BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah agar Al-Qur’an menjadi pemberi
peringatan bagi alam semesta. Ia menggariskan bagi makhluk-Nya akidah yang
benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya
dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, di
mana Ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah
mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Salah
satu persoalan ‘Ulumul Qur’an yang masih sering kita dengar tentang
perselisihannya ialah masalah ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Telaah
dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah
keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Ulama-ulama
salaf mereka tidak mau menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka hanya
mengimani dan mengamalkan apa yang Allah maksud di dalam Al-Quran. Sedangkan
dikalangan ulama muta’akhirin mereka menafsirkan maupun menakwilkan ayat-ayat
mutasyabihat. Entah apa alasan kongkrit kedua golongan ulama salaf yang tidak
menafsirkan ayat-ayat mutasyabih dan ulama khalaf yang mencoba menafsirkan
ayat-ayat mutasyabih ini?
Jadi
dalam penulisan makalah pada kesempatan ini kami ingin membahas tentang Muhkam
Mutasyabih.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian
Muhkam dan Mutasyabih ?
2.
Apakah kriteria
ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?
3.
Apakah
sebab-sebab terjadinya tasyabuh?
4.
Bagaimanakah
sikap ulama menghadapi ayat-ayat Mutasyabihat?
5.
Apakah hikmah
dan nilai pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabihat?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penulisannya adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui
pengertian Muhkam dan Mutasyabih.
2.
Memahami
kriteria ayat-ayat muhkam dan mutasyabih.
3.
Mengetahui
penyebab terjadinya tasyabuh.
4.
Mengetahui sikap
ulama menghadapi ayat mutasyabih
5.
Memahami hikmah
ayat-ayat muhkan dan mutasyabih.
BAB
I
PEMBAHASAN
A. Muhkam dan Mutasyabih
a. Makna
secara bahasa (Lugawi)
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata
hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah
orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan
antara yang hak dan batil.[1]
Mutasyabih
secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak
dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya
secara konkrit atau abstrak.[2]
b. Makna
secara Istilah
Banyak sekali pendapat
para ulama tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani.
Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1. Muhkam
ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung
kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak
diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang
hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang
terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini
dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2. Muhkam
ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya,
seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus
di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli
sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3. Muhkam
ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil.
Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil.
Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih
mengikutinya.
4. Muhkam
ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih
ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu
dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula
karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari
Imam Ahmad. r.a.
5. Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya
yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih
ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam
Mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam
Al-Haramain.
6. Muhkam
ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan).
Mutasyabih ialah lawannya Muhkam atas
ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar).
Ini adalah pendapat al-Thibi.
7. Muhkam
ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak
peneliti yang memilihnya.[3]
Subhi
ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa Muhkam adalah
ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya
tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[4]
B.
Kriteria
Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Perbedaan
pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para ulama di atas,
nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang Muhkam
dan Mutasyabih, sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan
Mutasyabih.
J.M.S
Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria
ayat-ayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat
(kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut
penelitian (tahqiqat).[5]
Ali
Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut, yakni
ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat
yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus
diimani dan diamalkan.[6]
Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan,
ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang
berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang
boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib
al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat atau lafal
yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat
Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan
ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti
ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat
yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya.
Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah,
karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan
tentang ta’wil kepadanya.[7]
Muhkam
menyangkut soal hukum-hukum (faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih
mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[8]
C.
Sebab-sebab
terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an[9]
Ahmad Syadali dan Ahmad
Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an.
a. Disebabkan
oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh: Q.S. Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً
وَأَبًّا
Terjemahan:
Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal
أَبٌّ di sini Mutasyabih karena ganjilnya dan
jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan
rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا
لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Terjemahan:
Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
Ar-Raghib
al-Asfhani membagi Mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan
murakkab. Mutasyabih lafal mufrad adalah
tinjauan dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; Isytirak,
seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan
lafal murakkab berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla
tuqsitu fil yatama fankhihu ma taba lakum...., untuk meluruskan kalam, seperti:
laisa kamis|lihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala
‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu
‘iwaja.[10]
b. Disebabkan
oleh ketersembunyian pada makna
Terdapat
pada ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib.[11]
Contoh:
Q.S. al-Fath [48]: 10.
...يَدُ
اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Terjemahan:
...tangan Allah di atas tangan[12]
mereka....
c. Disebabkan
oleh ketersembunyian pada makna dan lafal
Ditinjau
dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul musyrikina, dari
segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya, fankhihu ma taba lakum minan nisa,
dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya, ittaqullah haqqa
tuqatihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan
kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang
dahulu dilakukan bangsa Arab.[13]
Seperti, laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha, segi syarat-syarat yang
mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan
nikah.
D.
Pembagian
ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Al-Zarqani
membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjadi tiga macam :[14]
a. Ayat-ayat
yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan
tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat
dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه
مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ....
Terjemahan
: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
b. Ayat-ayat
yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian,
seperti ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3
وَاِنْ
خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....
Maksud
ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas.
Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ
خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا
مَاطَابَ
Terjemahan:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain
mereka.
c. Ayat-ayat
Mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan
semua ulama.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan
doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ
فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Terjemahan: Ya Tuhanku, jadikanlah
dia seorang yang paham dalam Agama,
dan
ajarkanlah kepadanya takwil.
E.
Sikap
Ulama Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam
Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat Mutasyabihat yang menjelaskan tentang
sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Terjemahan:
Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Terjemahan:
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.[15]
Dalam
hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab :[16]
a. Mazhab
Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat Mutasyabih
itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah
dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui
hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat
maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau
Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ
مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ
السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ
عَنِّيْ.
Terjemahan:
Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah
(mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini
dari majlis saya.
Maksudnya,
makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi,
pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab,
pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan
sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini
Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud
yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan
mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا
بِه
Terjemahan:
Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang
mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam
tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[17]
b. Mazhab
Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada
makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau
Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan
Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah,
“wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan
“diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat yang
ditempuh oleh ulama Khalaf.[18]
Alasan
mereka berani menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal
yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang
mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak
bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untuk melakukannya.[19]
Kelompok
ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil
naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir
yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ)
قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ
تَـأْوِيْـلَهُ.
رواه
ابن المنذر
Terjemahan:
“dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah
di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)[20]
Disamping
dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id
mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id
berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan).
Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan
dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Adapun
penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab
khalaf. Karena pendapat mazhab khalaf
lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin
berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang
benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna
fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.
Sejalan
dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman
karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang
menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat
mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[21]
F.
Hikmah
dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah yang
mengatakan, khudil hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari
manapun keluar. Begitu pun dalam masalah Muhkam
dan Mutasyabih. Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah
yang dapat kita ambil dari persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut,
hikmah-hikmah itu adalah:
a. Andaiakata
seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan sirnalah
ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b. Seandainya
seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya
sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin
bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah
pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ
يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ
حَمِيْدٍ
Terjemahan:
Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an
yang berisi ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi motivasi
bagi umat Islam untuk teus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga
mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’
sambil merenung dan berpikir.[22]
Menurut
Yusuf Qardhawi, adanya Muhkam dan
Mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an
ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai
tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan
telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan
perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk
lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan
ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia
spiritual.[23]
Kalau
hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah
mengajarkan ”ajaran” Muhkam dan Mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui
adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus
menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk
kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta
didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Muhkam
adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak
menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan.
Æ Sedangkan
mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan
baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
Æ Ayat-ayat
mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama
menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat
ulama Salaf dan Khalaf.
Æ Kita
dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud Muhkam
adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu
adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya
dalam hal Balaghah dan I’jaznya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Digital
Chirzin, Muhammad. 2003. Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Dahlan, Zaini, dkk.1991. Mukadimah Al-Qur’an
dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Al-Qur’an dan
As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press.
Syadali,
Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka Setia
WWW.GOOGLE.COM
[1]
Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, hal. 70.
[2]
Ibid, hal. 70.
[3]
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit, hal. 201-203
[4]
Muhammad Chirzin, op.cit, hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995.
Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka
Firdaus, hal. 171-174.
[5]
Ibid, hal. 73, atau baca J.M.S. Baljon. 1991. Tafsir Qur’an Muslim Modern,
terjemah: Ni’amullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 11-13.
[6]
Ibid, hal. 73 atau baca Syamsurizal Panggabean, Makna muh}kam dan Mutasya>bih dalam Al-Qur’an, makalah
disampaikan dalam diskusi Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 5 maret
1989, hal 3-4.
[7]
Ibid, hal.73. atau baca Syamsurizal Panggabean, op.cit., hal. 5-6.
[8]
Zaini Dahlan, dkk, op.cit.,hal.178.
[9]
Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. op.cit, hal. 204.
[10]
Muhammad Chirzin, op.cit. hal. 74.
[11]
Ibid, hal. 74.
[12]
Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia
dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji
itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa
berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan
Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan
bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
(Digital Al-Qur’an)
[13]
Yusuf Qardhawy.1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam.
Jakarta: Rabbani Press. Hal. 223
[14]
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, op.cit,
hal. 206.
[15]
Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai
dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[16]
Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit, hal. 211-212.
[17]
Ibid, hal. 216-217.
[18]
Ibid, hal. 217-218
[19]
Ibid, hal. 128
[20]
Ibid, hal. 219
[21]
Ibid, hal 222
[22]
Muhammad chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[23]
Yusuf Qardhawy.1997. Op.cit. hal. 226
Posting Komentar