BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keadilan
ekonomi dan sosial, merupakan salah satu karakteristik yang idealis bagi umat
islam, yang harus diterapkan dalam cara hidupnya dan bukan sebagai suatu
fenomena. Konsep tersebut haruslah diimplementasikan pada semua area dari
hubungan interaksi antar umat manusia, sosial, ekonomi, dan politik.
Di
antara semua ajaran islam yang terpenting adalah untuk mewujudkan keadilan dan
meniadakan pemanfaatan ataupun eksploitasi dalam transaksi bisnis yang
diperbolehkan atas sumber daya yang ada yang digunakan untuk melakukan
perbaikan secara tidak adil (‘akl amwal an nas bi al batil), Al-Qur’an
memerintahkan umat islam tidak untuk mengingini barang milik orang lain secara
bil batil atau secara tidak benar.
Pengetahuan
tentang masalah riba merupakan hal yang penting untuk kita ketahui, supaya
dalam bermua’malah yang biasa kita lakukan sehari-hari tidak terjerumus ke
dalam kategori riba yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena ancaman Allah SWT
tidak hanya ditunjukkan bagi pelaku riba saja, melainkan juga bagi setiap orang
yang berperan dan berhubungan dengan riba tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam Hadits Nabi SAW. “ Rasulullah SAW melaknat orang-orang yang makan barang
riba dan yang mewakilinya, penulis dan dua orang saksinya, mereka itu sama
saja.”
Masalah
riba ini merupakan masalah yang paling rumit menurut kebanyakan ulama. Amirul
Mukminin, Umar bin Khattab RA pernah mengatakan, “tiga hal yang seandainya saja
Rasulullah SAW mewasiatkan kepada kami suatu warisan yang dapat memuaskan kami
yaitu dalam masalah; Al-Jaddu (bagian warisan kakek), Al-Kalalah (orang yang
meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak), dan beberapa masalah riba”.
Maksudnya adalah sebagian masalah yang di dalamnya terdapat percampuran riba,
sedangkan syariat telah menetapkan bahwa sarana yang mengantarkan kepada yang
haram itu pun haram hukumya, karena sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram
adalah harama, sebagaimana tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan seusatu,
makanya itu menjadi wajib.
Maka
dari itu, pada kesempatan ini peneliti akan mengutip keterangan tentang masalah
riba dan macam-macamnya, termasuk juga bunga yang masih menjadi perdebatan
panjang di kalangan para alim ulama, dengan harapan mudah-mudahan setelah
mengetahui masalah ini kita akan terhindar dari lingkaran riba, sehingga kita
selamat dari laknat dan ancaman Allah SWT.
Riba
yang sudah disepakati haramnya adalah riba yang mengandung ziyadah (الزيادة)
(tambahan/kelebihan) yang berlaku pada zaman jahiliyah yang disebut juga dengan
riba nasi’ah. Riba jahiliyah atau riba nasi’ah ini adalah bentuk riba yang
telah diterangkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an, bahkan sudah diterangkan
juga dalam kitab Injil, Taurat, dan kitab-kitab lainnya. Sedangkan yang tiga
macam lagi yaitu riba fadhl, riba qardh, dan riba yad.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa
itu Riba ?
2. Bagaimana
Hukum Riba ?
3. Apakah
Bunga Bank termasuk Riba ?
4. Bagaimana
Implikasi Riba dalam Kehidupan ?
- Tujuan Penelitian
- Mencari
tahu akan pemahaman tentang pengertian riba.
- Dasar
hukum dilarangnya riba.
- Proses
pelarangan riba.
- Pemahaman
akan bunga bank terhadap riba.
- Implikasi
riba terhadap kehidupan bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Riba
Secara
etimologi, Riba itu berarti الزيادة ) = kelebihan atau tambahan). Adapun secara
terminologi, ulama fiqh mendefinisikan riba dengan, “kelebihan harta dalam
suatu muamalah dengan tidak ada suatu imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan
terhadap modal uang yang timbul akibat suatu transaksi utang-piutang yang harus
diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Misalnya,
si A kemarin meminjam uang kepada si B sebesar Rp 1.000.000,- selama satu
bulan. Si B bersedia meminjamkannya, apabila si A mau mengembalikannya sebesar
Rp 1.100.000,- pada saat jatuh tempo. Kelebihan uang Rp 100.000,- yang harus
dibayarkan si A, dalam terminologi fiqh, disebut riba.
Riba
seperti diatas tadi ternyata telah berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi
sebelum datangnya islam, sehingga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa
awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.
B.
Dasar
Hukum
Ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini hukumnya haram.
Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits
Rasulullah SAW. Di dalam Al-Qur’an menurut Syekh Muhammad Mustafa Al-Maragi
(1881-1945 ; mufasir dari Mesir) proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT
secara bertahap;
Tahap
pertama, Allah SWT menunjukkan bahwa riba menunjukkan bahwa riba itu bersifat
negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah SWT dalam surah Ar-Rum (30) ayat 39 :
وَمَآ
ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ
عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ
فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).
Ayat
ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para
mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyyah. Akan tetapi, ulama tafsir sepakat
menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan.
Al-Qurtubi menyatakan bahwa “Ibnu Abbas RA mengartikan riba dalam ayat ini
dengan “hadiah” yang dilakukan orang-orang dengan mengharapkan imbalan
berlebih. Menurutnya, riba dalam ayat ini termasuk riba mubah.”
Tahap
kedua, Allah SWT telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman
terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan-Nya
dalam surah An-Nisa (4) ayat 161 :
وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ
وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
“dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.
Di
dalam kitab tafsir Jalalain mengatakan bahwa : “(Dan karena memakan riba
padahal telah dilarang daripadanya) dalam Taurat (dan memakan harta orang
dengan jalan batil) dengan memberi suap dalam pengadilan (dan telah Kami
sediakan untuk orang-orang kafir itu siksa yang pedih) atau menyakitkan”.
Jadi,
riba ini sudah dilarang oleh Allah SWT ketika zaman Nabi Musa AS sebagaimana
yang dijelaskan bahwa riba itu sudah tersurat di dalam kitab Taurat. Dan adapun
di dalam surah Ali-‘Imron (3) ayat 130 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.
Di
dalam tafsir Ibnu Katsir jilid 2 mengatakan bahwa : “Allah SWT melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman melakukan riba dan memakannya dengan berlipat
ganda. Sebagaimana oada masa Jahiliyyah dulu mereka mengatakan : “Jika hutang
sudah jatuh tempi, selesai sudah urusan. Dan jika tidak dibayar, maka
diteteapkan tambahan untuk jangka waktu tertentu dan kemudian ditambahkan pada
jaminan pokok”. Demikian seterusnya pada setiap tahunnya. Mungkin jumlah
sedikit bisa berlipat ganda menjadi banyak.
Kemudian
pada tahap akhir, Allah SWT mengharamkan riba secara total dengan segala
bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surah Al-Baqarah (2)
ayat 275 - 276:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ
لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ
ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ
فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ
أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥ يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي
ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. 276. Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Dan
di dalam surah yang sama Al-Baqarah (2) ayat 278 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم
مُّؤۡمِنِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
Di
dalam ayat 275 Allah SWT menekankan bahwa jual beli sangatlah berbeda dengan
riba, di dalam tafsir Ibnu Katsir lalu
di ayat selanjutnya Allah menyatakan memusnahkan riba, dan di ayat 278 Allah
SWT memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada.
Keharaman riba secara total ini, menurut ahli fiqh, bekisar pada akhir tahun ke
delapan atau awal tahun kesembilan Hijriah.
Alasannya
juga terdapat dalam hadits Nabi Muhammad SAW :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
“Dikatakan
Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn abi syaibah
mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a beliau
berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta
dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk”. (H.R. Muslim)
Rasulullah
SAW pun dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengutuk
perbuatan riba, baik mereka yang berada di posisi awal, tengah, dan akhir dalam
bertransaksi. Ijma ulama juga sepakat bahwa riba di haramkan di dalam islam
C.
Macam-macam
Riba
“Riba
itu ada 73 (tujuh puluh tiga) macam.” (HR. Ibnu Majah).
Hadits
di atas juga diriwayatkan Al-Hakim dalam kitabnya, Al-Mustadrak, dari ‘Amr bin
‘Ali Al-Falas, dengan isnad yang sama, dengan tambahan lafazh:
“Yang
paling ringan dari riba itu seperti seseorang menikahi ibunya sendiri dan
sejahat-jahat riba adalah menggangu kehormatan seorang muslim.”
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م:
الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل
المسلم(رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)
“Dari Abdullah bin
mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling
ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi ibunya, dan
sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan
oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan beliau
menilainya sahih).
Namun
kami selaku peneliti tidak boleh jauh dari fokus studi kami yaitu mengenai
Al-Iqtishodiyyah (ekonomi). Maka di dalam fiqh muamalah riba itu terdapat 4
macam yaitu, menurut mayoritas (jumhur) ulama hanya ada 2 antara lain riba
fadhl dan riba nasi’ah (jahiliyyah). Sedangkan
2 lagi, kami dapatkan dari perkuliahan Ilmu Ekonomi Islam antara lain riba yad
dan riba qardh.
1.
Riba Fadhl
Menurut
ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “tambahan zat harta pada akad jual-beli yang
diukur dan sejenis”. Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang
mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah
satu benda tersebut.
Oleh
karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak
boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.
Contoh
: tukar menukar emas 10 kg dengan emas 12 kg, perak 12 kg dengan perak 14 kg,
beras 1 lt dengan beras 2 lt, gandum 2 karung dengan gandum 3 karung.
2.
Riba Nasi’ah (jahiliyyah)
Riba nasi’ah adalah
“memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan
kelebihan pada benda disbanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang
yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama
jelasnya”.
Maksudnya,
menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu
setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli
yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah
semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
3.
Riba Yad
Menurut
ulama Syafi’iyyah, riba yad adalah transaksi jual-beli dengan mengakhirkan
penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua orang yang akad sebelum
timbang terima, seperti menganggap jual-beli antara gandum dengan sya’ir tanpa
harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
4.
Riba Qardh
Manfaat
atau kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.
Contoh : Ahmad meminjam
uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar
Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp.
5.000 adalah riba Qardh.
Adapun
jumhur ulama sepakat bahwa barang ribawi (barang yang terkategori riba) ada 7
macam yaitu emas, perak, kurma, sya’ir,gandum, garam, dan anggur kering.
D.
Problematika
Setelah
memahami penjelasan tentang dasar hukum riba dan macam-macam riba, serta konsep
riba dalam perspektif non-muslim. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya
adalah, apakah bunga bank konvensional itu termasuk kepada kategori riba atau
bukan?.
Sebelum
menjawab pertanyaan ini, secara singkat
kami akan beri gambaran terlebih dahulu mengenai perbankan. Yang dimaksud
dengan bank sesuai UU no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Orang
yang menyimpan uangnya di bank diberikan keuntungan oleh bank itu yang disebut
dengan bunga bank berdasarkan persentase uang yang disimpannya. Bank biasanya
hanya memberikan pinjaman kepada nasabah untuk keperluan produktif seperti
modal berdagang, pengembangan usaha dan lain-lain. Namun ada juga pinjaman atau
kredit yang diberikan bank untuk keperluan konsumtif seperti Kredit Pemilikan Rumah
(KPR). Uang simpanan nasabah di dalam suatu bank tidak akan didiamkan begitu
saja tetapi uang itu akan dijalankan untuk melancarkan perekonomian atau
melaksanakan pembangunan. Dari keuntungan bank inilah sebagian diberikan kepada
nasabah sebagai bunga bank.
Problematika
ummat yang sekarang ini sedang di hadapi adalah sebuah situasi yang sangat
tidak menentu. Pasalnya, bunga bank yang sekarang ini sudah merajalela masih
menjadi perdebatan sengit diantara para alim ulama. Namun, tidak perlu kami
mempermasalahkan perbedaan tersebut, karena masalah bunga bank itu ada dalam
tataran hukum fiqh. Artinya, masalah ini merupakan masalah khilafiyyah seperti
halnya mengenai jumlah rakaat dalam sholat tarawih, ada yang berpendapat 8
rakaat, 20 rakaat, bahkan ada yang mengatakan tak terhingga. Perbedaan tersebut
seyogyanya disikapi dengan lapang dada dan
jangan sampai menjadikan perpecahan diantara ummat islam. Karena
sesungguhnya perbedaan itu merupakan rahmat (kenikmatan) buat kita. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW : اختلاف امّتي رحمة
Untuk
lebih jelasnya, berikut kami paparkan pendapat-pendapat para ahli tentang
penentuan hukum bunga bank konvensional pada subbab selanjutnya.
E.
Implementasi
di Perbankan
1. Pendapat
yang Mengharamkan Bank Konvensional
Jumhur
(mayoritas) ulama mengharamkan bank konvensional karena adanya praktik bunga
bank yang secara prinsip sama persis dengan riba. Baik itu bunga pinjaman,
bunga tabungan atau bunga deposito.
2. Praktik
Perbankan yang Diharamkan
Praktik perbankan
konvensional yang haram adalah (a) menerima tabungan dengan imbalan bunga, yang
kemudian dipakai untuk dana kredit perbankan dengan bunga berlipat. (b)
memberikan kredit dengan bunga yang ditentukan; (c) segala praktik hutang
piutang yang mensyaratkan bunga.
Bagi
ulama yang mengharamkan sistem perbankan nasional, bunga bank adalah riba. Dan
karena itu hukumnya haram.
3. Praktik
Bank Konvensional yang Halal Namun demikian,
pendapat
yang mengharamkan tidak menafikkan adanya sejumlah layanan perbankan yang halal
seperti: (a) layanan transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan
ongkos pengiriman; (b) menerbitkan kartu ATM; (c) menyewakan lemari besi; (d)
mempermudah hubungan antar negara.
4. Ulama
dan Lembaga yang Mengharamkan Bank Konvensional:
a) Pertemuan
150 Ulama terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H,
atau Mei 1965 di Kairo, Mesir. Menyepakati secara aklamasi bahwa segala
keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang
diharamkan termasuk bunga bank;
b) Majma’al
Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal
10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
c) Majma’
Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di
Makkah, 12-19 Rajab 1406;
d) Keputusan
Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
e) Keputusan
Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
f) Majma’ul
Buhuts al-Islamiyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965;
g) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang
menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah;
h) Keputusan
Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa
sistem perbankan konvensional tidak sesuai dengan kaidah Islam;
i)
Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU
tahun 1992 di Bandar Lampung;
j)
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa
se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16
Desember 2003;
k) Keputusan
Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004, 28
Dzulqa’dah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
5. Hukum
Bekerja dan Gaji Pegawai Bank Konvensional
Menurut
fatwa Syaikh Jad Al-Haq, salah satu Mufti Mesir, memperoleh gaji / honorarium
dari bank-bank tersebut dapat dibenarkan, bahkan kendati bank-bank konvensional
itu melakukan transaksi riba. Bekerja dan memperoleh gaji di sana pun masih
dapat dibenarkan, selama bank tersebut mempunyai aktivitas lain yang sifatnya
halal.
Dr.
Yusuf Al-Qaradhawi termasuk ulama yang mengharamkan bank namun dalam soal gaji
pegawai bank ia menyatakan bahwa apabila pegawai tersebut bekerja karena tidak
ada pekerjaan di tempat lain maka ia dalam kondisi darurat. Dalam Islam,
kondisi darurat menghalalkan perkara yang asalnya haram. Kebutuhan hidup
termasuk kondisi darurat. Dalam konteks ini, maka pekerjaannya di bank hukumnya
boleh. Begitu juga boleh mengikuti pendapat ulama terpercaya yang menghalalkan
bank konvensional.
Teks
asli sebagai berikut:
إذا كان السائل قد عمل في البنك
الربوي لأنه لم يجد عملا آخر يتعيش منه، واضطر للعمل فيه، فإن الضرورات تبيح
المحظورات، والحاجة تنزل منزلة الضرورة، وبهذا يكون عمله في البنك مباحا له لظروفه
الخاصة، وكذلك إذا عمل في البنك بناء على فتوى من عالم ثقة في علمه ودينه بجواز
عمله في البنك الربوي مرحليا ليكتسب منه الخبرة، ثم يوظفها بعد ذلك في خدمة
المصارف الإسلامية.
BAB III
PENUTUP
Setelah
kami memaparkan definisi riba dan berbagai permasalahannya. Dapat kami
simpulkan bahwa, ada beberapa syarat utama untuk memahami riba dan kaitannya
dengan bunga, yaitu sebagai berikut:
ü Menghindarkan
diri dari “kemalasan ilmiah” yang cenderung pragmatis dan mengatakan bahwa
praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan lembaga- lembaga keuangan
ciptaan Yahudi sudah “sejalan” dengan ruh dan semangat Islam.
ü Tunduk
dan patuh kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dalam segala aspek, termasuk
dimensi ekonomi dan perbankan, seperti dalam surah Al-Ahzab : 36 ;
وَمَا
كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن
يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦
“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
ü Meyakini
dengan penuh hati bahwa Allah SWT tidaklah sekali-kali melarang suatu mekanisme
kecuali ada kezaliman di dalamnya.
ü Kesimpulan
Hukum Bank Konvensional dalam Islam
Mayoritas
ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional
adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan
perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun
demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan
karena itu halal hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khoirot.
2012. Hukum Bank Konvensional dalam Islam.
http://www.alkhoirot.net/2012/04/hukum-bank-konvensional-dalam-islam.html.
Diakses tanggal 17 Maret 2014.
Antonio,
Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Bahreisy, Salim & Bahreisy, Said.
1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid I. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Bank
Indonesia. 2014. Publikasi Laporan Keuangan Perbankan. http://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-keuangan/bank/.
Diakses tanggal 24 April 2014.
Makky, Ahmad. 2009. Perspektif Ilmiyah
tentang Halalnya Bunga Bank. Jakarta: Gema Insani.
Rivai,
Veithzal & Arifin, Arviyan. 2010. Islamic Banking. Jakarta: Bumi Aksara.
Syafe’i,
Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Tim
Redaksi. 2008. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.