BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Zakat
merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang digunakan untuk membantu
masyarakat lain, menstabilkan ekonomi masyarakat dari kalangan bawah hingga
kalangan atas, sehingga dengan adanya zakat umat Islam tidak ada yang tertindas
karena zakat dapat menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh
karena itu, zakat sebagai salah satu instrumen negara dan juga sebuah tawaran
solusi untuk menbangkitkan bangsa dari keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah
mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang Islam, namun diperuntukan bagi
kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat
merupakan bagian penting dalam kehidupan umat Islam. Bahkan pada masa Khalifah
Abu Bakar As-Siddiq orang-orang yang enggan berzakat diperangi sampai mereka
mau berzakat. Itu karena kewajiban berzakat sama dengan kewajiban mendirikan
sholat.
Zakat
merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga
dengan adanya zakat (baik zakat fitrah maupun zakat maal) kita dapat mempererat
tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat lain.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa
Pengertian Zakat Menurut Fiqh Syafi’iyah ?
2. Bagaimana
Hukum dan Syarat Zakat ?
3. Bagaimana
Pengelolaan Zakat Menurut Fiqh Syafi’iyah ?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui
Pengertian Zakat Menurut Fiqh Syafi’iyah.
2. Memahami
Hukum dan Syarat Zakat.
3. Memahami
Pengelolaan Zakat Menurut Fiqh Syafi’iyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Zakat
a. Menurut
Bahasa
Zakat
menurut bahasa, berarti “zaka” yaitu kesuburan, taharah yang berarti kesucian,
barakah yaitu keberkatan dan bisa berarti tazkiyah, tathir yang berarti
mensucikan. Syara‟ memakai kalimat
tersebut dengan kedua pengertian ini.
Ditinjau
dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zaka yang
berarti tumbuh, berkah, dan banyak
kebaikan. Sesuatu itu dikatakan zaka, berarti tumbuh dan berkembang.[1]
Dalam literatur lain, zakat juga memiliki beberapa arti, yaitu al-barakatu,
at-taharatu, kesucian dan juga as-salahu keberesan.[2]
Dinamakan pengeluaran
harta ini dengan zakat,
adalah karena zakat itu mensucikan
diri dari kotoran kikir dan dosa, merupakan suatu sebab yang diharap akan
mendatangkan kesuburan atau membanyakkan pahala yang akan di peroleh mereka
yang mengeluarkannya.[3]
Zakat
adalah ibadah maliyyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting,
strategis dan menentukan, dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Yakni kewajiban untuk mengangkat (kemakmuran)
negara dengan cara memberikan harta kepada fakir miskin.[4]
Dalam al-Qur'an terdapat 27 ayat diantaranya
disebutkan dalam satu ayat bersama shalat dan sisanya disebutkan dalam konteks
yang sama dengan shalat meskipun tidak dalam satu ayat.[5]
Menurut
Wahidi bahwa zakat mensucikan harta dan memperbaikinya, serta menyuburkanya.
Menurut pendapat yang lebih nyata, zakat itu bermakna kesuburan dan penambahan
serta perbaikan. Asal maknanya, penambahan kebajikan.[6]
Secara istilah,
meskipun para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan
yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu adalah
bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah SWT mewajibkan pada
pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan
tertentu pula. Secara bahasa, zakat juga dapat diartikan dengan kesuburan,
tahara sama dengan kesucian, barakah sama dengan keberkatan dan berarti juga
tazkiyah tathir sama dengan mensucikan.
Syara' memakai kalimat
tersebut dengan kedua pengertian ini. Maka dari itu, dapat
diambil kesimpulan, bahwa:
1. Zakat
diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala.
2. Zakat
merupakan suatu kenyataan tentang sucinya jiwa dari kikir dan dosa.[7]
b. Menurut
Istilah
Secara
terminologi, Syeh ibrahim mendefinisikan
zakat sebagai nama harta yang khusus di ambil dari harta yang khusus terhadap
orang yang khusus untuk diserahkan
kepada golongan yang telah ditentukan.[8]
Definisi serupa juga dikemukakan oleh Sayyid Al Bakry dalam
kitabnya I‟anah Al Thalibin, yakni zakat ialah nama bagi barang yang
dikeluarkan dari harta atau jiwa dengan syarat yang sudah ditentukan.[9]
Hal
tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103 :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.[10]
(QS.
At- Taubat 103)
Dalam istilah
Syari‟at Islam, kata zakat
digunakan dalam arti
seukuran tertentu dari beberapa jenis harta, yang wajib diberikan kepada
golongan-golongan tertentu dari manusia, dikala telah terpenuhinya
syarat-syarat tertentu.
Bagian
harta ini disebut zakat karena harta yang asli akan tumbuh berkat
dikeluarkannya zakat dan berkat di do‟a kan oleh sipenerima. Dan juga karena
zakat itu berfungsi sebagai pembersih harta
dari syubhat dan melepaskan nya dari kewajiban-kewajiban yang berkenaan
dengannya, khususnya kewajiban-kewajiban terhadap kaum melarat dan sengsara.[11]
Zakat secara
istilah juga bisa
berarti sebagian dari
harta benda/kekayaan (yang
bernilai ekonomi baik tetap atau bergerak) seseorang dan atau badan usaha yang
beragama Islam yang wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nisab dan haulnya
untuk kemaslahatan masyarakat.[12]
Jumhur ulama mengartikan Zakat adalah sesuatu yang diberikan orang sebagai hak
Allah kepada yang berhak menerima antara lain para fakir miskin, menurut ketentuan-ketentuan
tertentu yang telah diatur dalam agama Islam.[13]
Meskipun
ulama mengemukakan pengertian zakat dengan redaksi yang agak berbeda antara
satu dan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat
adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah SWT mewajibkan
pada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya.
Dalam
istilah fiqih zakat, orang-orang yang berhak menerima zakat disebut dengan
mustahiq az-zakah atau asnaf, yaitu kategori (golongan) yang berhak
menerima zakat.
Al-Qur'an
surat at-Taubah ayat 60 menyebutkan ada delapan kategori yang berhak menerima
zakat sebagai berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[14]
(QS.
At –Taubat 60)
Pengertian
secara luas tentang kedelapan kategori
itu menurut ulama fiqih, adalah sebagai berikut:[15]
1.
Fakir
Al-Fuqara’
jamak dari fakir. Artinya orang yang tidak berharta dan tidak mencukupi
makanan, pakaian maupun tempat tinggalnya. Seperti halnya orang yang memerlukan
sepuluh, tapi hanya mampu tiga.[16]
Fakir juga bisa di artikan orang yang tidak mempunyai mata pencaharian tetap,
dan keadaan hidupnya di bawah standar hidup minimal.[17]
Mereka adalah suatu kelompok yang mempunyai hak bagi harta benda orang-orang
kaya.[18]
2.
Miskin
Al-Masakin
adalah jamak dari Miskin, yaitu orang yang masih memiliki sesuatu buat menutupi
hajatnya, tetapi tidak cukup. Seperti halnya orang yang memerlukan sepuluh
tetapi hanya mendapat delapan saja. Yang pertama dan
yang kedua ini
diberi zakat untuk
mencukupi kebutuhan sebagian
besar dari hidupnya.[19]
3.
Al-'Amilin
'Amilin
atau 'amilun adalah kata jamak dari mufrad (kata tunggal) 'amil. Imam Syafi'i
menyatakan bahwa 'amilun
adalah orang-orang yang
diangkat untuk memungut
zakat dari pemilik-pemiliknya. Mereka berhak mengambil
bagian dari zakat seukuran kecukupan dirinya, tidak boleh lebih, walaupun ia
adalah orang yang ekonominya mapan. Ia diberi bagian zakat karena ia bekerja
untuk itu.[20]
4.
Al-Muallafah Qulubuhum
Al-Muallafah Qulubuhum
adalah orang-orang yang
baru masuk Islam. Dengan
diberi zakat diharapkan
keislaman mereka akan
semakin kuat., dan mencegah mereka agar tidak berbuat jahat bahkan
diharapkan mereka akan membela atau menolong kaum muslimin.[21]
5.
Ar-Riqab
Menurut Imam Syafi'i,
riqab adalah budak
mukatab, yaitu budak yang diberi kesempatan oleh tuannya
untuk berusaha membebaskan dirinya dari
tuannya, dengan membayar
ganti rugi untuk
tebusan. Para budak mukatab diberi zakat selagi mereka
belum dapat melunasi pembayaran tersebut.
6.
Al-Garimin
Gharim
Ialah orang yang karena kesulitan hidupnya harus berhutang dan tidak dapat
membayar hutangnya.[22]
Pengertian ini berkembang pada pengertian orang yang dinyatakan pailit dalam
usahanya, sehingga ia dalam kesukaran memenuhi keperluan hidupnya di samping
kewajiban hutang yang harus dibayarkan.[23]
7.
Sabilillah
Sabilillah ialah
tentra yang dengan
suka rela berjuang
membela agama Islam, sedang
mereka tidak mendapatkan imbalan atau
gajih dari harta kaum muslimin. Mereka masing-masing mendapat zakat
sekedar yang mencukupi dirinya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi sehingga
di pulang.[24]
8.
Ibnu Sabil
Ibnu
Sabil, menurut golongan Syafi'iyah ada dua macam:
Ø Orang
yang mau bepergian.
Ø Orang yang di tengah perjalanan (seperti dalam
perjalanan menuntut ilmu).
Keduanya
berhak minta bagian zakat, meski ada orang yang menghutangi nya dengan cukup
dan dia di negerinya sendiri mempunyai harta untuk membayar hutangnya itu. ibnu
sabil diberi zakat sekedar bisa mengantarkannya ke daerah tujuan, jika daerah
tersebut jauh dan ia termasuk orang yang lemah, namun jika daerah tujuannya
dekat dan ia adalah orang yang kuat, dan ia mampu untuk berjalan kaki menuju
daerah tujuan tersebut, maka berilah ia biaya akomodasi saja tanpa biaya
transportasi; jika ia akan melakukan perjalanan pergi pulang (pp), maka berilah
ia apa yang bisa mencukupi kebutuhan selama pergi dan pulangnya.[25]
Dari uraian di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Zakat
ialah sesuatu yang diberikan orang yang memiliki kemampuan sebagai hak Allah
kepada yang berhak menerimanya, antara lain fakir, miskin, dan lain-lain,
menurut ketentuan-ketentuan dalam agama Islam.
2. Zakat
adalah rukun Islam yang ketiga. Dasar hukum wajibnya cukup banyak dan jelas
diterangkan dalam al-Qur'an dan al-Hadis.
3. Harta
yang dibagi-bagi itu namanya zakat, sedangkan kata zaka itu artinya bertambah
suci dan berubah, karena dengan dikeluarkan zakatnya diharapkan kekayaan itu
menjadi bertambah, suci dan berkah.[26]
B. Hukum
dan Syarat Zakat
a. Rukun zakat
Ialah
mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepaskan kepemilikan
terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakiratau harta tersebut
diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut
zakat, atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang
yang bertugas untuk memungut zakat.[27]
b. Syarat
Wajib Zakat.
1. Islam.
Zakat
tidak wajib atas orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang yang
kafir bukan orang yang suci. Mazhab Syafi‟i juga mewajibkan orang murtad untuk
mengeluarkan zakat harta yang dimilikinya ketika dia masih menjadi seorang
muslim.[28]
2. Harta
yang di zakati adalah milik penuh.
Menurut
mazhab Syafi‟i, harta yang wajib dizakati adalah harta yang dimiliki secara
penuh, yaitu harta yang dimiliki secara asli (sempurna) dari orang yang
merdeka,[29] dan ada hak untuk mengeluarkannya.[30]
Kepemilikan penuh juga bisa diartikan penguasaan seseorang terhadap harta
kekayaan sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Karena Allah swt,
mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya.[31]
3. Mencapai
senishab.
Nisab ialah
batas minimal mulainya harta wajib di zakati.[32]
Nisab ditentukan oleh syara‟ sebagai tanda kayanya seseoran dan kadar-kadar
yang mewajibkannya mengeluarkan zakat.[33]
jika kurang dari itu, tidak wajib zakat. Jika seseorang memiliki kurang dari
lima ekor onta atau kurang dari empat puluh ekor kambing, atau kurang dari dua
ratus dirham perak, maka ia tidak wajib zakat.
Syarat
mencapai nishab adalah syarat yang disepakati oleh jumhurul ulama. Hikmahnya
adalah orang yang memiliki kurang dari nishab tidak termasuk orang kaya, sedang
zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang miskin.[34]
4. Kepemilikan
Genap setahun.
Imam Syafi‟i mensyaratkan sampai
masa satu tahun
(hawl) dalam zakat uang,
perdagangan dan binatang. Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat
buah-buahan, tanaman, barang
tambang dan barang
temuan.[35]
Kewajiban zakat pada harta-harta ini tidak dipersyaratkan berulang tahun,
tetapi zakat wajib dikeluarkan seketika panen atau diperoleh.[36]
C. Pengelolaan
Zakat
Zakat
merupakan ibadah yang memiliki dua dimensi, satu sisi dalam rangka ibadah yang
bersifat ketuhanan dan yang kedua dalam rangka bermuamalah di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Zakat pada dimensi muamalat dapat secara langsung ditunaikan tanpa melalui
perantara, dalam hal ini seorang muzakki dapat menyerahkan secara langsung
zakatnya kepada orang yang berhak atas zakat (mustahiq). Zakat dapat pula diserahkan pada seorang amil yang telah ditunjuk untuk kemudian penyerahan
zakat kepada mustahiq menjadi tanggung jawab dari amil. Untuk itu di sinilah
peran amil sebagai perantara antara muzakki dan mustahiq. Oleh karena menjadi
perantara ini amil menjadi bagian dari mustahiq. Apabila seorang muzakki
telah membagikan zakatnya
secara langsung dengan
tanpa perantara melalui amil maka bagian untuk amil menjadi gugur.[37]
Dalam mazhab
Syafi‟i disebutkan bahwa seorang
amil mendapat bagian zakat dengan bagian yang bisa
mencukupi kebutuhan hidupnya (yang bisa mengeluarkan dirinya dari derajat orang
miskin), dan tidak boleh lebih dari itu. Apabila ia orang yang kecukupan, maka
ia diberi harta zakat sebagai upah atas jerih payahnya.[38]
Pada
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang organisasi pengumpulan zakat
diatur dalam Bab
III Pasal 6
sampai dengan Pasal
10. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh
pemerintah (Pasal 6 ayat (1), yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat membentuk Badan Amil Zakat Nasional yang berkedudukan di Ibu
Kota Negara, sedangkan pemerintah daerah
membentuk badan amil
zakat tingkat propinsi, kabupaten atau
dan kecamatan (penjelasan Pasal
6 ayat (2).[39]
BAZ yang
telah terlembagakan dari berbagai
tingkatan mempunyai hubungan
kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan
informatif (Pasal 6 ayat (3). Selain BAZ Dalam Undang- Undang No.38 Tahun 1999
pasal 7 juga disebutkan bahwa lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan
dilindungi oleh pemerintah.
Badan
amil zakat dan lembaga amil zakat ini
dibentuk untuk melaksanakan tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama (Pasal 8). Dalam
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 bahwa orang-orang yang bertugas pada BAZ
terdapat beberapa orang yang telah diangkat oleh pemerintah dan beberapa orang
tersebut membentuk suatu organisasi serta menempati job-job tertentu dalam
pengelolaan zakat. hal ini senada dengan mazhab Syafi‟i bahwa zakat itu boleh
diberikan kepada amil, yaitu orang yang diangkat
oleh penguasa untuk
memungut zakat dan
juga boleh dibagi-bagikan sendiri oleh yang punya zakat.[40]
Amil yang di utus oleh pemerintah bertugas untuk memungut zakat,
mengumpulkannya dan membaginya.[41]
Dapat
dipahami bahwa pemerintah dengan diwakili lembaga tertentu dalam hal ini BAZ
yang telah dibentuk memegang peran dalam pelaksanaan zakat sebagai amil. Peran
pemerintah dalam pelaksanaan zakat bukan sesuatu hal yang baru lagi dalam
kehidupan umat Islam, sejak zaman sahabat sampai dinasti bani Umayyah dan
Abasyiah zakat telah diperhatikan oleh pemerintah dan pemerintah turut serta
dalam pengelolaan zakat. Sebagaimana pada masa khalifah Umar bin al-Khattab
bahwa beliau mengutus beberapa orang untuk menjadi amil zakat yang mengurus
mengenai pengumpulan dan pendistribusian zakat. Apabila dari para amil zakat
yang diutusnya berlaku kurang adil, Umar sendiri yang langsung turun tangan
memberi hak kepada yang membutuhkannya.
Pengelola
zakat (amil) yang telah terlembagakan sebagaimana pada Undang- undang Nomor 38
Tahun 1999 yang diatur dalam BAB III pasal 6 sampai dengan pasal 10 secara
hukum telah sah dan mempunyai kecakapan bertindak secara hukum karena BAZ
telah memiliki badan
hukum yang sempurna. BAZ dibentuk berdasarkan prosedur
yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui beberapa proses sehingga menjadikan
BAZ memang benar-benar lembaga yang legal dan berbadan hukum yang memiliki kecakapan bertindak secara
hukum. Jadi amil yang telah
terlembagakan yang terwujud dalam bentuk badan hukum sama halnya dengan seorang
amil yang telah sah dan memiliki kecakapan hukum untuk melakukan tugasnya
sebagai amil zakat. Sedangkan orang-orang yang berada dalam naungan BAZ juga
telah diangkat oleh pemerintah dengan berbagai seleksi dan persyaratan tertentu
untuk menjadi amil yang sah dan legal.
Untuk mencapai
keidealan terlaksananya zakat, dalam mazhab Syafi‟i disebutkan bahwa
orang-orang yang ditunjuk untuk mengurusi masalah zakat (amil) harus mempunyai
syarat-syarat, seperti:
1. Beragama
Islam.
2. Sudah
dewasa (mukallaf).
3. Sehat
akal fikirannya.
4. Jujur,
sebab tugas ini merupakan amanat
5. Memahami
hukum zakat.
6. Mampu melaksanakan
tugas dan mengerti
masalah-masalah zakat, sehingga
mengerti bagaimana harus mengumpulkan dan membaginya.[42]
7. Adil.[43]
Dalam
ayat al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang berhak dan berwenang untuk mengelola
zakat (amil) adalah petugas khusus yang ditunjuk oleh pemerintah atau penguasa
dan Negara atau pemerintah bertanggung jawab penuh atas pengumpulan, pendayagunaan
dan pendistribusian hingga
sampai kepada menentukan
mustahiq.[44] Hal ini
didasarkan pada firman Allah swt surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah,
dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
(QS.
At-Taubat 60)
Sedangkan tugas
amil adalah pengambil
harta zakat dari
muzakki.
Sebagaimana
firman Allah dalam surah at-Taubah ayat
103 yang berbunyi:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS.
At-Taubat 103)
Kedua ayat
di atas, telah
menjelaskan bahwa salah
satu golongan yang berhak menerima zakat adalah amil
(pengurus zakat) sedangkan amil dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah atau
penguasa pada wilayah tertentu. Ayat selanjutnya mengisyaratkan bahwa zakat itu
harus diambil atau dijemput dari orang-orang yang berkewajiban untuk
mengeluarkan zakat (muzakki) untuk kemudian disalurkan kepada mustahiq. Di
sinilah seorang amil berfungsi dan hal tersebut merupakan tugas dari pada amil.
Sayyid
Al Bakry berpendapat bahwa adalah orang-orang yang diutus atau ditugaskan oleh
pemerintah dengan tugas utama mengambil, membagi dan mengumpulkan zakat, termasuk
didalamnya menulis, menghitung dan mengelolanya.[45]
Bercermin
pada sejarah pulalah bahwa pada saat
pemerintahan di bawah kepemimpinan Nabi
Muhammad saw, beliau sendiri dan para pembantunya yang memungut, mengumpulkan,
mengatur dan membagikan zakat kepada yang berhak menerimanya yang kemudian
diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Hal ini menandakan bahwa penguasa
berhak mengambil zakat dari orang-orang kaya dan apabila mereka
menolak mengeluarkan zakat,
maka boleh diminta
atau diambil zakat tersebut
sampai kepada memaksa, baik oleh penguasa sendiri secara langsung maupun oleh
para petugas yang ditunjuk oleh Negara.[46]
Supaya
zakat dapat terselenggara dengan baik, maka Negara ataupun pemerintah
bertanggung jawab untuk membentuk petugas zakat maupun lembaga zakat yang
teratur dan berkesinambungan. Negara berkewajiban mengatur dan mengangkat
orang-orang yang secara khusus menangani masalah zakat yang terdiri dari para
pengumpul zakat, penyimpan, penulis, penghitung, pembagi zakat, dan sebagainya.
Petugas yang dikenal dengan amil zakat, nantinya bertugas mensensus orang-orang
yang wajib berzakat, macam harta yang mereka miliki dan berapa besar zakatnya,
menagih para wajib zakat, kemudian menyimpan dan menjaganya untuk selanjutnya
diserahkan kepada petugas distributor
zakat untuk dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Mengenai hal ini
imam Syafi'i berkata: Semestinya, orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan
zakat, ia juga disuruh untuk mendata para ashnaf mustahiq menurut nama, nasab,
dan keadaan sosial- ekonomi mereka; hal
ini dilakukan setelah
menyelesaikan pengumpulan zakat; setelah itu ia menyisihkan hak bagian
amilin sebesar hak wajib atas kerja amil
tersebut, kemudian ia memutuskan hak masing-masing mustahiq sebagaimana yang
sudah Allah tetapkan.[47]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Æ Zakat
adalah ibadah maliyyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting,
strategis dan menentukan, dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Yakni kewajiban untuk mengangkat (kemakmuran)
negara dengan cara memberikan harta kepada fakir miskin. Dalam al-Qur'an terdapat 27 ayat diantaranya disebutkan dalam satu ayat
bersama shalat dan sisanya disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat
meskipun tidak dalam satu ayat.
Æ Zakat secara
istilah juga bisa
berarti sebagian dari
harta benda/kekayaan (yang
bernilai ekonomi baik tetap atau bergerak) seseorang dan atau badan usaha yang
beragama Islam yang wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nisab dan haulnya
untuk kemaslahatan masyarakat. Jumhur
ulama mengartikan Zakat adalah sesuatu yang diberikan orang sebagai hak Allah
kepada yang berhak menerima antara lain para fakir miskin, menurut ketentuan-ketentuan
tertentu yang telah diatur dalam agama Islam.
Æ Rukun
zakat Ialah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepaskan
kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakiratau harta
tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk
memungut zakat, atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau
orang yang bertugas untuk memungut zakat
Æ Syarat
Wajib Zakat.
o Islam.
o Harta
yang di zakati adalah milik penuh.
o Mencapai
senishab.
o Kepemilikan
Genap setahun.
Æ Zakat
merupakan ibadah yang memiliki dua dimensi, satu sisi dalam rangka ibadah yang
bersifat ketuhanan dan yang kedua dalam rangka bermuamalah di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Æ Dalam mazhab
Syafi‟i disebutkan bahwa seorang
amil mendapat bagian zakat dengan bagian yang bisa
mencukupi kebutuhan hidupnya (yang bisa mengeluarkan dirinya dari derajat orang
miskin), dan tidak boleh lebih dari itu. Apabila ia orang yang kecukupan, maka
ia diberi harta zakat sebagai upah atas jerih payahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas, Sirajudin,
Sejarah dan Keagungan
Mazhab Syafi’i, Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, 1972
Abdul
Syukur dan Ahmad Rifa’i, Al-Syafi’i, Biografi dan Pemikiranya, Dalam
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum
Islam (permasalahan dan fleksibilitasnya),
Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Al Kindhi, Ali Sumanto, Bekerja
Sebagai Ibadah, CV. Aneka Solo, 1997. Pengantar Ilmu Hasan Al-Banan, Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2004
Al-Zuhaily, Wahabah,
Al Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh (Zakat
Kajian Berbagai Madzhab), PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12, PT Rineka Cipta, 2002.
Asy-Syafi’i
,Al Imam, Al- Umm (Kitab Induk), Jilid 3. CV Fauzan, Jakarta, 1981.
Bachtiar, Wardi,
Metodologi Penelitian Ilmu
Dakwah, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, 1997.
Departemen
Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya.
Dilaga, M. Al-Fatih Surya, Studi
Kitab Hadis, Terang Yogyakarta, 2003. Arabi, Ibnu, Ahkam Al—Qur’an, Jilid 2, Darul
Kutub Al-Alamiyah, Bairut.
Direktorat
Pmbinaan PTAI, Ilmu Fiqih, Proyek Pembinaan PTAI/IAIN, Jakarta, 1982.
Imam Abi Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari Juz
1, Darul kitab Alamiyah, Beirut Libanon, tth,
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul
Fiqh, Gema Risalah Press, Bandung, 1996. Soejati, Zarkowi, Pengantar Ilmu
Fikih, Walisanga Press, Semarang, 1987. Abdurrahman, Perbandingan
Madzhab-Madzhab, Sinar Baru, Bandung, 1986. Syarqawi, Abdurrahman Asy, Riwayat Sembilan Imam Fikih, Pustaka
Hidayah, Bandung, 2000.
Khalil, Munawar,
Biografi Empat Serangkai
Imam Mazhab, Cet.
4, Bulan Bintang, Jakarta, 1983.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih
Lima Mazhab, Basrie Pres, Jakarta, 1991. Syurbasi, Ahmad
Asy-, Sejarah dan
Biografi Empat Imam
Mazhab, Cet. 3, Amzah, 2001.
Nazir,
Moh, Metode Penelitian, Cet. 4, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999.
Qadir, Abdurrahman.
Zakat (Dalam Dimensi
Mahdhah Dan Sosial),
PT Raja Grafindo Persada. Cet. 2,
Jakarta, 2001.
Qardawi,
Yusuf, Hukum Zakat, Litera Antar Nusa, Cet-7, Jakarta, 2004
Rifa’i, Muhammad Nasib ar-,, Tafsir
Ibnu Katsir, Gema Insani, Jakarta, 1999. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Jilid
1, Pustaka Amani, Jakarta, 2007.
Sabiq,
Sayyid, Fiqih Sunnah, Cet 1, Pena Pundi Aksara,Jakarta,2006.
Sadzali, Munawir,
dkk, Zakat dan Pajak, Cet II,
Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1991.
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam,
Rineka cipta. Dzazuli, Ilmu Fiqh, Premada Media, Jakarta, 2005.
Suma, Muhammad
Amin, Himpunan Udang-Undang Perdata
Islam dan Peraturan Pelaksanaan
lainya di Negara Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syaikh Ahmad Farid, Min A’Lam,
As-Salaf, terj Masturi Irham, Biografi Ulama Salaf, Pustaka Al-Kausar, Jakarta,
2006
Tatang M.
Amirin, Menyusun Rencana
Penelitian, Cet. 3,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Zuhri,
Saifudin, Zakat Kontekstual, CV. Bima Sejati, Semarang, 2000.
[1] Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini, Kifayatul Akhyar,
(Bairut: Dar Al- Fikr, 1994), h. 140
[2] Didin Hafidhudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, cet. II (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), hlm. 7.
[3] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), hlm. 8.
[4] Dr. Wahbah Al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997), hlm. 88.
[5] Lembaga Pengelolaan Zakat,
http://akhirulsholeh.wordpress.com/20080619/tentang- pengelolaan zakat/
[6] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit , hlm. 4
[7] Ibid. hlm. 3
[8] Syeh Ibrahim , Khasiah Al Bajuri ala Ibnu Qosim Al Ghozi, Juz I,
(Surabaya : Darul ihya, t.th), hlm. 260 Lihat juga, Abi Zakaria Muhyiddin Bin
Syaraf An Nawawi, Al Majmu Syarah al-Muhadzab, (Bairut: Darul Fikr, 1996),
hlm.288
[9] Sayyid Al Bakry bin Sayyid Muhammad Syahta Al Dimyati, I’anah Al-Tholibin, (Bairut: Dar al-Fikr,
1993), hlm. 168
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang : As-Syifa, 1988), h. 297
[11] Anshory Umar Sitanggal, Fikih Syafi‟i, (Semarang : CV. Asy-Syifa,
1987), hlm. 4
[12] Batasan Istilah http://
www.bazisdki.go.id/index.cfmfuseaction=artikel.detail&id=191&catid=30/
[13] Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab
Fiqh Ala Al Madzhahib Al Arba’ah, (Beirut: Dar Ihya AlTurah Al Araby, 1986), h.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang : As-Syifa, 1988), h. 288
[15] Anshory Umar Sitanggal, Fikih
Syafi’i, (Semarang : CV. Asy-Syifa, 1987), h. 65.
[16] Ibid
[17] Batasan Istilah http://bazisdki.go.idindex.cfmfuseaction=artikel.detail&id=191&catid=30
[18] Muhammad Jawad Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, penj. Masykur dkk, ( Jakarta
: PT. Lentera Basritama, 2000), h. 180
[19] Anshory Umar Sitanggal, Loc. Cit, h. 65
[20] Fikih Zakat Imam Syafi’i, http//:www.siwakz.net/mod.php/mod=publisher&op=
viewarticle&cid=16&artid=27.htm
[21] Anshory Umar Sitanggal, Op. Cit,
[22] Ibid
[23] Batasan Istilaah,
http://www.bazisdki.go.id/index.cfmfuseaction=artikel.detail&id=191&catid=30/
[24] Anshory Umar Sitanggal, Op. Cit,
[25] Fikih Zakat Imam Syafi’i, http//:www.siwakz.net/mod.php/mod=publisher&op=
viewarticle&cid=16&artid=27.htm
[26] Syukri Ghazali, Pedoman Zakat 9
Seri, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf, 1996-1997), hlm. 107.
[27] Wahbah Al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997),
[28] Ibid, hlm. 99
[29] Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, al-Umm, jilid 5,
(Beirut: Dar-al- Fikr, 1990), hlm.139
[30] Wahbah Al-Zuhaily, Op. Cit, hlm. 104
[31] Syarat Wajib Zakat, http//:www.dakwatuna.com/2008/zakat-syarat-wajib-zakat-dan-harta-
yang-wajib-dizakati.htm
[32] Anshory Umar Sitanggal, Fikih Syafi’i, (Semarang : CV. Asy-Syifa,
1987), h., h. 14
[33] Dr. Wahbah Al-Zuhaily, Op Cit, h. 102
[34] Syarat Wajib Zakat, Loc Cit.
[35] Dr. Wahbah Al-Zuhaily, Op Cit, h. 108
[36] Anshory Umar Sitanggal, Loc Cit, h. 15
[37] Asy-Syaikh al-Allamah Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Fath
al-Mu’in, Alih bahasa
Aliy As‟ad, (Kudus: Menara Kudus, t.t.),
hlm. 41.
[38] Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab
al-Umm, penerjemah M.
Yasir Abd. Muthalib,
cet. IV, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), hlm. 521.
[39] Lihat lampiran Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolan zakat.
[40] KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama III, (Jakarta, Pustaka
Tarbiah, 2000), h. 117
[41] Sayyid Al Bakry bin Sayyid Muhammad Syahta Al Dimyati, I’anah
Al-Tholibin, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 215
[42] Drs. Moh. Rifa‟I, Dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar, (Semarang:
CV.Toha Putra,1978), h. 142
[43] Sayyid Al Bakry bin Sayyid Muhammad Syahta Al Dimyati, Op. Cit, hlm.
215
[44] Yusuf Qaradawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam,
[45] Sayyid Al Bakry bin Sayyid Muhammad Syahta Al Dimyati, I’anah
Al-Tholibin, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 215
[46] Yusuf Qaradawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih Bahasa Zainal
Arifin dan Dahlia Husin, cet. II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.,
253.
[47] Fikih Zakat Imam Syafi’i,
http//:www.siwakz.net/mod.php/mod=publisher&op=
viewarticle&cid=16&artid=27.htm
Posting Komentar