BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Era
globalisasi telah terjadi pergeseran sosial yang signifikan. Dampak dari ilmu
pengetahuan dan teknologi mendorong akses akulturasi dan asimilasi semakin
cepat, berakibat pada ‘runtuhnya’ nilai-nilai sosial yang dianut dalam suatu
komunitas. Interaksi social tidak lagi ada gap antar komunitas global dan ranah
ruang dan waktu semakin ‘mengecil’ dalam proses sosialisasi antar bangsa.
Begitu juga, konsep ideology bangsa semakin mengarah pada Akselerasi teknologi
mutakhir, berbagai persoalan dan perubahan sosial (masyarakat) yang
unpredictability (ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi).
Era ini menuntut adanya peningkatan sumber daya manusia yang kompetitif dan
kualifikatif. Perubahan itu sendiri didorong oleh tiga faktor, yaitu:
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kependudukan, dan faktor ekologi
atau lingkungan hidup. Kemudian pendidikan mengambil bagian penting dalam
proses perubahan sosial yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Menurut
Kuntowijoyo bahwa ada tiga tahapan perubahan masyarakat; Pertama, tahap
masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil
society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara
masyarakat dengan Negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi
Negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya; Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani
sudah berhasil dibangun; Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society)
yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut. Masyarakat etis, yakni
masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi.
Kesadaran etis ini mengimplikasikan keragaman nilai etis yang perlu dicari
kompatibilitasnya dalam nilai-nilai universal dan nilai-nilai pancasila.
H.J. Suyuthi Pulungan mengutip
pendapat Alvin Toffler bahwa garis perkembangan peradaban manusia terangkum ke
dalam tiga gelombang (third wave), yaitu fase pertanian, fase industri,
dan fase informasi. Fase pertanian menggambarkan betapa bidang pertanian telah
menjadi basis peradaban manusia. Keberhasilan dan kekuasaan ditentukan oleh
tanah dan pertanian. Fase industry mendeskripsikan lantaran industri menjadi
poros dan sumber pengaruh dan kekuasaan. Peradaban manusia pun didominasi oleh
para penguasa industri yang umumnya terdiri kaum konglomerat dan pemilik modal.
Fase informasi menempatkan informasi sebagai primadona dan penentu kesuksesan.
Melihat ketiga faktor perubahan dan
perkembangan peradaban yang telah diramalkan oleh Toffler sejak 1970, kini
berada pada fase ketiga, yaitu fase informasi. Indikatornya adalah maraknya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Dunia, sebagai salah satu faktor
pendorong perubahan sosial dan peradaban manusia. Dalam fase ini, siapa yang
menguasai informasi, baik ilmu pengetahuan dan teknologi, ia akan dapat
mengusai Dunia. Hal tersebut dibutuhkan kualitas pendidikan yang dapat menjawab
persoalan sosial kontemporer.
B. Rumusan
Masalah
Yang
menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
analisis pendidikan, stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial dalam
masyarakat?
2. Bagaimana
Tinjauan pendidikan terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial? Dan
3. Bagaiamana
hubungan pendidikan dengan stratifikasi sosial ?
C. Tujuan
Penulisan
Sebagaimana
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai
berikut :
1. Memahami
analisis pendidikan, stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial dalam masyarakat.
2. Memahami
tentang tinjauan pendidikan terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial.
3. Memahami
hubungan pendidikan dengan stratifikasi sosial.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Analisis
Pendidikan, Stratifikasi Sosial, Dan Mobilitas Sosial Dalam Masyarakat
1. Pendidikan
Dalam Analisis Sosiologi
Setiap
individu, kelompok, komunitas, masyarakat, atau Negara yang menjalankan program
pendidikan formal melakukannya dengan sengaja dan untuk alasan tertentu. Alasan
itu berasal dari keyakinan umum yang mengikat individu-individu terkait pada
situasi pertemuan khusus yang menghendaki adanya keputusan dan tindakan
kelompok. Ketika masyarakat yakin bahwa mereka memiliki cara hidup yang tak
ternilai harganya, mereka mengupayakan sarana untuk meneruskan cara hidup itu
kepada anak turunannya, dan hasrat inilah yang meningkat menjadi pendidikan
formal. Pendidikan formal menjadi pusat pelestarian dan pengembangan
nilai-nilai, sebuah proses penyiapan peserta didik untuk hidup bermasyarakat.
Tugas utama pendidikan, termasuk pendidikan di sekolah, yang paling utama ialah
menanamkan nilai-nilai. Internalisasi nilai-nilai tentunya adalah nilai yang
positif yang dapat membantu peserta didik untuk hidup bermasyarakat.
Sesuai
dengan konteks misi kemanusiaan, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Kegiatan pendidikan
sebagai upaya membentuk manusia sebagaimana mestinya agar dapat menjalankan
misinya sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan
dalam kehidupan manusia senantiasa berjalan dalam berbagai aspek, apakah aspek
hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini menegaskan
pendidikan tidak melihat manusia sebagai sosok yang sama, karena manusia
memiliki karakteristik yang penuh variatif antara yang satu dengan yang lain.
Keanekaragaman manusia dapat dipertemukan dalam konteks pendidikan dan memang
pendidikan mestinya perlu memfasilitasi ‘perbedaan’ agar bisa berkembang.
Setting social yang efektif di dalam pendidikan akan menumbuhkan interaksi
positif dan efektif dalam kehidupan sosial.
Masyarakat
yang dinamis dan melangkah maju yang di dalamnya domain pendidikan mendapat
apresiasi. Tugas utama pendidikan adalah mengidentifikasi dan memisahkan
orang-orang yang terlahir sebagai pemimpin dari orang-orang yang menjadi
pengikut, dan menyiapkan masing-masing dari mereka untuk mengemban peran sosial
mereka yang sebenarnya. Pemimpin yang lahir dari pendidikan akan mendapatkan
kelas sosial yang ilmiah dan mampu melakukan mobilisasi sosial dengan kesadaran
yang rasional.
Era
sekarang ini, kemajuan suatu masyarakat, intensitas mobilisasi social yang
tinggi apabila di dalamnya mutu dan pemerataan pendidikan yang tinggi.
Pendidikan menciptakan stratifikasi sosial dalam skala makro yakni munculnya
istilah negara maju dan negara berkembang. Negara maju dikonotasikan sebagai
komunitas yang terdidik sedang Negara berkembang sebagai komunitas yang
rata-rata rendah pendidikannya. Pendidikan yang bermutu di sini dilihat dengan
indikator sekolah yang berkualitas, yang di dalamnya dikelola oleh tenaga yang
profesional, didukung infrastruktur yang lengkap, dan ditopang oleh dana yang
tinggi.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal sasaran utamanya membantu peserta didik
mengembangkan potensinya dan menjaga dan menginternalisasi nilai-nilai budaya
yang positif. Dengan demikian, pendidikan dikembangkan sesuai dengan semangat
kebudayaan masyarakat setempat. Kebudayaan masyarakat jika dikaitkan dengan
pendidikan maka ditemukan sejumlah konsep pendidikan.
a. Keberadaan
sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sekitarnya
b. Perlu
dibentuk badan kerjasama antara sekolah dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk
wakil orang tua siswa untuk ikut memajukan pendidikan
c. Proses
sosialisasi anak-anak perlu ditingkatkan
d. Dinamika
kelompok dimanfaatkan untuk belajar
e. Kebudayaan
menyangkut seluruh cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh
manusia ikut mempengaruhi pendidikan atau perkembangan anak. Sebaliknya
pendidikan juga dapat mengubah kebudayaan anak.
Konsep
pendidikan yang berbasis masyarakat tentunya dapat menjadi wadah pengembangan
kearifan lokal, dan begitu juga kearifan lokal menjadi inspirator dalam
mengembangkan pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk menjaga stabilitas social
pada satu sisi dan mendorong melakukan mobilisasi social pada sisi lain.
Stabilitas social dimaksudkan sebagai nilai-nilai social, prilaku social
positif, keamanan, dan sebagainya. Kemudian mobilisasi sosial sebagai upaya
proses pendidikan untuk melakukan yang terbaik dari yang kurang baik,
meningkatkan taraf hidup layak, dinamika komunikasi sosial yang lebih efektif,
dan seterusnya. Hal inilah sasaran pendidikan yang cukup mempengaruhi kondisi
sosial kemasyarakatan.
2. Stratifikasi
Sosial
Dalam
konteks masyarakat, mulai masyarakat feodal sampai masyarakat modern, tetap
melekat suatu sistim sosial yang menunjuk pada stratifikasi sosial. Masyarakat
yang di dalamnya terdiri dari individu yang variatif, baik dari segi kemampuan
intelektual, emosional, spiritual, hereditas, maupun skill. Perbedaan individu
ini menjadi ‘embrio’ bagi pembentukan strata sosial di dalam masyarakat.
Semakin kompleks variasi perbedaan individu dalam anggota masyarakat maka akan
semakin membuka peluang bagi lahirnya strata sosial.
Sistim
stratifikasi sosial merupakan suatu keniscayaan di dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial merupakan kedudukan yang berbeda-beda mengenai manusia yang
merangkaikan suatu sistim sosial yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan
orang atasan (superior) dan orang bawahan (imperior) satu sama
lain dalam hal-hal tertentu oleh masyarakat dianggap penting. Stratifikasi
sosial ini menunjuk kepada suatu bentuk status sosial yang disandang oleh
anggota masyarakat yang saling melengkapi dalam pembentukan struktur sosial
yang apik.
Pembentukan
stratifikasi sosial dalam masyarakat kontemporer mendeskripsikan masih dipicu
oleh faktor hereditas dan ideologi, khususnya dalam masyarakat feodalis. Hal
tersebut senada pandangan Max Weber bahwa stratifikasi sosial adalah
penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistim sosial tertentu ke
dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan
prestise. Dalam masyarakat feodalis, kelas sosial ditentukan oleh keturunan
(hereditas) atau yang memiliki kesaktian sehingga dapat menjadi penguasa dan
sekaligus mendapat hak istimewa. Faktor determinan ini yang menjadi penentu
dalam proses sosal, seperti nilai-nilai sosial, prilaku sosial, struktur
sosial, strata sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, mobilisasi sosial, dan
sebagainya.
Perubahan
sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman perbudakan sampai revolusi
industri hingga sekarang secara mendasar dan menyeluruh telah memperlihatakan
pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka diferensiasi
sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal
maupun vertikal. Hal ini telah menarik para perintis sosiologi awal untuk memperhatikan
diferensiasi sosial, yang termasuk juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang
terlihat di dalam masyarakat ternyata juga memiliki berbagai macam implikasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Status yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses
ke segala macam hak-hak istimewa dalam masyarakat yang pada dasarnya hak
istimewa tersebut merupakan hasil dari rampasan dan penguasaan secara paksa
oleh yang satu terhadap yang lainya, mendominasi dan didominasi, yang pada
akhirnya merupakan sumber dari ketidaksamaan di dalam masyarakat.
Proses
sosial yang di dalamnya terjadi pertentangan dan hegemoni berkepanjangan, yang
berimplikasi pada lahirnya kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial terdiri dari
kelas sosial tinggi (upper class), kelas sosial menengah (middle class),
dan kelas sosial rendah (lower class). Kelas sosial tinggi dimiliki oleh
para pejabat atau penguasa dan pengusaha kaya, kelas sosial menengah dimiliki
oleh kaum intelektual, teknokrat, pengusaha rendah dan menengah, serta pegawai
negeri, dan kelas sosial rendah merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat,
seperti buruh dan dan pedagang kecil.
Di
sisi lain, proses stratifikasi sosial dapat berkembang dengan adanya kesadaran
hubungan sosial yang bersifat interdependensi. Proses stratifikasi sosial semakin
menkristal dan melembaga apabila proses interaksi semakin intens, permasalahan
semakin kompleks, masyarakat semakin luas dan heterogen, sehingga pembagian
pekerjaan semakin banyak. Karena proses stratifikasi sosial terjadi karena
makin meluasnya masyarakat dan makin banyaknya terjadi spesialisasi dan
diversifikasi pekerjaan. Proses stratifikasi sosial ini lebih tampak pada
masyarakat ‘modern’ yang lebih demokratis, dapat menduduki kelas-kelas sosial
karena prestasi atau skill, bukan prestise.
Stratifikasi
sosial dalam masyarakat dapat dilihat dalam struktur sosial, sebagaimana yang
dikemukakan Darmansyah sebagai berikut:
a. Masyarakat
terbagi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki strata tertentu.
b. Strata
itu terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang
diaktualisasikan dalam bentuk kualitas individu dan kelompok.
c. Kemudian
lahirlah kelompok-kelompok yang dipandang inferior dan superior
d. Adanya
kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kaum superior.
Stratifikasi
sosial merupakan hukum sosial yang harus adanya, justru meniadakan stratifikasi
sosial akan membawa kepada ‘kemandegan’ dan ‘kerapuhan’ masyarakat. Adanya
kelas sosial superior menjadi ‘sandaran’ kelompok inferior terhadap
ancaman dari luar dan dari dalam. Kelas superior menjadi icon pemersatu
dari keragaman kelompok inferior. Akibat adanya sistim stratifikasi
sosial, berimplikasi pada pembentukan mentalitas masyarakat yang
diaktualisasikan dalam bentuk sistim nilai-nilai, pola berpikir, sikap (attitude),
pola tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, dan sistim kaedah atau norma
dalam mengaktualisasikan diri. Implikasi negatif stratifikasi sosial yang
seringkali nilai keadilan dan kemanusiaan diletakkan tidak pada proporsinya.
Dari
sudut pandang sosialisme, kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas
adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya
menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Ukuran stratifikasi
sosial lebih menonjol pada kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh individu atau
kelompok masyarakat. Hal tersebut membawa pada masyarakat yang ‘terpecah’,
menjadi dua kelompok yaitu kelompok borjuis dan kelompok proletar. Kelompok
borjuis sebagai kelompok kecil namun superior memiliki kekuasaan dan hak
istimewa terhadap kelompok proletar sebagai kelompok inferior atau kelompok
yang kuantitasnya besar. Kelompok borjuis menguasai alat-alat produksi dan
monopoli ekonomi, sedangkan kelompok proletar menjadi ‘berhala’ bagi borjuis.
Kemunculan
kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial,
disaat kepemilikan pribadi atas alat produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx
melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi, dimana
hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat produksi. Seperti
yang selalu ia katakan dalam berbagai tulisannya, pembagian kerja yang
merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat memudarnya masyarakat komunal
primitif.
Salah
satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang
terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam
perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak
jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi
surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya,
dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan
sendirinya dalam masyarakat, Teori surplus ini menilai stratifikasi sosial
lebih mengarah pada akselerasi sains dan teknologi yang berimplikasi pada
peningkatan produktivitas ekonomi dalam rangka pencapaian surplus ekonomi
melalui perjuangan social, dan hal inilah menjadi pemicu lahirnya stratifikasi
sosial.
Dalam
analisis fungsional, masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelompok sosial yang
masing-masing dibedakan sesuai karakteristik dan motifnya. John L. Gillin
membagi kelompok atas dasar fungsionalnya, sebagai berikut:
a. Kelompok
persamaan darah (blood group), misalnya keluarga, clan, dan kasta.
b. Kelompok
berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental, sama jenis seksnya, sama umur,
sama rasnya.
c. Kelompok
proximitas, crowds, mobs, communitu, kelompok-kelompok territorial.
d. Kelompok
berdasarkan interest kulturil, yaitu congenialitas, ekonomi, teknologi, agama,
asthetik, intelektuil, pendidikan, politik, rekreasi, dan sebagainya.
Perbedaan
kelompok-kelompok dalam masyarakat menjadi sebuah indikator bagi klasifikasi
dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi social dapat terjadi dari sudut pandang
blood group, karakteristik jasmaniah atau mental, proximitas, dan interes
kultural. Analisis fungsional terhadap varian kelompok tersebut saling
melengkapi dalam struktur sosial masyarakat kompleks. Sistim sosial dalam hal
kekuasaan biasanya ditentukan oleh kelompok bloop group, atau interest
cultural, dan lain-lain.
Dalam
konteks agama, stratifikasi social mendapat apresiasi yang tinggi. Weber
cenderung mereduksi keyakinan agama menjadi kepentingan kelas-kelas masyarakat.
Agama disorot dalam konteks sosiologi terdapat legitimasi kuat terhadap
stratifikasi social. Weber telah mengembangkan suatu model teoritis di mana
stratifikasi sosial dapat secara langsung dihubungkan dengan kandungan agama.
Dikotomi antara teologi kelas yang diistimewakan (privileged class)
dengan teologi kelas yang tidak diistimewakan (non-privileged class)
mendominasi visinya tentang agama. Sementara strata yang diistimewakan, baik
kaum birokrat maupun pasukan perang cenderung memandang agama sebagai sumber
penjaminan psikologis untuk kesucian legitimasi atas nasib baik mereka,
kelompok-kelompok yang non-privileged ditarik kepada agama guna penyembuhan dan
pelapisan diri mereka dari penderitaan.
Sifat
dari sistim stratifikasi sosial dalam masyarakat ada yang tertutup dan ada yang
terbuka. Sistim bersifat tertutup tidak memungkinkan terjadinya perpindahan
seseorang dari lapisan social yang satu ke yang lain, baik ke bawah maupun ke
atas. Keanggotaan dari suatu lapisan tertutup, diperoleh melalui kelahiran atau
suatu ideologi. Sistim stratifikasi sosial tertutup dapat dilihat pada
masyarakat berkasta, pada masyarakat feudal, pada masyarakat rasial, dan
sebagainya. Kemudian pada masyarakat yang sistim stratifikasi sosialnya
terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan
skill dan kecakapannya untuk meningkatkan stratifikasi sosial atau turun ke
lapisan sosial di bawahnya.
3. Mobilitas
Sosial
Setiap
masyarakat senantiasa terjadi proses dinamika atau transformasi, baik yang
bersifat individu maupun kelompok. Dinamika sosial terjadi akibat adanya
faktor-faktor tertentu sebagai pendorong melakukan dinamika, dan dinamika
inilah biasanya disebut mobilitas sosial. Mobilitas sosial diartikan sebagai
gerak dalam struktur sosial (social structure). Mobilitas social
menunjuk pada pergerakan masyarakat dalam struktur-strukrur sosial, seperti
pendidikan, ekonomi, pertanian, agama, dan sebagainya.
Mobilitas
mempunyai arti yang bermacam-macam, pertama, mobilitas fisik (mobilitas
geografis) yaitu perpindahan tempat tinggal (menetap/sementara) dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Kedua, mobilitas sosial yaitu suatu gerak
perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial
ini terdiri dari dua tipe, yaitu mobilitas sosial horisontal dan vertikal.
Mobilitas sosial horisontal diartikan sebagai gerak perpindahan dari suatu
status lain tanpa perubahan kedudukan. Jadi dalam mobilitas sosial horisontal
ini, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang. Sedangkan
mobilitas sosial vertikal yaitu suatu gerak perpindahan dari suatu status
sosial ke status sosial lainnya, yang tidak sederajat. Mobilitas sosial
vertikai ini jika dilihat dari arahnya, maka dapat dirinci atas dua jenis,
yaitu gerak perpindahan status sosial yang naik (social climbing) dan
gerak perpindahan status yang menurun (social sinking).
Pengertian
mobilitas sosial ini mencakup baik mobilitas kelompok maupun individu. Misalnya
keberhasiian keluarga Pak A merupakan bukti dari mobilitas individu; sedang
arus perpindahan penduduk secara bersama-sama dari daerah kantong-kantong
kemiskinan di Pulau Jawa ke daerah yang lebih subur sehingga tingkat
kesejahteraan mereka relatif lebih baik dibanding di daerah asal, merupakan
contoh mobilitas kelompok. Ketiga, Mobilitas psikis, yaitu merupakan
aspek-aspek sosial-psikologis sebagai akibat dari perubahan sosial. Dalam hal
ini adalah mereka yang bersangkutan mengalami perubahan sikap yang disertai
tentunya dengan goncangan jiwa.
Konsep
mobilitas tersebut dalam prakteknya akan saling berkaitan satu sama lain, dan
sulit untuk menentukan mana sebagai akibat dan penyebabnya. Sebagai contoh
untuk terjadinya perubahan status sosial, seseorang terpaksa meninggalkan
tempat tinggalnya karena ketiadaan lapangan kerja, atau sebaliknya mobilitas
sosial seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografi yang disertai dengan
segala kerugian yang menyakitkan, yakni lenyapnya ikatan sosial yang sudah
demikian lama terjalin. Demikian halnya mobilitas geografis akan mempengaruhi
terhadap mobilitas sosial yang climbing maupun sinking, bahkan sekaligus
mempengaruhi mobilitas mental atau psikis dari individu maupun masyarakat.
Dalam
konteks mobilitas sosial, seringkali dimotori oleh suatu ideologi tertentu.
Sebuah mobilitas sosial yang terarah dan jelas kausalitasnya apabila jelas
semangat ideologi yang memicunya. George Rude menyatakan bahwa sejauh gerakan
sosial apapun harus memiliki sebuah ideologi agar sanggup melakukan mobilisasi
sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, gerakan Islam radikal yang
diusung oleh kelompok-kelompok tertentu, lebih didorong oleh kepentingan untuk
memperoleh legitimasi moral dan agama sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi
sosial secara vertikal dari kelompok akar sosial non agama. Mobilisasi sosial
yang didasari ideologi agama seringkali melegitimasi pola dan dampak mobilisasi
tersebut, sehingga cenderung membawa dampak sosial yang besar atau terjadi
konflik sosial. Legitimasi agama inilah sehingga mobilitas sosial sering kali
dipaksakan dan bersifat revolusioner.
Namun
demikian, mobilisasi sosial akibat kesadaran sosial akan melahirkan proses
sosial yang dinamis dan evolutif. Sebagai contoh, orang-orang Kalimantan (Suku
Dayak) yang masuk agama Islam atau orang Melayu, sering menyangkali leluhurnya
sebagai orang Dayak. Lebih dari itu, orang Dayak tersebut mengokohkan dirinya
dalam identitas orang Melayu sejati, pada umumnya orang Dayak menganggap
dirinya sudah memperoleh “mobilisasi sosial” dari status sosial yang rendah
meningkat menjadi orang Melayu dengan status sosial yang tinggi. Mobilitas
sosial dengan landasan agama hanyalah bentuk sebuah status diri dengan Tuhan,
bukan untuk kelas sosial.
Dalam
mobilisasi sosial, terdapat lembaga-lembaga sosial yang dapat menyalurkan
gerakan sosial yang bersifat vertikal. Saluran-saluran dalam gerak sosial
vertikal, yaitu angkatan bersenjata, lembaga-lembaga keagamaan,
sekolah-sekolah, organisasi-organisasi politik, ekonomi, dan keahlian.
Institusi sosial menjadi sentral bagi suatu gerak sosial di masyarakat yang
bersifat vertikal. Masyarakat dapat bergerak ke atas melalui jenjang karier
atau kepangkatan, skala wewenang dalam bidang tertentu, dan sebagainya.
B. Tinjauan
Pendidikan Terhadap Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu ingin hidup dan eksis dalam masyarakat. Salah
satu institusi sosial yang dapat membantu eksistensi manusia dalam masyarakat
adalah institusi pendidikan. Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus
memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan
dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter
secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai
tujuan dari sebuah sitem. Kedua, mengenali individu yang berbeda-beda dalam
peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan. Kedua karakter
umum lembaga pendidikan tersebut menunjukkan bahwa intitusi pendidikan juga
sebagai institusi sosial.
Dalam
pendidikan, dikenal tripusat lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan pendidikan
keluarga (informal), lingkungan sekolah (formal), dan lingkungan masyarakat
(nonformal). Ketiga klasifikasi tersebut dalam pergumulanya di masyarakat
memiliki peran yang berbeda-beda, lembaga pendidikan pertama, yaitu informal
atau keluarga, ranah garapanya adalah lebih banyak diarahkan dalam pembentukan
karakter atau keyakinan dan norma.
Lembaga pendidikan formal atau sekolah, peran besarnya lebih banyak di
arahkan pada pengembangan penalaran peserta didik, dan lembaga pendidikan
ketiga, yaitu masyarakat, peranya lebih banyak pada pembentukan karakter
sosial. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut mestinya sinergi dalam upaya
penguatan sistim social secara universal.
Pedagogik
tradisional memandang lembaga pendidikan sebagai salah satu dari struktur
sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itru, lembaga
pendidikan seperti sekolah perlu disiapkan agar lembaga tersebut berfungsi
sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Apabila lembaga sekolah tidak
dapat mengikuti perubahan sosial maka dia kehilangan fungsinya dan kemungkinan
besar dia ditinggalkan masyarakat. Olehnya itu, fungsi sosial sekolah tetap
menjadi elan vital bagi proses dinamika sosial menuju cita-cita yang ideal
yaitu masyarakat equilibrium.
Pendidikan
yang berbasis masyarakat akan dapat menjadi faktor pendorong pemicu solusi bagi
problem masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai laboratorium di mana anak
belajar, menyelidiki dan turut serta dalam usaha-usaha masyarakat yang
mengandung unsur pendidikan. Sekolah mengikutsertakan orang banyak dalam proses
pendidikan dalam mempelajari problem-problem sosial. Terkait dengan hal tersebut,
pemerintah telah menetapkan arah baru pendidikan nasional, yaitu kesetaraan
sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi
sosial, pendidikan dalam rangka pemberdayaan social, pemberdayaan infrastuktur
sosial untuk kemajuan pendidikan nasional, pembentukan kemandirian dan
keberdayaan untuk kemajuan pendidikan, penciptaan iklim kondusif untuk
tumbuhnya toleransi dan consensus dalam kemajemukan, perencanaan terpadu secara
horizontal dan vertical, pendidikan berorientasi peserta didik, pendidikan
multicultural, dan pendidikan dengan perfektif global.
Sebagai
lembagai lembaga sosial, maka proses belajar di dalam sekolah haruslah
disesuaikan pula dengan fungsi dan peranan lembaga pendidikan. Fungsi sekolah
ialah mentransmisikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan kebudayaan
pada saat itu. Di dalam pedagogik tradisional, tempat individu adalah sebagai
obyek perubahan sosial. Individu tersebut mempelajari peranan yang baru di
dalam kehidupan sosial yang berubah. Sekolah adalah tempat yang memperoleh
legitimasinya dari kehidupan masyarakat atau pemerintah yang mempunyainya.
Karena legitimasi dari masyarakat dan pemerintah, maka sekolah seyogyanya
berfungsi untuk memperkuat institusi sokial, melestarikan dan memperbaiki nilai-nilai
social, mendorong mobilisasi vertikal yang efektif, dan seterusnya.
Sekolah
mempersiapkan individu-individu untuk hidup dalam konteks sosial
kemasyarakatan. Individu tidak dapat berkembang apabila diisolasikan dari dunia
sosial budaya di mana di mana dia hidup. Hal ini berarti adanya suatu pengakuan
peran aktif partisipatif dari individu yang menjadi dalam tatanan kehidupan
sosial dan budayanya. Individu bukanlah sekedar menerima nilai-nilai tersebut
hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang aktif partisipatif di dalam
aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya. Jadi, berbeda dengan pandangan
pedagogik tradisional yang melihat individu sebagai suatu makhluk yang pasif
reaktif, yang hanya berkembang karena pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk pengaruh
dari perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungannya. Kondisi ini menjadikan
masyarakat menjadi pengikut tanpa ada inisiasi untuk melakukan dinamika sosial.
Konteks
pendidikan yang transformative mempersiapkan individu-individu yang peka dengan
lingkungannya, inisiatif, dan terdorong untuk melakukan dinamika. Pedagogik
transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu entity yang telah jadi,
tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam
kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses pendidikan dalam lingkungan
keluarga dan sekolah. Di dalamnya peranannya yang emansipatif tersebut maka
individu bukan hanya sebagai obyek dari perubahan sosial, tetapi sekaligus pula
berperan sebagai faktor dari pengubah dan pengarah dari perubahan social, atau agen
of change (individu-individu pengubah).
Sekolah
sebagai insitusi sosial diharapkan dapat melahirkan luaran yang mampu melakukan
rekayasa sosial. Sebelum melakukan dinamika dan perjuangan social, maka harus
dimulai dari sendiri. Terminology diri sebagai lokomotif perjuangan social akan
dapat mendorong masyarakat untuk ikut dalam perjuangan tersebut. Olehnya itu,
di sekolah dituntut para pendidiknya mampu bersikap secara professional dalam
mengarahkan peserta didik tersebut. Dengan demikian, para pendidik perlu
menjadi fasilitator agar dorongan dan bimbingan dapat terwujud dalam perubahan
perilaku peserta didik. Tugas berat pendidik ini tetap menjadi sebuah harapan
dari masyarakat dan pemerintah.
Secara
filosofis, setiap manusia wajib belajar untuk sebuah kemandirian dan eksistensi
dalam kehidupan social. Kewajiban belajar telah merupakan keputusan bersama
umat manusia dan tuntutan tersebut bukan hanya tuntutan formal tetapi juga
menuntut perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga
pendidikan formal tersebut. Bahkan berbagai perubahan dunia dipelopori dari
perubahan lingkungan pendidikan formal, seperti pemberontakan mahasiswa
Perancis tahun 1968 yang mengubah kehidupan politik, sosial, bahkan kebudayaan
dari masyarakat Perancis.
Bukti
sejarah ini mempertegas bahwa pendidikan memiliki elan vital bagi sebuah
dinamika social, memperkokoh struktur social, stratifikasi social, mobilitas
social, perubahan social, dan seterusnya. Tampaknya pendidikan dapat mereduksi
stratifikasi sosial atas dasar prestise tetapi memperkuat stratifikasi sosial
atas dasar prestasi. Begitu juga mobilitas sosial lebih cepat terjadi secara
vertikal karena dorongan institusi pendidikan yang efektif.
C. Hubungan
Antara Pendidikan Dengan Stratifikasi Sosial
1. Golongan
Sosial dan Tingkat Pendidikan
Menurut
penelitian, terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang
dengan tingkat pendidikan yang ditempuhnya. Meskipun tingkat pendidikan sosial
seseorang tidak bisa sepenuhnya diramalkan melalui kedudukan sosialnya, namun
pendidikan sosial yang tinggi sejalan dengan kedudukan sosial yang tinggi pula.
Anak
dari golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan studinya hingga ke perguruan
tinggi. Sedangkan orang golongan tinggi cenderung menginginkan anaknya untuk
menyelesaikan pendidikan tinggi. Hal tersebut terjadi karena faktor
biaya pendidikan yang tergolong mahal.
2. Golongan
Sosial dan Jenis Pendidikan
Golongan
sosial juga menentukan jenis pendidikan yang dipilih oleh orang tua siswa.
Umumnya, anak-anak yang orang tuanya mampu, cenderung menyekolahkan anaknya di
sekolah menengah umum sebagai persiapan studi di universitas. Sedangkan orang
tua yang memiliki keterbatasan keuangan, cenderung memilih sekolah kejuruan
bagi anaknya. Dapat diduga bahwa sekolah kejuruan lebih banyak menampung siswa
golongan rendah daripada golongan tinggi. Karena itulah dapat timbul pendapat
bahwasanya status sekolah umum lebih tinggi daripada sekolah kejuruan. Siswa
sendiri cenderung lebih memilih sekolah menengah umum daripada sekolah
kejuruan. Sekalipun sekolah kejuruan dapat memberikan jaminan yang lebih baik
untuk langsung terjun di lapangan pekerjaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpualan
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat di ambil beberapa kesimpulan, yaitu :
Æ Pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri,
kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan kedudukan yang berbeda-beda
mengenai manusia yang merangkaikan suatu sistim sosial yang ada dan
perlakuannya sebagai hubungan orang atasan (superior) dan orang bawahan
(imperior) satu sama lain dalam hal-hal tertentu oleh masyarakat dianggap
penting. Mobilitas sosial merupakan gerak dalam struktur social, baik bersifat
horizontal (fisik) dan vertisal.
Æ Pendidikan
sebagai sistim terencana yang memanusiakan manusia agar dapat eksis dalam
masyarakat. Pendidikan dapat memperkokoh stratifikasi sosial dalam masyarakat,
dan dapat mendorong mobilitas sosial yang utama yaitu vertical. Pendidikan
berfungsi untuk menyiapkan peserta didik untuk beradaptasi dalam konteks
sosial, dan generasi ini akan membawa pada stratifikasi dan mobilitas sosial di
dalam masyarakat.
Æ Terdapat
hubungan timbal balik antara pendidikan dengan stratifikasi sosial, dimana
tingkatan sosial menentukan sejauh mana jenis pendidikan dan tingkat pendidikan
mampu di tempuh.
DAFTAR
PUSTAKA
-----------,
& Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (cet.II, Jakarta: Rumka cipta, 2002)
------------,
Kekuasaan dan Pendidikan, (Jakarta: Indonesia Tera, 2003)
Ahmadi,
H. Abu. Sosiologi Pendidikan, (Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2007)
Azis,
Abdul. Esai-esai Sosiologi Agama, (t.t.p.: Diva Pustaka, t.th.)
Cohen, Bruce J., “Theory and
Problems of Introduction to Sociology”, diterjemahkan oleh Sahat Simamora
dengan judul Sosiologi–Suatu Pengantar, (Cet. I, Jakarta: Bina Aksara, 1983)
Ghillin and Ghillin, An
Introduction to Sociology, (New York: The Macmillan Company, 1948)
Hamalik, Oemar, Perencanaan
Pegajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (cet V, Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
Idi, Abdullah., dan Toto Suharto,
Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
Iman,
Muis Sad., Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
Jalal, Faisal., dan Dedi Supriadi
(ed.), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa, 2001)
Latif, Yudi, Inteligensia Muslim
dan Kuasa–Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan,
2005)
Lenin, V.I., Vulgar Socialism and
Narodism as Resurrected by the Socialist Revolusioneries, Kumpulan Tulisan, vol
6, 1977
Maryati,
Kun., dan Juju Suryawati, Sosiologi, Jilid II, (Jakarta, Esis, 2006)
Pidarta, Made, Landasan
Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000)
Salim,
Agus. Stratifikasi Etnik. Semarang; FIP UNNES dan Tiara Wacana. 2006
Sarwono, Sarlito. Psikologi Sosial
– Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan, (Cet. II, Jakarta: Balai Pustaka,
2001)
Setiadi,
Elly M dan Kolip Usman. Pengantar Sosiologi. Jakarta; Kencana. 2011
Soekanto
Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers : Jakarta
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, (Cet. VII, Jakarta: UI Press, 1981)
Suharto.
Stratifikasi Sosial. Yogyakarta; Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. 1986
Suhartono,
Suparlan, FIlsafat Pendidikan, (Cet. IV, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Susanto,
A. Budi, Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2003)
Syafaruddin,
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2005)
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)
Thut, I.N., dan Don Adams,
“Educational Pattern in Contemporary Societies”, diterjemahkan oleh SPA
Teamwork dengan judul Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer – Seri
Pendidikan Perbandingan, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial
dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik untuk Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Turner, Bryan S. Religion and
Sosial Theory, (London: Heinemann Educational Books, 1983)
Yermakova, Antonina dan Ratnikov,
Valentine, Kelas dan Perjuangan Kelas, (Cet. I, Yogyakarta: Sumbu, 2002)
Yulaelawati, Ella, Kurikulum dan
Pembelajaran. Filosofi, Teori, dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004)
Zastrow, Ng., Al-, Gerakan Islam
Simbolik–Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta: LKis, 2006)
Posting Komentar