BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kehidupan yang penuh dengan teknologi berkembang saat ini, manusia semakin
mengetahui sesuatu hal yang belum diketahui oleh para pendahulunya melalui
teknologi yang diciptakannya. Jika kita pikirkan sejenak, terlintas di benak
kita kekuasaan serta keagungan Tuhan yang Maha Esa dan begitu kecil dan
terbatasnya pengetahuan kita tentang ciptaan-Nya.
Atas
dasar tersebut, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mencintai dan
mengabdikan diri kepada Allah swt. Dengan kedua hal tersebut kita dapat selalu
berada didekatNya.
Tasawuf
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang dapat berada
sedekat mungkin dengan Tuhannya. Selain itu, tasawuf dapat menjadikan agama
lebih dihayati serta dijadikan sebagai suatu kebutuhan bahkan suatu kenikmatan.
Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak
dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua
disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang
berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Apa
yang di maksud Ilmu Tasawuf dan apa dasar-dasarnya ?
2. Bagaimanakah
perkembangan Tasawuf Salafi, Falsafi dan Syi’i ?
3. Bagaimanakah
Taubat Menurut Al-Ghazali ?
4. Bagaimana
pendapat Hasan Al-Basri tentang Tasawuf Akhlaki ?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan
adalah sebagai berikut :
1. Memahami
Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui
Perkembangan Tasawuf Salafi, Falsafi, dan Syi’i.
3. Memahami
Taubat menurut Al-Ghazali.
4. Mengetahui
Pengertian Tasawuf Akhlaki Menurut Hasan Al-Basri.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Secara
etimologis, ilmu Tasawuf banyak diartikan oleh para ahli, sebagian menyatakan
bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid nabawi
yang didiami oleh sebagian sahabat anshar, ada pula yang mengatakan berasal
dari kata shaf yang berarti barisan, shafa yang berarti bersih atau jernih dan
shufanah yakni nama kayu yang bertahan di padang pasir.[1]
Adapun
tentang definisi tasawuf menurut istilahi telah banyak dikemukakan oleh
sejumlah tokoh sufi, diantaranya adalah sebagai berikut:[2]
1. Imam
ghozali dalam kitab Ihya’ ulumuddin, Tasawuf adalah ilmu yang membahas
cara-cara seseorang mendekatk an diri kepada Allah SWT.
2. Ibnu
Kaldum dalam buku Munajat Sufi, Tasawuf adalah sebagian ilmu dari ajaran islam
yang bertujuan agar seseorang tekun beribadah dan memutuska n hubungan selain
Allah hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan- hiasan duniawi, serta
membenci sesuatu yang memperda ya manusia dan menyendiri menuju jalan Allah
dalam Kholwat untuk beribadah.
3. Bisyri
bin Haris mengatakan bahwa Tasawuf adalah orang yang suci hatinya menghadap
Allah SWT.
4. Sahl
at-Tustari : orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus
hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah, baginya tiada beda antara harga
emas dan pasir.
5. Al-Junaid
al-Baghdadi (Wafat 298 H): membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang,
menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu
kebenaran dan mengikuti syari’at Rasulullah Saw.
6. Abu
Qasim Abdul Karim al-Qusyairi: menjabarkan ajaran-ajaram Al-Qur’an dan Sunnah,
berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat
dan menghindari sifat meringankan terhadap ibadah.
7. Abu
Yazid al-Bustami: melepaskan diri dari perbuatan tercela, menghiasi diri dengan
akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri kepada Allah.
8. Ma’ruf
al-Karkhi (Wafat 200 H): mengambil hakikat dan Tamak dari apa yang ada dalam
genggaman tangan makhluk.
Jika
menelaah beberapa pengertian diatas, pengertian tasawuf tampaknya bermakna
bervariasi, hal ini dikarenakan perilaku dan status spiritual (Maqam) yang
berbeda dan dominan dalam diri mereka, seperti tawakkal, cinta kasih dan
rambu-rambu spiritual yang menjadi pengantar ke hadirat Tuhan semesta alam.[3]
Al-Thusi
(w. 378 H) melansir beberapa definisi tasawuf di dalam kitabnya yang monumental
al-Luma’, seolah-olah betapa sulitnya memberikan definisi yang bersifat jami’
mani’.
Definisi
bisa disarikan dalam karakteristik Sufi yang disebutkan oleh al-Thusi. Beliau
mengatakan bahwa sufi adalah orang alim yang mengenal Allah dan hukum-hukum
Allah, mengamalkan apa yang diajarkan, menghayati apa yang diperintahkan,
merasakan apa yang mereka hayati dan melebur dengan yang mereka rasakan .[4]
Dari
paparan al-Thusi diatas, dapat dirumuskan bahwa Tasawuf memuat dan mengandung
setidaknya lima unsur, yaitu Ilmu (Pengetahuan), Amal (Pelaksanaan), Tahaqquq
(Penghayatan), Wajd (Perasaan) dan Fana’ (Peleburan) .[5]
B. Dasar-Dasar Ilmu Tasawuf
Para
pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan
sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari
kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari
nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan
berusaha untuk menjauhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang
bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap
ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
a. Dasar-dasar
dari Al-Qur’an
Meskipun
terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum
sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan
urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an
yang artinya:
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat
akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat.
(Q.S Asy-Syuura [42] : 20)
Diantara
nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa
berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20
yang Artinya:
Ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Ayat
ini menandakan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang
menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya,
sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya
kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang
indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa
nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak
dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi
penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari
ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah
kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka
yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat
al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat
yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan
berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya
cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an
yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada
satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Al-Qur’an yang Artinya:
Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
(Q.S ath-Thalaq [65] : 3)
Dianatra
ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan
kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan
hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Al-Qur’an yang Artinya:
Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan
harap.
(Q.S
as-Sajadah : 16)
Maksud
dari perkataan Allah Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah
bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat
malam.
Terdapat
banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya
kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu.
b. Dasar-dasar
Dari Hadist
Jika
kita melihat dengan seksama akan sejarah kehidupan Rasulullah Muhammad Saw
beserta para sahabat beliau yang telah mendapatkan keridhaan Allah, maka akan
ditemukan sikap kezuhudan dan ketawadhu’an yang terpadu dengan ibadah-ibadah
baik wajib maupun sunnah bahkan secara individu Rasulullah Saw tidak pernah
meninggalkan shalat lail hingga lutut beliau memar akibat kebanyakan berdiri,
ruku’ dan sujud di setiap malam dan beliau Saw tidak pernah meninggalkan amalan
tersebut hingga akhir hayat beliau Saw, hal ini dilakukan oleh beliau Saw
karena kecintaan beliau kepada sang penggenggam jiwa dan alam semesta yang
mencintainya Dia-lah Allah yang cinta-Nya tidak pernah terputus kepada
orang-orang yang mencintai-Nya.
Uaraian
tentang hadis fi’liyah di atas merupakan salah satu bentuk kesufian yang
dijadikan landasan oleh kaum sufi dalam menjalankan pahamnya.
Selain
itu terdapat pula hadis-hadis qauliyah yang menjadi bagian dari dasar-dasar
ajaran tasawuf dalam Islam, diantara hadis-hadis tersebut adalah:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي
النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي
الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا
فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Artinya:
Dari
sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy beliau berkata: datang seseorang kepada
Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah ! tunjukkanlah kepadaku sutu
amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan mencintaiku dan juga manusia’,
Rasulullah Saw bersabda: “berlaku zuhudalah kamu di dunia, maka Allah akan
mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu atas segala apa yang dimiliki oleh
manusia, maka mereka (manusia) akan mencintaimu”.[6]
عَن زَيْدُ بْنُ ثَابِت قال : سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَتْ
الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ
كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي
قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Artinya:
Dari
Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan berlepas
diri dari segala urusannya dan tidaklah ia mendapatkan dari dunia sesuatu
apapun keculi apa yang telah di tetapkan baginya. Dan barang siapa yang sangat
menjadikan akhirat sebaga tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan seluruh harta
kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya, serta mendapatkan
dunia sedang ia dalam keadaan tertindas”.[7]
Hadis
pertama menunjukkan perintah untuk senantiasa berlaku zuhud di dunia, sementara
hadis kedua menjelaskan akan tercelanya kehidupan yang bertujuan berorientasi
keduniaan belaka, dan mulianya kehidupan yang berorientasi akhirat. Kedua hadis
tersebut menjelaskan kemuliaan orang-orang yang hanya menjadikan Allah sebagai
tujuan utama dalam hidupnya dan merasa cukup atas segala yang Allah telah
karunianakan kepadanya.
Selain
dari kedua hadis di atas terdapat pula banyak hadis yang memberikan wasiat
kepada orang-orang mu’min agar tidak bertumpu pada kehidupan dunia semata, dan
hendaklah ia senantiasa memangkas segala angan-angan keduniaan, serta tidak
mematrikan dalam dirinya untuk hidup kekal di dunia dan tidak pula berusaha
untuk memperkaya diri di dalamnya kecuali sesuai dengan apa yang ia butuhkan,
oleh karena itu Rasulullah Saw berwasiat kepada Abdullah bin Umar sambil
menepuk pundaknya dan bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ
أَوْ عَابِرُ سَبِيل
Artinya:
“Hiduplah
kamu di dunia seolah-seolah kamu adalh orang asing atau seorang musafir”[8]
Selain
tiga hadis di atas masih terdapat banyak hadis lainnya yang menjadi landasan
munculnya tasawuf atau sufisme.
Dari
keterangan-keterangan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis di atas menunjukkan
bahwa ajaran tasawuf yang menjadi landasan utamanya adalah kezuhudan terhadap
dunia demi mencapai tingkatan atau maqam tertinggi di sisi Allah yaitu ketika
seseorang menjadikan dunia sebagai persinggahan sementara dan menjadikan
rahmat, ridha, dan kecintaan Allah sebagai tujuan akhir.
C. Perkembangan Tasawuf
Dalam sejarah
perkembangannya, tasawuf atau ajaran kaum sufi dapat dibedakan dalam beberapa
periode, dan setiap periode tersebut mempunyai karakteristik dan tokoh
msing-masing. Secara rinci akan dibahas mengenai periode-periode tersebut.[9]
a. Abad
Pertama dan Kedua Hijriyah
1. Pada
Masa Sahabat
Para sahabat
dalam kehidupan keserhariannya selalu mencontoh kehidupan Rasulullah SAW. Yang
serba sederhana, yang hidupnya semata-mata diabdikan kepada Tuhannya. Diantara
para sahabat yang selalu mengikuti kesederhanaan Rasulullah Saw. Adalah sebagai
berikut.
Ø Abu
Bakar Ash-Shiddiq (wafat 13 H)
Ø Umar
bin Khaththab (wafat 23 H)
Ø Ustman
bin ‘Affan (wafat 35 H)
Ø Ali
bin Abi Thalib (wafat 40 H)
Ø Abu
Dzar al-Ghifary
Ø Ammar
bin Yasir
Ø Huzaidah
bin al-Yaman
Ø Miqdad
bin Aswad
2. Pada
Masa Tabi’in
Tokoh-tokoh sufi
dari kalangan tabi’in merupakan murid dari para tokoh sufi dari kalangan
sahabat. Tokoh-tokoh ulama sufi pada masa tabi’i n ini adalah sebagai berikut.
Ø Al-Hasan
Al-Bashry (22 H-110 H)
Ø Rabi’ah
Al-Adawiyyah (96-185 H/ 713-801 M)
Ø Sufyan
Ats-Tsauri (97-161 H/ 715-778 M)
Ø Daud
Ath-Thaiy (wafat 165 H)
Ø Syaqieq
Al-Balkhiy (wafat 194 H)
Pada abad pertama
hijriyah, para ulama tasawuf hanya berada dibeberapa kota yang tidak jauh dari
kota madinah, seperti kota mekkah, kufah, bashrah, dan beberapa kota kecil
lainnya. Akan tetapi, pada abad kedua hijriyah, ulama-ulama tersebut sudah
menyebar ke berbagai negeri di wilayah kekuasaan Islam. Pada abad pertama ini,
istilah ‘sufi’ masih kurang dikenal oleh masyarakat Islam, kecuali sebutan ahli
zuhud dengan istilah ‘sufi’ atau ‘sufiyah’. Cirri lain yang terdapat pada
perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua hijriyah adalah kemurniaannya
dibandingkan dengan kemurnian tasawuf pada abad-abad sesudahnya. Pada waktu
itu, ajaran tasawuf mulai tercampuri ajaran filsafat dan tradisi agama serta
kepercayaan yang dianut umat manusia sebelum Islam.
b. Abad
Ketiga dan Keempat Hijriyah
1. Abad
ketiga Hijriyah
Pada abad ini,
terlihat perkembangan tasawuf yang pesat ditandai dengan adanya segolongan ahli
tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang pada masa
itu sehingga mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
Ø Tasawuf
yang berintikan ilmu jiwa
Ø Tasawuf
yang berintikan ilmu akhlak
Ø Tasawuf
yang berintikan metafisika
Adapun
tokoh-tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga, yaitu:
Ø Abu
Sulaiman Ad-Darani (wafat 215 H)
Ø Ahmad
bin Al-Hawary Ad-Damasqiy (wafat 230 H)
Ø Dzun
An-Nun Al-Mishri (155-245 H/ 770-860 M)
Ø Abu
Yazid Al-Bustami (wafat 261 H/ 874 M)
Ø Junaid
Al-Baghdadi (wafat 298 H)
Ø Al-Hallaj
(lahir 244 H/ 838 M)
Pada akhir abad
ketiga hijriyah timbul perkembangan baru dalam sejarah tasawuf, yang ditandai
dengan munculnya lembaga pendidikan dan pengajaran, yang di dalamnya terdapat
kegiatan pengajaran tasawuf dan pelatihan rohaniah.
2. Abad
keempat Hijriyah
Abad ini
ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat, karena usaha maksimal
para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawuf. Akibatnya, kota Baghdad
yang menjadi satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf
yang paling besar, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Upaya untuk
mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad dipelopori oleh beberapa
ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain:
Ø Musa
Al-Anshari, mengajarkan ilmu tasawuf di khurasan (Persia atau iran), dan wafat
di sana tahun 320 H.
Ø Abu
Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkan ilmu tasawuf di salah satu kota di
mesir, dan wafat di sana tahun 322 H.
Ø Abu
Zaid Al-Adamy, mengajarkan ilmu tasawuf di semenanjung Arabiyah, dan wafat di
sana tahun 314 H.
Ø Abu
Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy, mengajarkan ilmu tasawuf di Naisabur
dan Syaraz hingga wafat tahun 328 H.
Ciri-ciri
yang terdapat pada abad ini adalah makin kuatnya unsure filsafat yang
memengaruhi corak tasawuf karena banyaknya buku filsafat yang tersebar di
kalangan umat Islam hasil terjemahan orang-orang Muslim sejak permulaan Daulah
Abbasiyah.
c. Abad
Kelima Hijriyah
Ajaran filsafat
Neo-Platonisme, filsafat Persia dan India, banyak mewarnai ajaran tasawuf
sehingga mewujudkan corak tasawuf falsafi yang sangat bertentangan dengan
ajaran tasawuf pada masa sahabat dan tabi’in. karena ituah, pada abad kelim
hijriyah ini terdapatbtiga golongan, yaitu Fuqaha, Ahli tasawuf, dan ahli
tasawuf teologi atau ahli tasawuf sunni.
Imam Ghazali
mengembalikan citra ahli tasawuf di kalanagan umat Islam dengan mempertemukan
ilmu zahir (ilmu syari’at) dengan ilmu batin (ilmu tasawuf) dan berusaha
memurnikannya dari unsure-unsur filsafat yang dinilainya membingungkan umat
Islam. Pada abad-abad inilah, terlihat tanda-tanda semakin dekatnya corak
tasawuf dengan ajaran tasawuf yang diamalkan pada abad pertama hijriyah.
d. Abad
Keenam, Ketujuh dan Kedelapan Hijriyah
1. Abad
keenam Hijriyah
Beberapa ulama
tasawuf yang sangat berpengaruh dalam perkenbangan tasawuf pada abad ini adalah
sebagai berikut:
Ø As-Suhrawardi
AlMaqtul (wafat 587 H/ 1191 M)
Ø Al-Ghaznawy
(wafat 545 H/1151 M)
2. Abad
ketujuh Hijriyah
Ada beberapa
ulama yang berpengaruh pada abad ini, yaitu:
Ø Unzar
Ibnul Faridh
Ø Ibnu
Sabi’in
Ø Jalaluddin
Ar-Rumi
3. Abad
kedelapan Hijriyah
Dengan
terlampauinya abad ketujuh hijriyah hingga masuk abad kedelapan hijriyah, tidak
terdengar lagi perkembangan dan pemikiran baru dalam tasawuf. Pada masa ini,
banyak pengarang kaum sufin yang mengemukakan pemikirannya tentang ilmu
tasawuf, tetapi pemikiran mereka tidak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
dari umat Islam.
D. Tasawuf Sunni
Tasawwuf sunni ialah
bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al quran dan al hadis secara ketat,
serta mengaitkan ahwal atau keadaan dan makomat (tingkatan ruhaniah) mereka kepada
kedua sumber tersewbut.[10]
Dalam kehidupan
sehari-hari para pengamal tasawwuf ini berusaha untuk menjauhkan drii dari
hal-hal yang bersifat keduniawian, jabatan dan menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu kekhusua’an ibadahnya.
Latar belakang
munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf
lebih-lebih pada abad kelima hijriah
aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan
kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi
para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang
layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang
dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran
taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat
dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan
hakekat yaitu Imam Ghazali.
a. Tokoh-tokoh
Tasawuf Sunni
Munculnya
aliran-aliran tasawuf ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berperan di
dalamnya. Begitu juga sama halnya dengan Tasawuf sunni. Diantara sufi yang
mempunyai ajaran sama dengan Tasawuf sunni ( berpegang teguh kepada Qurdis dan
shirah nabawiyah) dan menjadi tokoh tasawuf sunni adalah:
1. Hasan
al-Basri.
Hasan
al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’
dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di
Madinah pada tahun 21 H diantara ajarannya yang terpenting ialah Zuhud, Khouf
dan raja’
2. Rabiah
Al-Adawiyah
Nama
lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah,
juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah
karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diantara ajarannya yang
terpenting ialah Konsep Mahabbah
3. Dzu
Al-Nun Al-Misri
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri
al-Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Ajarannya yang paling
termashur ialah makrifat sufiyah dan makrifat aqliyah
4. Abu
Hamid Al-Ghazali
Tokoh
yang satu ini tidak asing lagi dikalangan umat islam, Ia Masyhur di kalangan
sufi dengan ajarannya Makrifat Ahlusunnah waljama’ah.
E. Tasawuf Syafi’i[11]
Beberapa pihak
yang tidak suka mengenai tasawuf, umumnya orang-orang Wahhabi, kerap kali
melakukan penipuan dan pemelintiran mengenai pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
mengenai tasawuf. Padahal faktwanya, Imam Syafi’i banyak memuji ahli tasawuf
(sufi), bahkan menganjurkan umat Islam untuk menjalani tasawuf.
Salah satu
pendapat Imam Asy-Syafi’i yang sering disalah pahami adalah apa yang disebutkan
oleh Imam al-Baihaqi di dalam Manaqib Imam al-Syafi’i. Pembenci tasawuf, bahkan
dengan sengaja mengutip dalam kitab Imam al-Baihaqi secara tidak utuh demi
menyembunyikan kebenaran dan mengedepankan hawa nafsu syaithoniyah. Komentar
Imam al-Syafi’i dalam kitab Imam Al Baihaqi tersebut adalah:
“Kalau seorang
menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu
zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu“.
Berikut
penjelasan lengkap beserta sanadnya dalam kitab Manaqib al-Syafi’i lil-Imam Al
Baihaqi:
“Telah
mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al Hafizh, berkata: Aku telah mendengar
Abu Muhammad; Ja’far ibn Muhammad al Harits berkata: Aku telah mendengar Abu
Abdillah al Husain ibn Muhammad ibn Bahr, berkata: Aku telah mendengar Yunus
ibn Abd al A’la berkata: Aku telah mendengar asy-Syafi’i berkata: “Jika ada
seseorang bertasawwuf di pagi hari maka sebelum datang zhuhur aku sudah
mendapatinya telah menjadi orang dungu“.
Dan telah
memberitakan kepada kami Abu Abdurrahman as-Sullami, berkata: Aku telah
mendengarJa’far ibn Muhammad al Maraghi, berkata: Aku telah mendengar al Husain
ibn Bahr, berkata: (lalu mengatakan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i di
atas).
Telah
mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Abdullah, berkata: Aku telah mendengar Abu
Zur’ah ar-Razi, berkata: Aku telah mendengar Ahmad ibn Muhammad ibn as-Sindi,
berkata: Aku telah mendengar ar-Rabi’ ibn Sulaiman, berkata: “Aku tidak pernah
melihat seorang -yang bernar-benar- sufi kecuali Muslim al-Khawwash“.
Aku (Al-Bayhaqi)
katakan: “Sesungguhnya yang dimaksud -oleh Imam Syafi’i-: adalah orang yang
masuk dalam kalangan sufi yang hanya mencukupkan dengan “nama” saja sementara
dia tidak paham makna intinya, dia hanya mementingkan catatan tanpa mendalami
hakekatnya, hanya duduk dan tidak mau berusaha, ia menyerahkan biaya hidup
dirinya ke tangan orang-orang Islam, dia tidak peduli dengan orang-orang Islam
tersebut, tidak pernah menyibukan diri dengan mencari ilmu dan ibadah,
sebagaimana maksud ucapan Imam Syafi’i ini ia ungkapkan dalam riwayat lainnya”,
yaitu riwayat yang telah dikabarkan kepada kami oleh Abu Abdirrahman
al-Sullami, berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah ar-Razi berkata: Aku
telah mendengar Ibrahim ibn al Mawlid berkata dalam meriwayatkan perkataan
asy-Syafi’i: “Seseorang tidak akan menjadi sufi hingga terkumpul pada dirinya
empat perkara; pemalas, tukang makan, tukang tidur, dan tukang berlebihan”.
Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki
sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal
kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam mu’amalahnya
kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia
dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa
beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.
… telah
mengabarkan kepada kami Abu Abdirrahman al-Sullami, berkata: aku mendengar
Abdullah bin al-Husain Ibnu Musa al-Sullami, mengatakan: aku mendengar Ali bin
Ahmad, mengatakan: aku mendengar Ayyub bin Sulaiman, mengatakan: aku
mendengarkan Muhammad bin Muhammad bin Idris al-Syafi’i mengatakan: aku
mendengarkan ayahku mengatakan: “Aku telah bersahabat dengan para sufi selama
sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu
adalah pedang” dan “termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya,
sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi,
maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat)”.
Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah mengutip ucapan Imam al-Syafi’i didalam kitabnya:
قال الشافعي رضي الله عنه : صحبت الصوفية
فما انتفعت منهم إلا بكلمتين سمعتهم يقولون الوقت سيف فإن قطعته وإلا قطعك ونفسك إن
لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل . قلت – أي ابن القيم – : يا لهما من كلمتين ما
أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على
طائفة هذا قدر كلماتهم
“Imam
Syafi’i berkata: “Aku berteman dengankaum sufi dan tidaklah aku mendapat
MANFA’AT dari mereka kecuali dua kalimat yang aku dengar dari mereka yaitu,
“Waktu itu adalah pedang jika kamu mampu memutusnya, jika tidak maka waktu itu
yang akan memutusmu. Dan nafsumu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka
akan disibukkan dgn kebathilan”. Aku katakan (Ibnul Qoyyim): “Aduhai sangatlah
manfaat dan mencangkup dua kalimat tersebut dan sangat menunjukan atas
tingginya semangat dan ketajaman pikiran orang yang mengatakan dua kalimat
tersebut, dan cukuplah hal ini sebagai pujian Imam Syafi’i pada mereka…”.[12]
Imam Syafi’i
didalam kitab Diwannnya:
فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي
وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول
كيف ذو الجهل يصلح
“Jadilah
kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh
dengan haq Allah aku menasehatimu. # Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka
hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang
kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan
menjadi baik “.[13]
Imam Asy-Syafi’i Memuji Ulama Sufi
Bahkan di satu
kesempatan, Imam As Syafi’i memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan
sufi. Ismail bin At Thayyan Ar-Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan
bertemu dengan Asy-Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar-Razi?
Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an
darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia
berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut
cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As-Shufi.
Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As-Shufi. Asy-Syafi’i
mengatakan,’Dia adalah dia”.[14]
Itulah sebagian
kecil pandangan para ulama ahlussunnah wal jama’ah yang benar mengenai apa itu
tasawuf dan sufi. Hanya dari kelompok menyimpang saja yang membenci dan menuduh
sesat pengikut tasawuf/ sufi. Kelompok dari paham yang membenci tasawuf atau
kaum sufi bisa dipastikan bukan bagian dari ahlussunnah wal jama’ah, karena
tasawuf adalah bagian dari ahlussunnah wal jama’ah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Tasawuf
berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan
sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan
implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang
berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjauhkan diri dari kesenangan duniawi
yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah
Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya
Æ Dalam
perkembangan aliran tasawuf berkembang pada abad pertama dan kedua hijiriah
yaitu pada masa sahabat dan tabiin, ulama dan kaum sufi. Kemudian sampai abad
kedelapan.
Æ Di
dalam aliran sufi adanya Thariqoh yaitu tempat atau perjalanan menuju Allah,
Kemudian akhlaq dan ahwal atau keadaan mental pada kaum sufi serta maqamah atau
tingkatan, kedudukan kaum sufi.
Æ Tasawuf
sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya memagari atau mendasari
tasawuf mereka dengan al-qur’an dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan
(ahwaal) dan tingkatan (maqoomaah) rohaniah mereka kepada kedua sumber tersebut
Æ Sejarah
perkembangan tasawuf sunni mengalami beberapa tahap perkembangan,namun
puncaknya berada ditangan al-Ghazali.
Æ Diantara
tokoh-tokoh tasawuf sunni adalah Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-Qusyairi dan
imam al-Ghazali.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Sahmarani,
As’ad. 1407 H/1987 M. Al-Tasawwuf Manyauhu Wa Mustalahatuhu. Bayrut: Dar
al-Nafais.
Amin
syukur, Menggugat Tasawuf:Sufisme Dan Tanggung Jawab Social Abad
21,Yogyakarta,2002, hal 8
Amin Syukura, Menggugat Tasawuf,
pustaka pelajar, yogyakarta, 2002
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan
Pemurniannya, pustaka panjimas, Jakarta, 1986, hlm 76
Ibid, Hal 4
Ibid., Bab; Menjadikan Dunia
Sebagai Tujuan, No Hadis: 4105., h. 1375
Ihya Ulumuddin (4: 3,4), cetakan:
Darul Ma'rifah, Beirut
M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus
Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000,
M. Solihin & Rosihan Anwar.
2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, Pustaka setia : Bandung 2008
Mahjuddin. 2010. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Kalam Mulia.
Moenir
Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf : Meniti Jalan Menuju Tuhan,Jakarta,2012,
hal 3.
Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, Shahih Al-Bukhary, Kitab: Riqaq, Bab:
Jadilah Kamu Manusi Asing Di Dunia Atau Seorang Pejalan Jauh. (Cet. I; Beirut:
al-Makatabah al-Ilmiyah, 1417 H), Jld. III, h. 3347
Muhammad
bin Yazid al-Qazwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab; Zuhud, Bab; Zuhud Di
Dunia, No Hadis; 4102. (Cet. I; Bandung: Maktabah Dakhlan, T.Th), Jld. II, h.
1373
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan
Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf ,
Jakarta,2004, hal.28
Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr
Al-‘Arabi, Dar Al-‘Lmi Li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm. 26
[1]
Amin syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab social abad 21,Yogyakarta,2002,
hal 8
[2]
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf , Jakarta,2004, hal.28
[3]
Moenir Nahrowi Tohir, menjelajahi eksistensi tasawuf : Meniti Jalan Menuju
Tuhan,Jakarta,2012, hal 3.
[4]
Ibid, Hal 4.
[5]
Ibid
[6]
Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab; Zuhud, Bab;
Zuhud di Dunia, No Hadis; 4102. (Cet. I; Bandung: Maktabah Dakhlan, T.Th), Jld.
II, h. 1373
[7]
Ibid., Bab; Menjadikan Dunia Sebagai Tujuan, No Hadis: 4105., h. 1375
[8]
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Kitab: Riqaq,
Bab: Jadilah kamu manusi asing di dunia atau seorang pejalan jauh. (Cet. I;
Beirut: al-Makatabah al-Ilmiyah, 1417 H), Jld. III, h. 3347
[9]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal. 37
[10]
Amin Syukura, Menggugat Tasawuf, pustaka pelajar, yogyakarta, 2002. Hal 36
[11]
http://www.elhooda.net/2014/04/inilah-pendapat-imam-syafii-yang-benar-tentang-tasawuf-dan-sufi/
[12]
Madarij As-Salikin juz 3 hal; 129
[13]
Diwan Imam Syafi’i halaman : 19
[14]
Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164
Posting Komentar