BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat bagi umat islam yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia. Al-Qur’an sendiri dalam
proses penurunannya mengalami banyak proses yang mana dalam penurunannya itu
berangsur-angsur dan bermacam-macam nabi menerimanya. Kita mengenal turunnya
Al-Qur’an sebagai tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap bulan 17 Ramadhan kita
mengenal yang namanya Nuzulul Qur’an yaitu hari turunnya Al-Qur’an.
Mengetahui latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, akan menimbulkan
perspektif dan menambah khazanah perbendaharaan pengetahuan baru. Dengan
mengetahui hal tersebut kita akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu
dan akan menghilangkan keraguan-keraguan dalam menafsirkannya. Dalam penurunan
Al-Qur’an terjadi di dua kota yaitu Madinah dan Mekkah. Surat yang turun
di Mekkah disebut dengan Makkiyah sedangkan surat yang turun di Madinah disebut
dengan surat Madaniyah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas
dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari Asbabun nuzul itu ?
2. Bagaimana cara mengetahui Asbabun Nuzul?
3. Sebab-sebab turunnya Asbabun Nuzul?
4. Bagaimana pandangan para ulama tentang Asbabun Nuzul?
5. Apa fungsi ilmu Asbabun nuzul dalam memahami Al-qur’an?
6. Bagaimana kedudukan Asbabun nuzul dalam pemahaman Al-qur’an?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Asbabun nuzul itu.
2. Untuk memahami cara mengetahui dari asbabun nuzul.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya asbabun nuzul.
4. Untuk mengetahui beberapa pandangan ulama tentang Asbabun
Nuzul.
5. Untuk mengetahui fungsi ilmu
Asbabun nuzul dalam memahami Al-qur’an.
6. Untuk mengetahui kedudukan
Asbabul nuzul dalam pemahaman Al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asbabun Nuzul
Asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbaba” dan “Nazala”,
kata “Asbaba” merupakan jama’ dari kata “Sababa” yang berarti sebab, maka
“Asbaba” mempunyai arti sebab-sebab. Sedangkan kata “an-Nuzul” berasal dari
kata “Nazala” yang berarti turun. secara Etimologi, asbab An-Nuzul adalah
sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.[1]
Sedangkan secara terminology yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya
adalah:
1. Menurut Az-Zarqoni: “Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian
yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an sebagai
penjelas hukum pada saat itu terjadi.
2. Ash-Shabuni “Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan
peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada
Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
3.Shubhi shalih
ما نز لت الأ ية أوالا يات بسببه متضمّنة له أ و مجيبة أو مبينة لحكمه زمن
وقوعه
Artinya:“Asbab an-Nuzul” adalah
sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an
(ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya. Atau
sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.[2]
Meskipun redaksi pendefinisian diatas
sedikit berbeda, namun pada intinya asbab an-nuzul adalah kejadian yang
melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan
dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari setiap kejadian. Hal ini
mempermudah kita untuk memahami perintah-peirntah dalam Al-Qur’an, karena sudah
tentu bahan-bahan sejarah ini melingkupi peristiwa pada masa Al-Qur’an turun.
B.
Cara Mengetahui Asbabun Nuzul.[3]
Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), tidak
lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung
dari orang-orang yang mengetahui turunnya Al-Qur’an, atau dari orang-orang yang
memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari
kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka
diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.
Ibnu Sirin mengatakan “saya pernah bertanya kepada Abidah tentang satu ayat
Al-Qur’an, beliau menjawab; Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar
sebagaimana orang-orang yang mengetahui di mana Al-Qur’an turun”
Salah satu cara mengetahui Ababun Nuzul
berupa riwayat yang shahih adalah apabila perawi sendiri menyatakan lafazh
sebab secara tegas, dalam hal ini merupakan nash yang nyata.
C. Sebab-sebab turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa
asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan,
kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3
macam:
1.
Peristiwa berupa pertengkaran.
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100. Yang bermula dari adanya
perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100.
dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan
“ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-
orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi
orang kafir sesudah kamu beriman.”
2.
Peristiwa berupa kesalahan yang serius.
Contoh : Saat itu ada seorang Imam sholat dalam keadaam mabuk, sehingga
salah mengucapkan surat Al-Kafirun, dan kemudian turunlah surat An-Nisa’ dengan
Perintah untuk menjauhi sholat dalam keadaan mabuk.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....”
3.
Peristiwa karena suatu hasrat atau cita-cita.[4]
Ini dicontohkan dari sebagian sahabat Rosulullah yang mempunyai 3 cita-cita
besar dan salah satunya adalah permintaan Umar kepada Rosulullah
tentang maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat:
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1.
Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ
ذِكْراً
“Mereka akan bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan
kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83).
2.
Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada
waktu itu seperti ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا
أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85).
3.
Pertanyaan tentang masa yang akan datang
“(orang-orang
kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah
terjadinya?”
D. Beberapa pandangan Ulama tentang Asbabun
Nuzul
Para ulama tidak sepakat mengenai Asbabun Nuzul. Mayoritas ulama tidak
memberikan keistemewaan khusus kepada ayat-ayatyang mempunyai riwayat Asbabun
Nuzul, karena yang terpenting bagi mereka apa yang tertera didalam redaksi
ayat. Jumhur ulama kemudian menetapkan suatu kaidah yaitu:” yang dijadikan
pegangan iala keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”. Sedangkan minoritas
ulama memandang penting keberadaan riwayat-riwayat Asbabun Nuzul didalam
memahami ayat. Golongan ini juga menetapkan suatu kaidah yaitu: “ yang
dijadikan pegangan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal ”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab
khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafal umum. Az-Zarkasyi dalam
menghubungkan kekhususan sebab turunnya suatu ayat dengan keumuman bentuk dan
rumus kalimatnya. Dia mengatakan “ada kalanya turunnya sebab turunnya ayat
bersifat umum”. Ini untuk mengingatkan bahwa didalam lafadz yang bersifat umum
terdapat hal yang perlu diperhatikan.
Sebagai contoh, turunnya QS.Al-Maidah (5):38. “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari allah. Dan Allah maha perkasa
lagi maha bijaksana. “ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah
perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa nabi. Mayoritas ulama memahami
ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya kepada yang menjadi sebab turunnya
ayat. Sebaliknya, minoritas mempunyai sisi pandangan lain mereka
berpegang kepada kaida lafal umum, bukan untuk menjelaskan suatu peristiwa atau
serba khusus, mengapa tuhan menunda penjelasan-penjelasan hukumnya hingga
terjadi peristiwa tersebut. Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang
menolak pendapat kedua dengan alasan bahwa lafal umum iala kalimat baru, dan hokum
yang terkandung didalamnya bukan merupakan hubungan kausal dengan peristiwa
yang melatarbelakanginya. Bagi kelompok ulama ini kedudukan Asbabun Nuzul ini
tidak terlalu penting.
Sebaliknya minoritas ulama menekankan pentingnya riwayat Asbabun Nuzul dengan
memberikan contoh tentang Al-Baqarah (2):115, yaitu: “Dan kepunyaan Allah-lah
timur dan barat , maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah maha luas (Rahmat-Nya) lagi maha mengetahui”. Jika hanya
berpegang pada redaksi ayat, maka hukum yang dipahami dari ayat tersebut adalah
tidak wajib menghadap kiblat pada waktu sholat, baik dalam keadaan musyafir
atau tidak. Pemahaman secara ini jelas keliru karena bertentangan dengan dengan
dalil lain dan ijma’ para ulama akan tetapi memperhatikan Asbabun Nuzul ayat
tersebut, maka dipahami bahwa ayat itu bukan ditujuhkan kepada orang-orang yang
berada pada kondisi biasa atau bebas, tetapi pada orang-orang yang karena sebab
tertentu tidak dapat menentukan arah kiblat. Kaidah kedua lebih kontestual,
tetapi persoalannya ialah tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai Asbabun
Nuzul jumlahnya sangat terbatas. Sebagian diantaranya tidak shahih, ditambah
lagi satu ayat kadang-kadang mempunyai dua atau lebih riwayat Asbabun Nuzul.
E. Beberapa Contoh Ayat Yang Mempunyai
Asbabun Nuzul
1. Asbabun Nuzul surat An Nisa’ ayat 51
Sebab-sebab turun ayat ini adalah seorang Yahudi Mandinah bernama Ka’ab
Ibnu Asyraf datang berkunjung ke Mekkah. Ia menyaksikan perang Badar dan
mendorong orang kafir Quraisy menuntut bela dan memerangi Muhammad SAW.
Kemudian orang-orang Quraisy bertanya kepada Ka’ab yang mengetahui Al Kitab
(Taurat): “Siapakah yang lebih benar jalannya (siapakah yang berbeda dipihak
yang benar ?) apakah Muhammad SAW ?. lalu Ka’ab menjawab: “kalianlah yang
benar”, justru ucapan itu, maka Ka’ab telah berdusta dan mendapatkan kutukan
oleh Allah SWT terhadap orang-orang berpandangan demikian,kemudian turunlah
surat An Nisa’ ayat 51 yang berbunyi:Artinya: Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya
kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik
Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
2. Asbabun Nuzul surat Al Maidah ayat 93
Sebab-sebab turunya ayat tersebut adalah sahabat Usman Ibnu Mazh’un dan
Amru Ibnu Ma’dikariba pernah mengatakan bahwa Khamar itu sebenarnya mudah
(boleh diminum), keduanya menggunakan surat Al-Maidah ayat
93:Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu,
apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang
saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga)
bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Padahal Amru dan Ma’dikariba belum tahu apakah sebabnya ayat tersebut
diatas diturunkan. Ayat ini turunya adalah pada saat turunnya ayat yang
mengharamkan Khamar, kemudian para sahabat bertanya kepada Rasulullah,
“bagaimanakah nasib bagi saudara-saudara kami yang telah meninggal dunia,
sedangkan dalam perut mereka ada minuman khamar (ketika hidup mereka minum
khamar), lalu Allah memberitakan bahwa minuman khamar semasa hidupnya sedangkan
ayat yang mengharamkan belum turun, telah dianggap tidak berdosa lagi seperti
yang tersebut dalam surat Al Maidah ayat 39.
Demikianlah jelas bahwa Usman dan Amru tidak mengetahui Asbabun Nuzul surat
Al Maidah 93 sehingga hampir saja keduanya menghalalkan khamar yang telah
diharamkan Allah.
F.
Fungsi Ilmu Asbabun Nuzul Dalam Memahami Al-Qur’an
Pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbabun
Nuzul adalah untuk memahami ayat Al-Qur’an, baik dalam mengistimbath hukum atau
dalam beristidlal, atau sekedar memahami maksud ayat. Tidak mungkin memahami
kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut.
Al Wahidi menjelaskan: “tidaklah mungkin
mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui dan penjelasan sebab turunnya.” Ibn
Daqiqil ‘Id berpendapat, “Keternagan sebab nuzul adalah cara yang kuat (tepat)
untuk mengetahui makna Al-Qur’an. Ibn Taimiyah mengatakan: “Mengetahui sebab
nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan
pengetahuan mengenai musabab (akibat).”
Contohnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 158 yang
artinya “Sesungguhnya Safa dan Marwa
adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke
Baitullah atau berumrah,maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i di
antara keduanya. Dan barang siapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan
hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan dan Maha Mengetahui.”
Lafal ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan
bahwa sa’i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakannya itu menunjukkan
“kebolehan” dan bukannya “kewajiban.” Sebagian ulama’ juga berpendapat
demikian, karena berpegang pada arti tekstual ayat itu.
Dalam uraian yang lebih rinci Az-Zarqani
mengemukakan urgensi sebab An-Nuzul dalam memahami Al-qur’an sebagai berikut :
1. Membantu dalam
memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat
Al-Qur’an.
2. Mengatasi
keraguan ayat yang diduga memiliki keraguan umum.
3. Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
4. Mengidentifikasi
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5. Memudahkan untuk
menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang
yang mendengarnya.
6. Penegasan bahwa
Al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT, bukan buatan manusia.
7. Penegasan bahwa
Allah benar-benar memberi pengertian penuh pada Rasulullah dalam menjalankan
misi risalahnya.
8. Mengetahui makna
serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an.
9. Seseorang dapat
menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan
bagaimana ayat aitu harus diterapkan.
10. Mengetahui
secara jelas hikmah disyariatkannya suatu hukum.
G.
Kedudukan
Asbabun Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an
Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan
dalam memahami Al-Qur’an. Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui
hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul
merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan
Al-Qur’an. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat
ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.[5]
Berikut
ini paparan dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak
dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
Pertama,
kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim
diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang
artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum
mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali
Imran: 188)
Setelah
membaca ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa
gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum
dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara
tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar.
Namun, secara kontekstual tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa
ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi
dan Nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang
sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka
seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan
apa yang mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua,
kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap
bahwa minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua
berargumen dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas
orang-orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan
dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat
tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun
berkenaan dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras
diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang
keji (rijs), bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam
konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad,
Al-Nasai, dan yang lain)
Begitu
juga dengan firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu
berpaling atau menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS.
Al-Baqarah: 115). Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti
akan ada yang berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang
yang melakukan shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di
perjalanan.” Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan
ijma’(konsensus para ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi
jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di
perjalanan (safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan
shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam
berijtihad.
Asbabun
nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan
ayat-ayat Al-qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada
beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui asbabun nuzul,
diantaranya:
a.
Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan
hukum.
b.
Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:”
bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c.
Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu
bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu
sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbaba” dan “Nazala”,
kata “Asbaba” merupakan jama’ dari kata “Sababa” yang berarti sebab, maka
“Asbaba” mempunyai arti sebab-sebab. Sedangkan kata “an-Nuzul” berasal dari
kata “Nazala” yang berarti turun. secara Etimologi, asbab An-Nuzul adalah
sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.
Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), tidak
lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung
dari orang-orang yang mengetahui turunnya Al-Qur’an, atau dari orang-orang yang
memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari
kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka
diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.
3. Sebab-Sebab Turunnya Ayat.
-Asbabun Nuzul yang
berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam:
1. Peristiwa berupa
pertengkaran.
2. Peristiwa berupa
kesalahan yang serius.
3. Peristiwa karena
suatu hasrat atau cita-cita
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Pertanyaan tentang
masa lalu
2. Pertanyaan yang
berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu
3. Pertanyaan
tentang masa yang akan datang
Para ulama tidak sepakat mengenai Asbabun Nuzul. Mayoritas ulama tidak
memberikan keistemewaan khusus kepada ayat-ayatyang mempunyai riwayat Asbabun
Nuzul, karena yang terpenting bagi mereka apa yang tertera didalam redaksi
ayat. Jumhur ulama kemudian menetapkan suatu kaidah yaitu:” yang dijadikan
pegangan iala keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”.
Kedudukan asbab an-nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an sangat membantu dalam
memahami Al-Qur’an, apabila tidak niscaya banyak kekeliruannya.
Kebanyakan ulama untuk menjadikan pedoman hukum lebih sepakat pada “umum
lafadh” daripada “khusus sebab”, karena mempunyai tiga macam dalil yaitu:
pertama, lafadh syar’I saja yang menjadikan hujjah dan dalil. Kedua, kaidah
tersebut ditanggungkan kepada makna selama tidak ada pemalingannya dari makna
tersebut. Ketiga, para sahabat dan mujtahid kebanyakan tanpa memerlukan qias
atau mencari dalil apabila berhujjah dengan lafadh yang umum dari sebab yang
khusus.
A. Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan
kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan
dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritkan dan
masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Abu.2009. Ulumul Qur’an. Pekan Baru: Amzah
Muhammad al-Aruzi Abd Qodir, Masalah Takhsish al-Am bi al-Sabab,(t.p.;Jamiah
Umm Al-Qur’an,1983).
Sukardi K.D.2002.Belajar mudah ‘ulum Al-Qur’an.Jakarta:PT.Lentera
Basritama.
[2] Subhi Al-shalih, Mabahits fi’ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam
li al-Malayyin, Bairut, 1988, hlm. 132.
[5] Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an:
Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2003), hlm. 21-22.
[1]
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 60
[2]
Subhi Al-shalih, Mabahits fi’ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li al-Malayyin,
Bairut, 1988, hlm. 132.
[3]
Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study
Al-Qur’an(Bandung:P¬T.Alma’arif,1996),ha¬l 46.
[4]
Sukardi K.D,Belajar mudah ‘Ulum Al-Qur’an,(Jakarta:P¬T.LENTERA
BASTRITAMA,2002),Hal¬ 130
[5]
Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab
Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), hlm. 21-22.
[6]
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), hlm. 111
Posting Komentar