BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara tentang Aceh,
tentunya Pidie adalah hal yang tidak bisa di lewatkan begitu saja, sebab dari
sanalah domisili garisan besar pemimpin Aceh, Seperti Abu Bereu’eh dan juga
Hasan Tiro yang masih sangat kental berada di pikiran para pemuda saat ini.
Adapun
Kota Sigli atau Sigli adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Pidie, Aceh,
Indonesia. Sigli adalah ibu kota Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, Indonesia.
Terletak 112 km di sebelah timur Banda Aceh, Sigli termasuk kota strategis yang
dilalui oleh Jalan Raya Lintas Sumatera. Wilayah ini dulunya merupakan bengkel
kereta api terbesar di Aceh. Tetapi sejak vakumnya kegiatan perkereta-apian di
Aceh, kota ini menjadi tidak seramai dulu.
B.
Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan
masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
Asal Usul Kota Sigli ?
2. Bagaimana
Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis ? dan
3.
Bagaimana Pidie Dalam Sudut Pandang
Sejarah ?
C.
Tujuan Penulisan
Sebagaimana rumusan
masalah maka yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
Asal Usul Nama Kota Sigli.
2. Mengetahui
Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis.
3. Mengetahui
Keberadaan Pidie Dalam Sejarah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal
Usul Kota Sigli
Bicara
menyangkut jalinan antara Aceh dengan Bugis tak lepas dari membicarakan jurusan
perdagangan di Nusantara terhadap awal abad 15. Sejak era kuno pelayaran dan
perdagangan dari Barat dan negara Cina memerlukan pelabuhan area persinggahan
buat lokasi membawa modal & menumpuk barang.
Selagi
sekian banyak abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya.
Merosotnya kerajaan Sriwijaya terhadap akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu
terpencar ke sekian banyak daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan
Samudera Pasai. Tetapi, pada abad 15 Malaka berkembang jadi pusat perdagangan
yg paling ramai sampai Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Perihal
ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit kepada pusat perdagangan.
Kemunduran Malaka menimbulkan Aceh yang merupakan pusat perdagangan yg
disinggahi oleh para pedagang muslim yg tak ingin berhubungan bersama Portugis.
Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan memunculkan rute
komunikasi terbuka, maka berjalan mobilitas sosial baik horizontal ataupun
vertikal, pun perubahan pola hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yg
diboyong oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tak terlepas dari adanya
rute perdagangan internasional terhadap periode dulu. Keadaan ini mengizinkan
adanya pembauran antara beragam suku bangsa dalam satu daerah. Misalnya di Aceh
sampai waktu ini ada penduduk di daerah Pidie menyaksikan dari profilnya serupa
dengan orang Tamil di India, sedangkan di Lamno ada penduduk dgn warna mata
biru mereka awalnya yakni populasi sendiri keturunan Portugis. Demikian pula
bersama Cina & Arab serta sektor dari prototype orang Aceh.
B. Asal
Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
Historiografi
tradisional yg sempat berkembang di Aceh menyatakan silsilah Sultan Aceh
keturunan Bugis diawali dgn kisah seseorang yg bernama Daeng Mansyur dari Wajo
(sekarang ini salah satu Kab di Propinsi Sulawesi Selatan). Dirinya seseorang
anak raja yg terdampar di perairan Pidie (Sekarang Ini Kab Pidie di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam). Disisi lain kita bakal bercerita menyangkut satu
buah kampung (Aceh : Gampong) yg bernama Reubee (saat ini di Kecamatan Delima
di Kab Pidie). Di kampung ini populer Dayah yg dipimpin oleh ulama bergelar Teungku
Chik di Reubeë. Daeng Mansyur menikah bersama seseorang puteri anak Teungku
Chik di Reubee tersebut dan dikaruniai dua orang anak, satu orang wanita adalah
Putroë Suni & anak laki laki bernama Zainal Abidin.
Dalam
catatan peristiwa, warga turunan Bugis yg ada di Aceh tak terlepas dari histori
Sultan Iskandar Jejaka. Awal dari sultan Aceh berdarah Bugis dimulai bersama
pernikahan Iskandar Jejaka dgn Putroë Suni anak Daeng Mansyur (menantu Teungku
Chik Di Reubee). Putroë Suni disaat dewasa dipersunting oleh Sultan Iskandar
Jejaka sedangkan Zainal Abidin hijrah ke Aceh Akbar kemudian populer bersama
nama Teungku di Lhong & dirinya memiliki putra bernama Abdurrahim
Maharajalela.
Penulis
Belanda pun menyatakan menyangkut asal usul penduduk Bugis yg ada di Aceh
bersama menyebut adanya tiga orang ulama di Pidie berasal dari Sulawesi Selatan
ialah Teungku Seundri (sebenarnya yakni Sidendreng dalam logat Aceh dinamakan
Seundri), Teungku Sigeuli yg namanya hasilnya diabadikan jadi nama Kota Sigli,
dan Daeng Mansur dari Wajo. Sultan Iskandar Bujang lahir kepada th 1590 kepada
musim pemerintahan Sultan Saidilmukamil (1588-1604). Sebelum Sultan
Saidilmukamil kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Riayat Syah
atau Raja Buyung (± 1586-1588). Iskandar Belia memerintah kerajaan Aceh
Darussalam dgn teramat bijak maka kerajaan Aceh mencapai periode mengagumkan. Perkawinannya
bersama Putroe Suni dikaruniai seseorang anak wanita bernama Safiatuddin Syah.
Safiatuddin menikah bersama Iskandar Thani berasal dari Pahang. Sehingga inilah
awal dari adanya pemerintahan Sultanah dan Sultan keturunan Aceh-Bugis di
Kerajaan Aceh Darussalam.
C. Pidie
Dalam Lintas Sejarah
Mengapa
daerah Pidie sekarang ini dulu dikenal sebagai Poli. Dari mana asal usul kata
Poli tersebut? Sejarawan Aceh M Junus Djamil (1968) meyakini Poli berasal dari
nama raja pertama yang membuka kawasan Pidie yakni Syahir Pauling yang berasal
dari Siam. Sejarawan Aceh lainnya, H M Zainuddin (1961) menilai, Poli berasal
dari kata Pali, suku bangsa di Ceylon yang datang awal mula ke kawasan Pidie
sekarang. Poli diyakini ada hubungannya dengan kata Melayu Polinesia. Asaliah
lainnya dari kata Pungli pusat kerajaan bangsa Bari di lembah Sungai Nil.
Bangsa Bari ini merupakan bangsa yang memuja ruh. Mereka suka memakai gelang
kaki dari gading.
Sejauh
mana korelasi Pidie masa lalu dengan Melayu Polinesia dan Bangsa Bari di lembah
sungai Nil, ini juga perlu dikaji kembali untuk mendapatkan penjelasan yang
jelas tentang sejarah Pidie itu sendiri secara menyeluruh, mulai dari awal
hingga masa kini.
Ø Pidie
Pra Islam
Kajian
pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa sebenarnya yang
pertama hidup dan membangun komunitas dan membentuk kerajaan di Pidie ini. Saya
lebih tertarik untuk mengkaji Pidie jauh sebelum kerajaan Poli atau Pedir,
yakni pada masa Kerajaan Sama Indra. Sejarawan Aceh M Junus Djamil (1968) mengungkapkan, dalam kitab Umdatul-ilhab
karangan Machdum Djohani disebutkan, masyarakat Pidie merupakan keturunan
Syahir Pau Ling (Poli) yang berasal dari Siam. Ia yang pertama membuka daerah
Pidie yang dinamainya Kerajaan Sama Indra. Kerajaan yang kemudian dalam
perkembangannya menjadi Kerajaan Poli, lalu menjadi Pedir, dan berubah menjadi
Pidie sebagaimana sekarang ini.
Machdum
Djohani sebagaimana dikutip M Junus Djamil menjelaskan, Syahir Pau Ling ini
merupakan empat bersaudara yang datang ke Aceh. Tiga saudaranya lainnya adalah:
ü Syahir
Nuwi, dikenal sebagai Pho He La, raja yang pertama membuka Kerajaan Peureulak.
ü Syahir
Tanwi, raja yang membuka Kerajaan Jeumpa, Bireuen.
ü Syahir
Dauli, raja yang membuka Bandar Lamuri, kerajaan Indra Purwa di Aceh Besar.
Keturunan
merekalah yang setelah kedatangan Islam dikenal sebagai sukèe imum péut,
golongan yang mendominasi pemerintahan di berbagai kerajaan di Aceh. Dominasi mereka
juga diabadikan masyarakat Aceh dalam hadih maja. Sukèe lèe reutôh ban
aneuék drang, sukèe ja sandang jeurah halleuba, sukèe tôk batèe na bacut-bacut,
sukèe imum pèut nyang gok-gok dönya.
Bila
merujuk pada keterangan Machdum Djohani tersebut, maka tahun lahirnya kerajaan
Sama Indra di kawasan Pidie ini tak jauh beda dengan Peureulak, Jeumpa, dan
Lamuri. Ini bisa menjadi salah satu point pertimbangan kita.
M
Junus Djamil menjelaskan, Syahir Pau Ling merupakan pimpinan rombongan Mon
Khmer dari Asia Tengah yang datang ke Pidie beberapa abad sebelum tahun masehi.
Ia tidak menyebutkan tahun pasti, serta tidak menjelaskan apakah ketika
rombogan itu datang sudah ada penduduk asli di Pidie.
Pada
masa Kerajaan Sama Indra, penduduknya masih menganut agama yang dianut oleh
bangsa Mon Khmer yakni agama Budha Mahayana atau Himayana yang kemudian juga
berkembang agama Hindu. Kerajaan Sama Indra ini menjadi saingan Kerajaan Indra
Purba (Lamuri) di sebelah barat dan Kerajaan Plak Plieng (Panca Warna) di
sebelah Timur. Tidak jelas apakah Plak Plieng ini sama dengan Kerajaan
Sahe/Sanghela di Paya Seutui, Ulim yang menjadi cikal bakal Negeri Meureudu,
atau Plak Plieng dan Sahe/Sanghela berkembang pada periode yang berbeda, atau
apakah kedua kerajaan tersebut pecahan dari Sama Indra?.
Sejarahawan
Aceh lainnya, H M Zainuddin (1961) menjelaskan, Kerajaan Pidie pada zaman purba
kala – mungkin yang dimaksudnya adalah Sama Indra – wilayahnya mulai dari Kuala
Batee sampai ke Kuala Ulim. Bila berpegang pada keterangan H M Zainuddin ini,
maka Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakal Pidie, lebih tua dari Kerajaan
Sahe/ Sanghela di Meureudu. Bisa jadi juga Sahe/Sanghela merupakan pecahan dari
Sama Indra.
Ahli
sejarah kuno, Winstedt menyebut Poli (Pidie) pada masa dulu merupakan daerah makmur dan jaya yang terkenal dengan
pelabuhannya. Pertanyaannya sekarang, di mana pelebuhan Pidie tempo dulu itu?
Ini juga harus kita gali lebih jauh. H M Zainuddin menjelaskan, Pelabuhan Poli
berbentuk genting. Ia menduga pelabuhan itu merupakan sebuah muara yang kini
dikenal sebagai Kuala Batee. Keyakinan H M Zainuddin tersebut berdasarkan pada
catatan musafir Tiongkok, Pa Hin (413 Masehi) yang mengungkapkan tentang
pelabuhan berbentuk genting tersebut.
Ø Poli/Pedir
dalam Riwayat Tiongkok
Sebagai
sebuah kerajaan, Poli/Pedir membangun diplomasi dengan Tiongkok. Ini terungkap
dalam kisah perjalanan musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian). Oleh H M
Zainuddin dijelaskan, lawatan Fa Hian itu dilakukan pada masa Tiongkok dipimpin
Dinasty Liang, pada awal abad V atau tahun 413 masehi. Dalam catatan Fa Hian
sebagaimana dikutip H M Zainuddin dijelaskan, kerajaan Pedir itu luasnya
sekitar 100 X 200 mil, sekitar 50 hari perjalanan kaki dari timur kebarat, 20
hari perjalanan dari utara ke selatan. Wiayahnya terdiri dari 136 desa yang
mata pencaharian penduduknya sebagain besar menanam padi dua kali setahun. Ada
juga yang memelihara ulat sutra untuk menenun kain. Di kawasan pesisir Poli
saat itu penduduknya sudah memakai kain, tapi di pedalaman masih memakai kulit
kayu (cawat). Raja Poli/Pedir saat itu masih beragama Budha. Tahun 518 masehi,
raja Poli/Pedir mengirim utusannya ke Tiongkok untuk menjalin hubungan
diplomatik. Membalas kunjungan tersebut, pada tahun 671 masehi Raja Tiongkok
mengirim lagi utusannya ke Poli/Pedir. Utusan itu bernama I Tsing. Dia
mengunjungi beberapa kerajaan pesisir di Sumatera, mulai dari Lamuri,
Poli/Pedir, Pasia/Samudera, Peureulak hingga ke Dagroian. Namun tidak
dijelaskan dimana Dagroian itu. Dalam kunjungan muhibah tersebut, selama lima bulan
I Tsing tinggal dalam sebuah kampung berpagar bambu di pesisir Sumatera Utara.
Ø Pedir
Menjadi Kerajaan Islam
Menentukan
hari jadi Pidie juga bisa dilakukan dengan menelusuri kapan Kerajaan Sama Indra
berubah menjadi kerajaan Islam. Menentukan hari jadi Pidie dari awal Islam
berkembang di Pidie lebih rasional dari pada beberapa point alternatif
sebelumnya. Menelusuri peralihan Hindu ke Islam di Pidie juga lebih mudah dari
pada menentukan kapan kedatangan bangsa Mon Khmer, serta kapan Kerajaan Sama
Indra didirikan. Jadi mari kita alihkan perhatian kita kepada peristiwa
transisi kaimanan tersebut.
M
Junus Djamil mengungkapkan, peralihan itu terjadi setelah Kerajaan Sama Indra
diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam menjelang pertengahan abad IX hijriah
atau antara akhir abad XIV dan awal abad
XV masehi. Berarti dalam tahun 840-an hijriah atau 1390-an sampai 1410 masehi. Untuk
lebih mendekati lagi tahun peralihan itu, kita bisa menelusuri siapa raja
Kerajaan Aceh Darussalam yang melakukan penyerangan Sama Indra tersebut. Masih
menurut M Junus Djamil penyerangan itu terjadi pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam dipimpin oleh Sulthan Mansur Syah I. Sulthan ini memimpin Aceh
Darussalam pada periode 755 – 811 hijriah atau 1354 – 1408 masehi. Setelah
penyerangan oleh Kerajaan Aceh Darussalam tersebut, nama Sama Indra dihilangkan
menjadi Negeri Pedir yang kini kita sebut sebagai Pidie. Pengaruh hindu di
Pedir barus habi terkikis ketika Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Mahmud
II Alaiddin Johan Syah yang memerintah dari tahun 811 – 870 hijrian (1408-1465
masehi). Ia merupakan pengganti Sulthan Mansur Syah I.
Sulthan
Mahmud II Alaiddin Johan Syah mengangkat Raja Husein Syah menjadi Sulthan Muda
Pedir dengan gelar Maharaja Pedir Laksamana Raja. Kepadanya diberikan hak
otonomi penuh untuk memerintah Pedir sebagai negeri otonom Kerajaan Aceh
Darussalam.
M
Junus Djamil merincikan, silsilah raja-raja Pedir selanjutnya adalah:
1. Sulaiman
Nur, anak Sulthan Husein Syah (Saudara Malik Munawar Syah, raja muda dan
laksamana di Aru).
2. Syamsu
Syah (kemudian menjadi Sulthan Aceh Darussalam)
3. Malik
Ma’ruf Syah (Syahir Dauli I), putra Sulaiman Nur. Mangkat pada tahun 916
hijriah (1511 masehi) dikuburkan di komplek makam Teungku di Kandang,
Keulibeuet, dekat kubur ayahnya, Sulaiman Nur.
4. Ahmad
Syah (Syahir Dauli II), putra dari Malik Ma’ruf Syah. Meninggal ketika kalah
berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah tahun 926 hijriah (1520 masehi)
juga dikuburkan di Keulibeuet.
5. Husein
Syah, putra Sulthan Riayat Syah II (Meureuhom Kha) kemudian menjadi sulthan
Aceh menggantikan ayahnya.
6. Saidil
Mukammil, putra Raja Firman Syah, 997 – 1011 hijriah (1589-1604 masehi).
Merupakan ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7. Husein
Syah II, putra dari Sulthan Saidil Mukammil.
8. Meurah
Poli, maharaja orang kaya Negeri Keumangan, dikenal sebagai Laksamana Panglima
Pidie yang terkenal dalam perang menyerang Portugis di Malaka.
9. Syahir
Poli (Po Meurah) atau Maharaja Keumangan Po Rah. Bentara IX mukim Keumangan
yang bergelar Pang Ulee Peunaroee. Saudaranya yang bernama Po Maneeh/ Po Nipeeh
dijadikan Laksamana Negeri Pidie.
10. Meurah
Po Itam, Pang Ulee Peunaroe (Bentara Keumangan)
11. Meurah
Po Puan, Pang Ulee Peunaroe (Bentara Keumangan)
12. Meurah
Po Thahir, Pang Ulee Peunaroe (Bentara Keumangan) terkenal dalam perangPocut
Muhammad dengan Poteu Jeumaloi (Sulthan Djamalul ‘Alam Badrul Munir) pada tahun
1152 hijriah (1740 masehi). Beliau mempunyai dia saudara: Murah Po Doom dan
Meurah Po Johoo.
13. Meurah
Po Seuman (Usman) Pang Ulee Peunaroe
14. Meurah
Po Lateeh (Abdul Latif), Pang Ulee Peunaroe yang terkenal dengan istilah
“Keumangan Teungeut”.
15. Teuku
Keumangan Jusuf, pemerintahannya sudah dalam masa perang Aceh melawan Belanda
(di atas tahun 1873).
16. Teuku
Keumangan Umar, Uleebalang IX mukim Keumangan.
Ø Kedatangan
Pelawat Portugis
H
Muhammad Said dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh II, Agustus
1972 menjelaskan tentang kedatangan
Ludovico di Varthema pelawat dari Portugal ke Pidie pada abad ke-15. Kedatangan
Varthema itu ditulis oleh Prof D G E Hall dari Inggris dalam buku A History of
South East Asia. Dalam buku itu dijelaskan pada abad ke-15 Pidie yang disebut
sebagai Pedir merupakan daerah yang sudah maju, setiap tahunnya disinggahi
sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya
diangkut ke Tiongkok, Cina. Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan
sutra produksi masyarakat setempat dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak
pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat. Malah,
Vartheme menggambarkan, di sebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar
500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great
the number of merchants resorting there, that one of its street contain about
500 moneychanger,” tulis Varhtema.
Varthema
oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang masuk Islam
untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga
telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck
lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku
tentang Aceh. Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir
yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual
beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya
“Strict Administration of Justice,”.
Selain itu, Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik
nelayan yang disebut tongkang, yang
menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang
keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat
alat-alat peletup atau senjata api.
Ø Jabatan
Kehormatan dari Sulthan Iskandar Muda
Ketika
hendak menyerang Semenanjung Malaka, Sulthan Iskandar Muda mengunjungi Negeri
Pidie dan Meureudu. Rapat besar dilakukan dengan Uleebalang dan panglima di dua
negeri tersebut. Para pembesar yang hadir antara lain: Tgk Jalalauddin Fakih
(Tgk Japakeh) Tgk Malem Dagang dan Panglima Pidie, Bentara Blang Ratna Wangsa,
Meuntroe Adam, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Geuleumpang Payong, Bentara
Puteh Mukim VIII, serta para petinggi negeri dan ulama di daerah itu.
Kepada
Sulthan Iskandar Muda diusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi Panglima
perang menyerang Semenanjung Malaya. Hal itu diterima oleh Sulthan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi
panglima. Rapat itu juga menghasilkan kesepakatan bahwa seluruh rakyat negeri
Meureudu dan Pidie mendukung perang yang akan dilakukan Sulthan. Sulthan
Iskandar Muda mengangkat dan mengambil sumpah pejabat pemerintahan di Negeri
Meureudu dan Pidie. Kepada mereka diberikan gelar kehormatan Mentroe (Menteri)
dan Bentara (perwira), serta panglima dan keujruen bagi Uleebalang yang
menjabat di kuala dan rimba. Jabatan kehormatan Meuntroe diberikan kepada,
Meuntroe Banggalang, Aree, Garot Metareum dan Krueng Seumideun. Sedangkan
jabatan kehormatan Bentara diberikan kepada Bentara Rubee, Ceubo, Titue
Keumala, Gigieng, Pineung, Blang Gapu, Gampong Asan, Ndjong, Tanoh Mirah dan
Luengputu. Sementara jabatan kehormatan Keujruen diberikan kepada, Keujruen
Teurusip, Aron Langieng, Musa, Pante Raja, Pangwa. Dan panglima yang menjaga
perintah turun ke sawah diangkat Panglima Meugoe Unoe. Untuk memimpin armada
dan tentara kerajaan yang akan menyerang Semenanjung Malaya itu, Malem Dagang
dari Negeri Meureudu diangkat menjadi Panglima dengan jabatan panglima besar.
Ø Kuburan
di Pulo Puep
Satu
bekas purba kala ditemukan di Gampong Pulo Puep, sekitar dua sampai tiga
kilomter arah utara pasar Luengputu. H M
Zainuddin mengungkapkan, di gampong itu juga ditemukan kuburan dengan batu
nisan yang sama seperti ditemukan di makam raja raja Pasai dan makan di
Keulibeut. Kuburan itu ditemukan di sebuah tempat yang dinamai Pulo Gayo. Pada
tahun 1939 H M Zainuddin pernah melakukan penelitian lansung ke tempat itu. Ia
mengaku penasaran mengapa tempat itu dinamai Pulo Gayo sementara umumnya orang
mengetahuyi Gayo itu berada di Aceh bagian tengah. Dari pedududuk di Pulo Puep
H M Zainuddin memperoleh informasi bahwa dahulu kala di daerah itu hanya ada
beberapa gampong diantaranya: Pulo Piuep, Pulo Pisang dan Pulo Angkoi di dekat
Kuala Putu (Luengputu) yang menyatu dengan Kuala Ndjong. Suatu waktu seorang
raja dari Gayo datang ke daerah itu untuk menghadap raja Ndjong. Tapi sampai di
kuala itu ia sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Ia dikuburkan di sana.
Beberapa
tahun kemudian ahli waris Raja Gayo itu datang berziarah. Kuburan itu
diperbaiki dan dipasang batu nisan yang berukir dengan huruf arab yang artinya
“Di sini ada kuburan Raja Gayo”. Setelah itulah daerah di kuburan itu dinamai
Pulo Gayo. Ketika meneliti keberadaan kuburan tersebut, H M Zainuddin menemukan
potongan-potongan batu nisan yang sudah runtuh dan jatuh ke dalam sebuah sungai
kecil (alue). Dua potongan nisan itu diambil oleh H M Zainuddin. Ia merekam
tulisan di potongan nisan tersebut dengan menggunakan karbon.
Dari
penduduk Pulo Pueb H M Zainuddin juga memperoleh kabar bahwa tidak jauh dari
Pulo Gayo itu nelayan di sana sering menemukan rantai suah kapal dan papan
bekas perahu zaman dahulu. H M Zainuddin pun kemudian melanjutkan penelitiannya
ke sana. Kesimpulannya, daerah itu merupakan salah satu daerah pelabuhan
penting zaman dahulu di Kerajaan Pedir, malah jauh sebelum kerajaan itu
terbentuk, yakni pada masa Pedir masih bernama Kerajaan Sama Indra. Meski
demikian, H M Zainuddin tidak bisa memastikan bagaimana bentuk dan susunan
pemerintahan di kerajaan tersebut. Hanya saja ketika Kerjaan Aceh Darussalam
telah terbentuk dan Pedir menjadi bagian federasi di dalamnya, diketahui bahwa
Pedir yang saat itu sudah dipanggil dengan sebutan Pidie diperintahkan oleh
banyak uleebalang di berbagai wilayahnya.
Para
uleebalang itu bergelar meuntroe, panglima, imum, keujruen dan bentara,
seperti: Meuntroe Banggalang, Meuntroe Garot, Bentara Rubee, Imum Peutawoe
Andeue, Meuntroe Gampong Are, bentara Po Puteh Mukim VIII, Imum Lhokkadju,
Meuntroe Metarem (Metareuem), Meuntroe Krueng Seumideum, Bentara Pinueng, Bentara
Gigieng, Bentara Blang Ratnawangsa, panglima Meugeu, Bentara Keumangan,
Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Bentara Blang Gapu (Ie Lubeu),
Bentara Gampong Asan, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Alue, Keujruen
Aron, Keujruen Pencalang Rimba Truseb, Bentara Djumbo’, Bentara Titue, Bentara
Keumala, Kejrueng Panteraja, Kejrueng Peurambat Pangwa, dan Keujrueng Chik
Meureudu. Para uleebalang tersebut memerintah sendiri negerinya yang langsung
berhubungan dengan Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan beberapa uleebalang
diangkat oleh raja Kerajaan Aceh Darussalam pada masa diperintah oleh Sulthan
Iskandar Muda. Mereka yang diangkat langsung oleh Sulthan Iskandar Muda
merupakan para uleebalang baru untuk memimpin daerah yang baru dibuka waktu
itu, seperti: Bentara Pineung, Bentara Gigieng, Panglima Meugeu, Imuem Peutawoe
Andeue dan Ilot, Bentara Cumbo’, Bentara Titue dan Bentara Keumala.
Daerah
itu dibuka oleh Sulthan Iskandar Muda untuk memperluas persawahan dan mengatur
irigasi. Air dari Keulama dialirkan hingga ke persawahan melalui sungai kecil
(lueng) ke setiap wilayah pertanian seperti Rubee, Iboh (Lueng Bintang), Ie
Lubeu (Lueng Djaman), Mangki (Lueng Busu/Lueng Rambayan). Air dari Keumala itu
juag ditersukan ke Lueng Alue Batee, Glumoang Payong, Unoe (Lueng Glumpang
Minyeuk/Lueng Trueng Campli), Ndjong dan Lancok (Lueng Putu). Semua jalur
irigasi (lueng) itu digali secara bersama-sama oleh rakyat atas perintah
Sulthan Iskandar Muda. Karena itulah negeri-negeri di Pidie dan Meureudu waktu
itu kaya dengan berbagai hasil pertanian dan perkebunan. Malah pada zaman
Sulthan Iskandar Mudan, negeri Meureudu dijadikan sebagai daerah lumbung pangan
bagi Kerajaan Aceh Darussalam. Pembangunan irigasi ke sawah-sawah di semua
daerah itu juga melibatkan ulama-ulama setempat, seperti Tgk Di Waido (Lueng
Bintang) atau sering disebut Tgk Di Pasi, kemduian Tgk Treung Campi di Glumpang
Minyek yang membuka irigasi ke blang raya Glumpang Payong. Tgk Rubiah (Rubieh)
di Meureudu dan beberapa tempat lainnya. Sampai sekarang para petani sebelum
turun ke sawah melakukan khanduri blang di makam ulama-ulama tersebut.
Ø Federasi
Uleebalang XII dan VI
Pada
masa kerajaan Aceh Darusalam diperintah oleh Sulthan Alauddin Mahmud Syah (1767
– 1787) terjadi kekacaun di berbagai dearah akibat perang saudara. Uleebalang
yang satu menyerang wilayah uleebalang lainnya untuk memperluas daerah
kekuasaan dan menguasai perkebunan. Untuk menghadapi hal tersebut, dibentuklah
dua federasi uleebang di Pidie, yakni federasi uleebalang duablah (XII) dan
federasi uleebang nam (VI). Federasi uleebalang XII meliputi Teuku Raja Pakeh,
Teuku Bentara Ribee, Meuntroe Banggalang, Teuku Bentara Blang, Bentara Tjumbok,
Bentara Titue di bagian barat yang dipimpin oleh Teuku Raja Pakeh. Kemudian di
bagian timur Meuntroe Adan, Bentara Seumasat Glumpang Payong, Keujrueun Aron,
Keujruen Truseb, Bentara Ndjong, Bentara Putu, Bentara Gampong Asan yang
dipimpin oleh Meuntroe Adan yang bergelar Meuntroe Polem kemudian menjadi
Lakasama Polem.
Sementara
federasi uleebalang VI terdiri dari: Bentara Keumangan (Panghulee Peunareu),
Bentara Sama Indra (Mukim VIII), Bentara Pineung, Bentara Keumala, Panglima
Meugeu, dan Bentara Gigieng. Federasi ini dipimpin oleh Bantara Keumangan. Laksamana
Polem kemudian mengawinkan anaknya yang bernama Teuku Muhammad Hussain dengan
anak Teuku Bentara Ndjong. Ketika Teuku Bentara Ndjong meninggal ia tidak
memiliki anak laki-laki, maka diangkatlah menantunya itu sebagai penggantinya
oleh masyarakat setempat.
Kemudian
Teuku Muhammad Hussain menikah lagi dengan anaknya Teuku Bentara Gampong Asan,
karena perkawinan itu pula Gampong Asan berhasil dipengaruhinya. Dari sana ia
menunaikan haji ke Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah ternyata Laksamana Polem
ayahnya sudah meninggal, maka diangkatlah dia menjadi laksamana dengan gelar
Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain. Laksamana Hussain sangat giat membangun
perkebunan lada. Pada masa itu Bandar Pulau Pinang di semenanjung Malaka sudah
dibuka oleh Raffles, maka Laksamana Hussain berangkat ke sana bersama
rombongannya untuk misi dagang. Pulang dari sana, ia memperluas perkebunan,
untuk tujuan itu maka Bentara Putu diserang. Ia ingin mengambil dan menguasai
perkebunan di perbukitan Paru, Musa dan Panteraja yang saat itu juga sudah
mengembangkan perkebunan lada. Setelah menaklukkan daerah tersebut, Laksamana
Hussain mendatangkan orang-orang Cetti dari Pulau Pinang untuk bekerja di
perkebunan tersebut. Perkebunan itu di atas perbukitan Musa itu diatur oleh
Haji Lam Ara, kawannya Laksamana Hussain ketika sama-sama naik haji ke Mekkah.
Laksama
Hussain memmiliki 17 anak, anak-anaknya itu diminta untuk mengatur dan membuka
wilayah perkebunan baru. Teuku Rajeu’ Main disuruhnya menjaga pantai sepanjang
Blang Gapu, Ie Luebeu sampai ke Kuala Ndjong. Ia memerintah di sana dengan
membuka peternakan sapi dan pertambakan, serta memperbanyak pukat (jaring) bagi
para nelayan. Anak Laksamana Hussain lainnya, Teuku Sjahbuddin disuruh untuk
menetap di Panteraja. Di sana ia membuka perkebunan lada dan menikah dengan
anak Kejrueng Beuracan. Anak Laksamana Hussain ada juga yang dinikahkan dengan
Keujruen Chik Samalanga. Sementara anaknya yang tua, Teuku Mahmud membantunya
memerintah di Kuala dan Keude Ndjong. Karena perkawinan anak-anaknya itulah
pengaruh kekuasaannya Laksamana Hussain semakin melebar. Kemudian anaknya yang
perempuan bernama Pocut Atikah dikawinkan denan Teuku Raja Pakeh Dalam. Karena
giatnya Laksamana Tuan Haji Muhammad Hussain membangun perkebunan dan
memperluas kekuasan, ia menjadi uleebalang terkaya di Pidie melalui politik
perkawinan anak-anaknya, hingga ia mendapat dukungan yang kuat.
Setelah
Laksamana Tuanku Muhammad Hussain mangkat, maka diangkatlah Teuku Mahmud,
anaknya sebagai pengganti degan gelar Laksamana Mahmud. Dalam pemerintahannya
terjadi perang dengan negeri Meureudu, karena Meureudu menyerang untuk merebut
wilayah Pangwa dan Trienggadeng. Panglima Siblok yang diangkat oleh Laksamana
Mahmud untuk memerintah di Kejreuen Pangwa tak mampu melawan. Ia ditangkap dan
dikirim ke Bentara Keumangan oleh panglima Meureudu karena negeri Meureudu
waktu itu telah mengikat hubungan dengan federasi uleebalang VI. Sampai di
Keumangan, Panglima Siblok dibunuh. Karena itu Laksamana Mahmud marah besar. Ia
menghimpun pasukannya untuk menuntut balas dan menyerang Negeri Meureudu. Dalam
perang itu penglima perang negeri Meureudu Teuku Muda Cut Latif ditawan dan
dikirim ke Bandar Aceh Darussalam untuk disidangkan oleh Sulthan. Sulthan
kemudian mendamaikan dua negeri tersebut dan panglima Meureudu dibebaskan,
sementara wilayah Pangwa dan Trienggadeng diserahkan dalam pengawasan federasi
uleebalang XII yang dipimpin oleh Laksamana Mahmud. Dari perdamaian itu
kemudian anak Laksamana Mahmud dinikahkan dengan anak panglima besar negeri
Meureudu, Teuku Muda Cut Latif.
Ø Pidie
Masa Kolonial Hingga Sekarang
Sejarah
terus berlanjut dengan kedatangan bangsa asing ke nusantara, diantaranya
Portugis, Inggris, dan Belanda. Misi dagang yang dibawa Belanda kemudian
berujung dengan kekerasan bersenjata. Perang Aceh dengan Belanda pun berlangsung
dalam waktu yang lama. Ketika pusat Kerajaan Aceh (Dalam) berhasil direbut
Belanda pada 24 Januari 1874, serta Sulthan Alaiddin Mahmud Syah mangkat pada
28 Januari 1874 karena wabah kolera, maka pusat kerajaan Aceh dipindahkan ke
Keumala, Pidie. Belanda baru bisa menguasia Aceh secara de facto pada tahun
1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek.
Kemudian
dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van nederland Indie tanggal
7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin
oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Pidie.
Setelah
Indonesia merdeka, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang No 7 (drt) tahun
1956 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Pidie. Kemudian sejalan
dengan meningkatnya aktivita pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Pidie,
maka pada tahun 1988 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat keputusan nomor
136.21 – 526 tentang pembentukan tiga wilayah pembantu Bupati Pidie, yaitu :
Wilayah I dengan ibukotanya Kota Sigli terdiri dari 10 kecamatan, Wilayah II
dengan ibokotanya Kota Bakti terdiri dari 7 kecamatan, dan Wilayah III dengan
ibukotanya Meureudu terdiri dari enam kecamatan. Keputusan Menteri Dalam Negeri
ini kemuduan dijabarkan lebih lanjut melalui Keputusan Gubernur Daerah Istimewa
Aceh nomor 061.1/851/1988, tanggal 1 November 1988, tentang susunan organisasi
dan tata kerja kantor pembantu Bupati Pidie Wilayah I, Wilayah II dan Wilayah
III, serta Kantor Pembantu Bupati Aceh Utara Wilayah Lhoksukon.
Menindaklanjuti
kedua keputusan itu, Bupati Pidie kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
136/139/1989, tentang pedoman pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan
tanggungjawab serta hubungan kerja pembantu Bupati dalam daerah Tingkat II
Pidie untuk Wilayah I, Wilayah II, dan Wilayah III. Nama-nama bupati Kabupaten
Pidie hingga tahun 20017 sebagai berikut :
1. T
Cik Mat Sayed 1945 – 1946
2. Tgk
Abdul Wahab Seulimum 1946 – 1949
3. Tgk
Sulaiman Daud 1949 – 1952
4. T
A Hasan 1952 – 1953
5. M
Saleh Hasyem 1953 – 1954
6. Mohd
Ali T Panglima Polem 1954 – 1955
7. Yuhana
Datuk Nan Labih 1955 – 1956
8. Tgk
Usman Azis 1956 – 1960
9. Tgk
Ibrahim Abduh 1960 – 1965
10. Letkol
Abdullah Benseh 1965 – 1967
11. M
Husen 1967 – 1968
12. Letkol
Abdullah Benseh 1968 – 1970
13. Hasbi
Usman 1970 – 1970
14. Mahyuddin
Hasyem 1970 – 1974
15. T.
Sulaiman Effendi 1974 – 1975
16. Letkol
Sayed Zakaria 1975 - 1980
17. Drs
Nurdin Abdul Rachman 1980 – 1985
18. Drs
Nurdin Abdul Rachman 1985 – 1990
19. Drs
M Diah Ibrahim 1990 – 1995
20. Drs
M Djakfar Ismail 1995 – 2000
21. Ir
Abdullah Yahya, MS 2000 – 2006
22. Drs
H Saifuddin AR SPMH M.Kes Januari – Maret 2007
23. Mirza
Ismail, Sos 2007 – 2012
24. Sarjani
Abdullah 2012 – 2017
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Sejarawan
Aceh M Junus Djamil (1968) meyakini Poli berasal dari nama raja pertama yang
membuka kawasan Pidie yakni Syahir Pauling yang berasal dari Siam.
Æ H
M Zainuddin (1961) menilai, Poli berasal dari kata Pali, suku bangsa di Ceylon
yang datang awal mula ke kawasan Pidie sekarang.
Æ Sejarawan
Aceh M Junus Djamil (1968)
mengungkapkan, dalam kitab Umdatul-ilhab karangan Machdum Djohani
disebutkan, masyarakat Pidie merupakan keturunan Syahir Pau Ling (Poli).
Æ H
M Zainuddin (1961) menjelaskan, Kerajaan Pidie pada zaman purba kala – mungkin
yang dimaksudnya adalah Sama Indra – wilayahnya mulai dari Kuala Batee sampai
ke Kuala Ulim.
Æ Ahli
sejarah kuno, Winstedt menyebut Poli (Pidie) pada masa dulu merupakan
daerah makmur dan jaya yang terkenal
dengan pelabuhannya. Pertanyaannya sekarang, di mana pelebuhan Pidie tempo dulu
itu? Ini juga harus kita gali lebih jauh.
DAFTAR
PUSTAKA
H
M Zainuddin, Atjeh dalam Inskripsi dan Lintasan Sedjarah, Agustus 1972,
Kutaradja, Panitia Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
H
M Zainuddin, Singa Atjeh, Biografi Sri Sulthan Iskandar Muda, 1957, Medan,
Pustaka Iskandar Muda.
H
M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Cetakan I, 1961, Medan, Pustaka
Iskandar Muda.
H
Muhammad Said, Wajah Rakyat Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Agustus 1972, Kutaradja, Panitia Seminar Pekan Kebudayaan
Aceh II.
Ibid., Lihat juga
Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,
Ibid.,
Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada T.J.Veltman, Nota over de
Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, : 58,1919, hlm. 79-87,101.
Iskandar
Norman, Pidie Jaya dalam Lintasan Sejarah, Cetakan I, Desember 2011, Banda
Aceh, Bandar Publishing.
M
Junus Djamil, Silsilah Tawarich Radja-radja Keradjaan Atjeh, 1968, Kutaradja,
Adjdam-I/Iskandar Muda.
Munawiah,
Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Cetakan I, Desember 2007, Yogjakarta, AK
Group dan Ar Raniry Press.
Rusdi
Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm. 42.
Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium
sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
T
Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam
Lintasan Sejarah, Cetakan I, 1999, Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh (PDIA).
T
Ibrahim Alfian, Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, Agustus 1972,
Kutaradja, Panitia seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.
Tuanku
Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan Belanda, makalah
Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan : Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
Posting Komentar