretaris Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta (Alamat: JIC, Jl. Kramat Jaya Raya, Koja, Tanjung Priok Jakarta Utara). Makalah dikontribusikan untuk Workshop Fiqih Haji II Tingkat Nasional, Departemen  Agama RI.
[9] http://www.masjidrayavip.org/index.php?option=com_content&view=article&id=151:mabit-di-muzdalifah-a-di-mina&catid=61:fuad-thohari&Itemid=98
[10] Abi Husain Muslim bin Hajjaj  al-Qusyairi, al-Jami’ as-Shahih, (Makah: Isa Baby al-Halabi, 1955), juz ke-2, hal. 953, no. 1315.
[11] Dikutip dari Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), juz I, hal. 726
[12] Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Abi Syaibah al-Kufi, Al-Kitab al-Musannaf fi Al-Ahadis wa Al-Atsar, (Riyadz: Maktabat ar-Rusyd, 1309), cet, ke-1, juz ke-3, hal. 298.
[13] Muhammad bin Isa Abu Isa Al-Tirmidzi al-Salami, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar at Turas al-Arabi, tth.), no. 215.
[14] Majelis Ulama Besar

Posting Komentar

 
Top