BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat
penting dan sangat
komplek dalam proses
litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau peristiwa
masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang
dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran
yang bersifat absolut
(ultimate absoluth), tetapi
bersifat kebenaran relatif atau
bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian
tetap menghadapi kesulitan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah tahapan pemeriksaan perdata
dan perdana ?
2.
Bagaimanakah eksekusi keputusan hakim ?
C.
Tujuan Penulisan
Sebagaimana
latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan
adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui tahapan pemeriksaan Perkara
perdata dan pidana.
2.
Mengetahui bagaimana eksekusi keputusan
hakim.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemeriksaan Perdata dan Pidana
a.
Pengertian Pemeriksaan Perdata
Perkara Perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang
satu dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan.
Pengertian Perkara Perdata tentang hubungan keperdataan antara pihak yang
satu dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan
melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Perkara
perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya terhadap
perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para pihak,
tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan
penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang
dipunyai oleh pihak yang berkepentingan agar hak-hak keperdataannya mendapatkan
keabsahan. Umumnya dalam permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang
diajukan oleh pihak yang berkepentingan tidak mengandung sengketa karena
permohonannya dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak yang
berwajib.
Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata
baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan
pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara
perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum Acara Perdata
Indonesia menyatakan bahwa Pengertian perkara perdata adalah "meliputi
baik perkara yang mengandung sengketa (contentius) maupun yang tidak mengandung
sengketa (voluntair)".
b.
Pengertian Hukum Pidana
a)
Menurut Para Ahli Hukum
“Simon” Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara
negara dengan alat perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana.
“Sudarto” Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang
memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para penegak hukum dan
pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum
pidana dilanggar.
Fungsi, Tugas dan Tujuan Hukum Acara Pidana
b)
Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum
acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa
adanya permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh
UU.
c)
Tugas Hukum Acara Pidana
Tugas pokok hukum acara pidana:
1.
Mencari kebenaran materil.(kebenaran
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan tujuan untuk
mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan
selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah
bukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa
dipersalahkan.
2.
memeberikan putusan hakim.
3.
melaksanakan putusan hakim.
B.
Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dan
Pidana
a.
Tahapan pemeriksaan perkara perdata
Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan
sengketa tanah dan perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal
proses pemeriksaan perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan
oleh pihak ke pengadilan.
Adapun proses pemeriksaan perkara gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai
berikut :
1.
Diawali karena adanya gugatan masuk ke
pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian panitera perdata yaitu
mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan nomor register perkara,
disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim,
selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui
panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang
yang telah ditetapkan.
2.
Pada persidangan pertama jika Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir
setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka
majelis hakim akan memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat
tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut
maka majelis hakim akan memberikan putusan Verstek. Namun demikian jika
Penggugat dan Tergugat hadir, maka majelis hakim akan menanyakan dahulu apakah
gugatannya ada perubahan, jika ada diberika kesempatan untuk merubah dan dicata
panitera pengganti. Jika tidak ada perubahan majelis Hakim akan melakukan mediasi untuk berdamai paling lama
40 hari.
3.
Jika selama 40 hari tersebut mediasi
ataud amai tidak tercapai, maka persidangan selanjutnya adalah pembacaan
gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan gugatan selalu tidak
dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang antara
Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada
dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan
pengadilan (juru sita) minimal 3 hari
sebelum persidangan pertama dimulai.
4.
Setelah pembacaan gugatan selesai atau
dianggap dibacakan, Majelis Hakim
menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis.
Apabila lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat dan apabila tertulis biasanya diberi
kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan Jawaban Tergugat
atas Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat melakukan
bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta
mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
5.
Pada persidangan selanjutnya adalah
menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya jawaban tergugat tidak dibacakan
tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara tertulis untuk menanggapi
Jawaban Tergugat yang disebut dengan
Replik Penggugat (Tanggapan terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya
sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan
dalil-dalil dalam jawaban tergugat
adalah salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus
dibacakan agar Penggugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
6.
Pada persidangan berikutnya adalah
menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya Replik Penggugat juga tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan
kepada Tergugat secara tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat yang disebut dengan Duplik Tergugat (Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik
Tergugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil jawaban
Tergugat adalah benar sedangkan
dalil-dalil dalam Replik Penggugat adalah salah. Duplik juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik
harus dibacakan agar Tergugat tahu yang
mana yang akan ditanggapinya.
7.
Pada persidangan berikutnya, adalah
menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan terhadap Replik Penggugat. Setelah
Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan alat-alat bukti tertulis
Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat bukti tertulis
kepada majelis hakim.
8.
Setelah penyerahan alat bukti tertulis
selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan saksi-saksi untuk mendukung
alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan kesempatan dan dilakukan
pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai perkara. Setelah itu baru
diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan saksi untuk dimintai
keterangannya.
9.
Setelah pemeriksaan alat bukti selesai,
dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS) yaitu Majelis Hakim akan datang ke
lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta apakah antara isi gugatan
dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
10. Apabila
pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat
maupun tergugat.
11. Terakhir
adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan
tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan
hakim adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak
dapat dibuktikan oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (catatan
: sebelum vonis hakim dijatuhkan, perdamaian masih dapat dilakukan, bahkan
perdamaian tersebut harus selalu ditawarkan hakim pada setiap tahap persidangan).
12. Terhadap
putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum
Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada
saat putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan
dijatuhkan.
b.
Tahapan Pemeriksaan Perkara Pidana
Adapun tahapan
pemeriksaan perkara pidana adalah sebagai berikut :
1.
Pemeriksaan Tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan tentang hak untuk
mendapatkan bantuan hukum atau dalam perkara tersebut ia wajib didampingi
penasehat hukum (Pasal 144 KUHAP).
Perkara yang
wajib mendapatkan bantuan hukum, yaitu :
Ø
Perkara yang tersangkanya diancam dengan
pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih.
Ø
Perkara yang tersangkanya tidak mampu
yang diancam dengan lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun.
Selanjutnya dalam hal tersangka ditahan, maka dalam waktu satu (1) hari
setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa (Pasal 122
KUHAP).
Menurut Pasal 115 KUHAP ditentukan, bahwa pada waktu penyidik sedang
melakukan pemeriksaan, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan
dengan melihat dan mendengar (wihtin sight and within hearing), sedangkan dalam
kejahatan terhadap keamanan Negara, penasehat hukum dapat melihat jalannya
pemeriksaan tapi tidak bisa mendengar (within sight but not within hearing).
Perlu ditekankan bahwa kata “dapat” dalam kalimat penasehat hukum dapat
mengikuti jalannya pemeriksaan merupakan hak atau wewenang penasehat hukum
untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Penasehat hukum dapat mempergunakannya
dan dapat pula melepasnya menurut pertimbangannya sendiri.
Pemberian bantuan hukum dalam proses perkara pidana adalah suatu prinsip
Negara hukum bahwa setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan persiapan pembelaan perkaranya penasehat hukum berhak menghubungi
dan berbicara dengan tersangka (Pasal 70 KUHAP).
Ketentuan tersebut berkaitan erat dengan asas “praduga tak bersalah” yang
dapat diwujudkan dalam ketentuan bahwa, adalah hal dari seseorang yang
tersangkut dalam perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi
pembelaannya.
Tujuan inilah yang hendak dicapai Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam
menetapkan ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Untuk itu tersangka atau
terdakwa diberi kesempatan untuk mengadakan hubungan dengan orang yang
memberikan bantuan hukum dengan anggota keluarga ataupun dengan teman
sejawatnya (Pasal 60 KUHAP).
Pada waktu memeriksa tersangka atau terdakwa, penyidik harus menanyakan
apakah ia menghendaki didengar saksi yang dapat menguntungkan baginya (saksi a
decharge) dan dicatat dalam berita acara. Dalam hal demikian maka penyidik
wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Dalam hukum acara pidana, pemeriksaan terharap tersangka maupun saksi
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran dalam peristiwa pidana yang bersangkutan.
Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya
sehubungan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam
berita acara setelitinya sesuai kata yang dipergunakan tersangka. Hasil
pemeriksaan tersangka dicatat dalam berita acara yang ditandatangani penyidik
dan tersangka setelah ia menyetujui isinya (pasal 118 KUHAP).
Apabila tersangka dipersangkakan melakukan tindakan tindak pidana memenuhi
rumusan Pasal 21 KUHAP, maka ia dikenakan penahanan. Terhadap penahanan ini,
tersangka, keluarga atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas jenis
penahanan tersebut kepada penyidik yang melakukan penahanan dengan disertai
alasannya.
Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka tersebut tetap ditahan
atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu. Apabila dalam waktu tiga hari
permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau
penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan tersebut
disertai alasannya.
Permintaan atau permohonan ini, penyidik maupun atasan penyidik dapat menolak
atau mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat (Pasal 123 KUHAP).
2.
Penangguhan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugikan
kepentingannya karena tindakan penahanan yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa
waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan
agar penahanannya ditangguhkan.
Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR yang menetapkan,
satu-satunya pejabat yang berwenang menangguhkan penahanan adalah “hakim”, maka
menurut Pasal 31 KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu
ditangguhkan atau tidak adalah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai
kewenangannya masing-masing. Sebab pejabat-pejabat inilah yang mengetahui betul
alasan pertimbangan untuk penangguhan tersebut, yaitu apabila tersangka atau
terdakwa tidak akan mempersulit atau merugikan pemeriksaan perkara, dengan
menghilangkan bukti, atau melarikan diri atau akan melakukan kejahatan lagi.
Hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan perkara dan pribadi dari tersangka atau
terdakwa.
Penentuan penangguhan penahanan (schorsing) dapat diberikan dengan atau
tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan. Yang dimaksud syarat-syarat yang telah ditentukan disini adalah
wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Penyidik, penuntut umum dan hakim
sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan apabila tesangka atau
terdakwa melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan.
Perlu ditekankan
bahwa masa penangguhan penanganan itu tidak termasuk masa status tahanan. Ini
berarti selama tersangka atau terdakwa berada di luar tahanan, tidak dapat
diperhitungkan sebagai masa tahanan sehingga tidak dapat dipotong dengan pidana
yang dijatuhkan hakim. Apabila tersangka atau terdakwa telah diberi penangguhan
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka penangguhan
penanganannya dapat dicabut (Pasal 31 Ayat 2 KUHAP).
3.
Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan
Tugas penyidikan sangat erat hubungannya dengan tugas penuntut umum karena
tugas penyidikan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan tugas penuntut umum.
Berdasarkan hasil penyidikan oleh penyidik, yang kemudian dibuat suatu
penuntutan oleh penuntut umum kepada hakim guna mendapatkan keputusan.
Dalam tahap penyidikan ini, sifat pemeriksaan masih merupakan usaha-usaha
mencari dan meraba-raba. Penyidik menyimpulkan alat-alat bukti yang dapat
dipakai sebagai bahan pembuktian taraf pertama, yang harus memberikan keyakinan
kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Cara menyerahkan berkas perkara adalah sebagai berikut :
Ø
Pada tahap pertama penyidik hanya
menyerahkan berkas perkara.
Ø
Dalam hal penyidikan sudah di anggap
selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum (Pasal 8 KUHAP).
Dua (2) kemungkinan untuk mengatakan bahwa penyidikan sudah selesai, yaitu
:
Ø
Penyidikan dianggap selesai apabila
dalam waktu tujuh hari setelah penuntut umum menerima hasil penyelidikan dari
penyidik, ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan sudah selesai
dan merupakan kewajiban bagi penuntut umum yang diatur dalam Pasal 138 KUHAP.
Ø
Penyidikan dianggap selesai jika dalam
waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan kekeliruan tafsir. Atas dasar
Pasal 110 dan 138 KUHAP dapat menimbulkan kekeliruan penafsiran dalam
pelaksanaannya, oleh karena itu perlu ada keseragaman tafsir ataupun bahasa.
Namun adakalanya suatu perkara yang telah dilakukan penyidikan dilakukan
penghentian, sebab menurut pendapat penyidik tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana. Untuk itu penyidik
mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan memberikan hal itu
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Pemberitahuan itu sangat
penting, khususnya kepada penuntut umum berhubungan dengan ketentuan Pasal 109
Ayat (1) KUHAP dan sangat erat kaitannya dengan Pasal 77 dan 80 KUHAP.
4.
Penyidikan Perkara Koneksitas
Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
mereka yang termasuk juridiksi peradilan umum dan peradilan militer.
Penyelidikannya dilakukan oleh suatu tim tetap.
Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau
peradilan militer yang mengadili perkasa koneksitas ini, maka diadakanlah
penelitian oleh jaksa tinggi dan oditur militer tinggi atas dasar hasil
penyidikan.
Adapun yang menjadi faktor penentu dalam penelitian bersama itu adalah
titik berat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum atau kepentingan militer dan jika perlu dipertimbangkan
faktor-faktor tambahan, yaitu sifat tindak pidana, peranan dan jumlah pelaku
pada masing-masing pihak.
Menurut Pasal 92 KUHAP, apabila perkara diajukan ke pengadilan negeri, maka
berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim penyidik dibubuhi cacatan oleh
penuntut umum yang mengajukan perkara bahwa berita acara tersebut diambil alih
olehnya, begitu sebaliknya.
Adapun mengenai persidangan perkara koneksitas menurut Pasal 94 KUHAP
dilaksanakan sebagai berikut :
Ø Dalam
hal perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, majelis hakim terdiri dari ketua dan hakim anggota terdiri dari gabungan
peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang.
Ø Dalam
hal perkara pidana tersebut di adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
Militer, maka susunan majelis hakim terdiri dari hakim ketua dan hakim anggota
secara berimbang diberi pangkat Militer Tituler.
Ø Ketentuan
mengenai susunan majelis hakim tersebut berlaku juga bagi pemeriksaan tingkat
banding.
Perlu ditekankan, pemeriksaan perkara koneksitas ini pada hakikatnya
merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan, bahwa seseorang
seharusnya dihadapkan ke depan pengadilannya masing-masing. Namun dalam hal ini
kepentingan dari yustisiabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, sebab susunan
majelis hakim yang bersidang terdiri dari gabungan antara hakim peradilan umum
dan peradilan militer.
Akhirnya dapat dikemukakan bahwa koneksitas yang diatur dalam pasal 89
sampai pasal 94 KUHAP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 22 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman (UU 14 Tahun 1970).
c.
Eksekusi Keputusan Hakim Perkara Perdata
dan Pidana
a)Pengertian
Eksekusi
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten
uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan
pengadilan dengan bantuan
kekuatan umum, apabila
pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat)
tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi
(pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap
pihak yang kalah dalam perkara.
Dalam pengertian lain,
eksekusi adalah hal
menjalankan putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah
putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar
sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan
pengosongan benda tetap, sedangkan pihak
yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga
memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya.
Dari pengertian diatas, maka
eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak yang
kalah dalam perkara guna memenuhi
prestasi sebagaimana ditentukan
dalam putusan hakim,
melalui perantaraan
panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan
cara paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela.
Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses
penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise
dari lembaga peradilan itu sendiri.
b)
Dasar Hukum Eksekusi
Sebagai realisasi dari putusan hakim
terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka masalah eksekusi telah diatur
dalam berbagai ketentuaan :
Ø
Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224
HIR/Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi
secara umum);
Ø
Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang
putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);
Ø
Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR/Pasal 242
- Pasal 257 R.Bg, yang mengatur
tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
Ø
Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor
3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta (Uitvoerbaar bij
voorraad dan provisi);
Ø
Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);
Ø
Pasal
54 dan Pasal
55 Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009
(tentang pelaksanaan putusan pengadilan).
c)Asas
Eksekusi
Untuk menjalankan
eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:
1. Putusan
hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in
kracht van gewijsde).
Maksudnya,
pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para
pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya
hukum (Rachtsmiddel), yakni:
Ø
Putusan pengadilan tingkat pertama yang
tidak diajukan banding;
Ø
Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);
Ø
Putusan verstek yang tidak diajukan
verzet.
Sebagai
pengecualian dari asas di atas adalah:
Ø
Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii
voorraad);
Ø
Putusan provisi;
Ø
Putusan perdamaian;
Ø
Grose akta hipotik/pengakuan hutang.
2.
Putusan
hakim yang akan
dieksekusi haruslah bersifat
menghukum (condemnatoir).
Maksudnya, pada
putusan yang bersifat
menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang berbentuk
yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan,
bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada
tergugat, proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan
tergugat (Contradictoir).
Misalnya
amar putusan yang berbunyi :
Ø
Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“
sesuatu barang;
Ø
Menghukum atau
memerintahkan
“pengosongan“ sebidang tanah atau rumah;
Ø
Menghukum atau memerintahkan “melakukan“
suatu perbuatan tertentu;
Ø
Menghukum atau
memerintahkan “penghentian“ suatu
perbuatan atau keadaan;
Ø
Menghukum atau
memerintahkan “melakukan“ pembayaran
sejumlah uang.
3. Putusan
hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela
Maksudnya, bahwa tergugat sebagai
pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan amar
putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan amar
putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah tidak
diperlukan lagi.
4. Kewenangan
eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1)
HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg]
Maksudnya, bahwa
pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah
Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap
putusannya sendiri, sehingga secara ex officio (ambtshalve) kewenangan tersebut
berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan
negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga
penyerahan barang kepada penggugat).
5. Eksekusi
harus sesuai dengan amar putusan.
Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh
amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari
amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula
oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum
sebagai argumentasi hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun yang menadi kesimpulan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
Ø
Pengertian Perkara Perdata dalam arti
luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang
tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang
sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan
mengandung sengketa.
Ø
Hukum acara pidana adalah aturan-aturan
yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh para penegak hukum dan
pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum
pidana dilanggar.
Ø
Perkara perdata ada 2 yaitu perkara
gugatan contohnya perkara gugatan sengketa tanah dan perkara permohonan
contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses pemeriksaan perkara gugatan
timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke pengadilan.
Ø prestasi sebagaimana
ditentukan dalam putusan
hakim, melalui perantaraan panitera/jurusita/jurusita
pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak
dilaksanakannya secara sukarela.
Ø Pelaksanaan
putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian
perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga
peradilan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua,.Jakarta : Sinar Grafika,
hal. 498
M. Yahya
Harahap, 1988 : 5
M. Yahya
Harahap, 1988: 13
Sarwono, 2012. HUKUM ACARA PERDATA
Teori dan Praktik. Sinar Grafika: Jakarta.
http://riky-wisaka.blogspot.co.id/2012/01/makalah-hukum-acara-pidana.html
https://tiarramon.wordpress.com/2013/05/15/proses-pemeriksaan-perkara-perdata-gugatan/
http://dunia-blajar.blogspot.co.id/2015/12/tahap-tahap-pemeriksaan-dalam-hukum.html
Google.Com
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.